Timnas U-23 segera menghantarkan medali emas pada SEA Games 2019 kepada Indonesia dengan melajunya ke babak final setelah mengalahkan Kamboja dengan skor telak 4-0. Selanjutnya, Indonesia akan berhadapan dengan Vietnam pada hari Selasa, 10 Desember 2019 mendatang.
Performa apik juga tak kalah diperlihatkan oleh Timnas U-19 yang telah lolos ke putaran final Piala AFC U-19 2020 tanpa terkalahkan. Timnas U-19 menyabet peringkat pertama pertama pada kualifikasi grup K. Prestasi Timnas U-16 juga tak terlupakan karena telah berhasil keluar sebagai juara Piala AFF U-16 2018 setalah mengalahkan Thailand dengan skor 4-3. Namun, bagaimana kabar Timnas Senior Indonesia, Skuad Garuda?
Timnas Senior melempem prestasi jika dibandingkan dengan juniornya. Terlebih lagi setelah 5 kali kekalahan dari 5 pertandingan pada kualifikasi Piala Dunia 2022 Grup G. Apa yang sebetulnya terjadi? Selain factor taktis dan latihan, factor fisik para pemain sangatlah berpengaruh dalam permain sepakbola yang berdurasi 2 x 45 menit dan bahkan lebih. Ketahanan fisik yang baik adalah salah satu kunci kesuksesan pemain-pemain di Eropa.
Pada Timnas U-16, U-19, dan U-23, endurance para atlet masih terbilang masih baik karena usia yang muda. VO2max (kapasitas maksimum tubuh untuk menyalurkan dan menggunakan oksigen selama berolahraga) yang mereka miliki jauh lebih tinggi dari para senior mereka yang hanya berada pada nilai 30 – 40 mL/kg/min. Padahal, endurance minimal rata-rata pemain eropa adalah 60 mL/kg/min. Inilah salah satu masalah yang terdapat dalam sistem kepelatihan kita.
Seiringnya bertambah umur, ketahanan fisik para pemain Timnas akan semakin melemah jika tidak barengi dengan latihan fisik dan asupan nutrisi yang disiplin. Namun disayangkan, ketika menginjak senior, kedisiplinan para atlet mulai menurun dan bertindak semaunya. Di kualifikasi Piala Dunia 2022 sendiri, Timnas Indonesia tidak melakukan tes untuk mengukur VO2max para atlet.
Menurut Aflred Reidl, mantan pelatih Squad Garuda, atlet tidak mengikuti regimen nutrisi yang telah disediakan. Bayangkan, atlet Timnas Indonesia makan kerupuk dan kentang goreng yang tidak bergizi. Bahkan, tidak sedikit yang mengonsumsi alcohol hingga mabuk dan merokok.
Inilah alasan mengapa Timnas Senior sering kehilangan fokus dan tidak dapat memberikan permainan prima sepanjang 90 menit. Squad Garuda selalu kewalahan di babak kedua dan memberikan kesempatan emas untuk tim lawan untuk merebut kemenanangan.
Jika dibandingkan dengan badminton, sungguh jauh berbeda. VO2max tunggal putra Indonesia minimal 65 mL/kg/min, 60 mL/kg/min untuk tunggal putri dan pemain ganda. Inilah faktor yang membuat bulutangkis Indonesia yang ramai prestasi.
Sesungguhnya, dari kuantitas sumber daya manusia, pecinta sepakbola di Indonesia jumlahnya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan bulutangkis. Kualitasnya pun tidak kalah baik. Namun faktor kedisiplinan dan ketahanan fisik inilah yang menjadi perbedaan. Sudah menjadi rahasia publik bahwa para atlet Timnas memiliki gaya hidup dan gengsi yang tinggi.
Perlu adanya pengkajian total dari segi pembinaan dan kepelatihan untuk cabang olahraga sepakbola di Indonesia. Pendisiplinan dan pembindaan dini perlu ditatar ulang dari bibit yang paling bawah hingga senior sehingga dapat tercipta lingkungan yang sehat bagi para atlet.
Jika faktor kedisiplinan ini dipertahankan, tanpa perlu terus mengganti pelatih dan komposisi tim, Timnas dapat mempertahankan dan bahkan meningkatkan performa para atletnya dari U-16 hingga tim senior karena kunci kemenangan dalam olahraga permainan adalah kekuatan, kelincahan dan ketahanan. Kekuatan dan kelincahan memang sudah ada sejak awal, hanya ketahanan fisiknyanya saja yang perlu dipertahankan.
Enrico Halim
Mahasiswa Sampoerna University FC
Dapatkan Informasi sepakbola terbaru dari seluruh dunia di AnalisBola.com