Kegiatan Pasar Tradisional sebagai Implementasi Merdeka Belajar dan Merdeka Budaya

Pendidikan
Kegiatan Pasar Tradisional

Menurut lembaga survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada bulan Maret 2019 tentang kemampuan literasi, sains, dan matematika dalam 3 tahun terakhir masih menempatkan Indonesia sebagai negara yang tergolong rendah kualitas pendidikannya yaitu urutan ke-74 dari 79 negara. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang apa yang salah dalam sistem pendidikan di Indonesia?

Berkaca dari proses pembelajaran yang seakan telah menjadi budaya dalam pendidikan di Indonesia, yaitu guru masih menempatkan diri sebagai pusat belajar di mana semua pengetahuan seakan bersumber dari guru. 

Belum lagi masih rendahnya kemampuan guru untuk memberikan stimulasi pembelajaran yang mengandung unsur HOTS (Higher Order Thinking Skills) dan berkutat tahap LOST (Lower Order Thinking Skills).  

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Pasar Jajan Tradisional Kampung Budaya Polowijen Mampu Dongkrak Ekonomi Kreatif

Tahapan berpikir LOST menurut Taksonomi Bloom tersebut hanya mengingat, memahami, dan mengaplikasikan sehingga kemampuan anak hanya berbasis hafalan tanpa kemampuan menghubungkan dengan kehidupan nyata.

Sehingga tentu saja bisa dilihat bahwa kemampuan anak-anak saat ini dengan keterampilan literasi yang rendah, tidak mampu untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah.

Tak ayal jika berita-berita hoaks yang berseliweran di seantero dunia maya saat ini dengan mudah menjadi pemicu perseteruan dan pertikaian di kalangan masyarakat dan bagai bom waktu perlahan namun pasti akan mengoyak kesatuan dan persatuan negara kita tercinta. 

Metode yang dipakai juga masih belum memfasilitasi kebutuhan individu anak. Apa yang disampaikan oleh guru masih dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tak bisa ditawar. Belum lagi masalah krisis moral yang akhir-akhir ini identik dengan istilah “tunaempati”.

Jika selama ini kita hanya familiar dengan ketunaan seperti tunadaksa, tunanetra, tunagrahita, tunawicara, tunawisma, tunasusila, dan bentuk tuna lainnya maka tunaempati seharusnya mendapat perhatian serius. 

Maraknya kasus flexing (sikap pamer) para pejabat dan keluarganya dengan perilaku hedon mempertontonkan kekayaan dan kehidupannya yang serba “wah” dan maraknya kasus korupsi menjadi perlambang ketidakpekaan terhadap lingkungan.

Padahal data BPS terkini menerangkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia berdasarkan data September 2022 adalah 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta masyarakat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan.

Urusan perut masih menjadi prioritas bagi mereka dan bukan persoalan baju, tas, sepatu, bahkan kendaraan mewah yang selama ini dipertontonkan para pejabat dan keluarganya.

Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah kita untuk bersama mencari solusi dari berbagai peritiwa di atas.  Hadirnya Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya menjadi pintu masuk untuk perlahan kita melakukan berbagai pembenahan dalam dunia pendidikan.

Dengan Merdeka Belajar guru menempati tempat sebagai fasilitator pembelajaran dan menempatkan murid sebagai subjek atau individu aktif bukan sebaliknya yaitu sebagai objek dan individu pasif.

Baca Juga: Amazing! Pasar Jajan Tradisional Kampung Budaya Polowijen 2 Jam Ludes Diserbu Wisatawan

Pembelajaran berdiferensiasi harus dilakukan agar dapat mengakomodasi ide, cara, kebutuhan, minat, bakat, dan potensi serta latar belakang anak.

Guru perlu menjadikan dirinya sebagai pembelajar sepanjang hayat atau growth mindset sehingga mampu memberikan inovasi-inovasi terbaru dalam pembelajaran untuk memenuhi tantangan abad ke-21 dan tumbuhnya kepercayaan diri anak di tengah persaingan global.

Tak kalah pentingnya adalah membangun pemahaman tentang Merdeka Budaya agar muncul kesadaran untuk mencintai kebudayaan Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai luhur seperti kerja sama, toleransi, kejujuran, dan semangat gotong-royong.  

Penanaman karakter ini sangat relevan untuk mengasah kepekaaan terhadap lingkungan dan integritas sehingga memunculkan rasa empati dan tak perlu ada tunaempati. 

Berbagai bentuk kegiatan dapat dirancang untuk mengimplementasikan Merdeka Belajar dan Merdeka Budaya, salah satunya dengan kegiatan puncak tema “pasar tradisional”.

Dalam kegiatan ini anak dikenalkan pada makna gotong-royong, nilai kejujuran dan semangat kerja keras yang perlahan telah luntur. Kegiatan ini juga melibatkan orang tua sehingga orang tua sebagai salah satu unsur dalam Tripusat pendidikan dapat menjalankan perannya dengan baik.

Kebebasan dalam menampilkan ide, cara, kebutuhan, minat, bakat, dan potensi serta latar belakang anak nampak dari kegiatan menyiapkan ragam bahan/ jajanan yang akan dijual, menyiapkan tempat dan anak diberikan kemandirian untuk melakukan transaksi, memilih, dan memasarkan sendiri produk yang dibawa dari rumah bersama orang tua adalah bagian dari Merdeka Belajar.

Kegiatan ini sederhana namun sarat akan nafas Merdeka Belajar dan Merdeka Budaya jika mampu disajikan secara rutin dan berkala serta dilakukan secara masif di setiap satuan pendidikan. Jadi tunggu apa lagi? Segera lakukan perubahan untuk masa depan negara Indonesia yang kita cintai.

Penulis: RR. Dewi Trisna, S.P., S.Pd., M.Pd.
Kepala TKIT Nurul Hidayah

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI