Kenaikan Tarif Pajak Hiburan: Langkah Strategis atau Malapetaka bagi Industri?

Kenaikan Pajak Hiburan
Ilustrasi Industri Hiburan (Sumber: freepik.com)

Kenaikan tarif pajak hiburan dengan batasan bawah 40% dan batas atas 75% sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) telah menimbulkan polemik di berbagai kalangan.

Memang benar bahwa kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor hiburan.

Namun, sejak berlakunya kebijakan ini pada Januari 2024 silam, para pelaku industri hiburan beranggapan bahwa pajak yang tinggi dianggap sebagai ancaman yang berpotensi menghambat pertumbuhan bisnis dan menurunkan daya beli masyarakat.

Dengan menilik pada Pasal 58 ayat 2, kenaikan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dikenakan atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa.

Bacaan Lainnya

Kebijakan ini menimbulkan dampak besar terhadap industri, terutama bagi pelaku usaha yang beroperasi dalam kategori hiburan keluarga, seperti karaoke dan bioskop.

Adanya kenaikan tarif pajak, akan berakibat langsung pada harga tiket dan layanan hiburan yang juga akan mengalami peningkatan.

Baca Juga: Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%

Kenaikan harga untuk mengonsumsi hiburan ditakutkan akan mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat, yang semakin selektif dalam membelanjakan uang mereka untuk hiburan.

Masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah kemungkinan besar akan lebih memilih mengalokasikan dananya untuk kebutuhan primer, seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan, daripada mengeluarkan uang untuk rekreasi.

Selain itu, pelanggan yang sebelumnya rutin mengunjungi tempat hiburan mungkin akan mengurangi frekuensi kunjungannya atau bahkan beralih ke alternatif hiburan yang lebih murah, seperti menonton film di rumah atau menggunakan aplikasi karaoke digital.

Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat berdampak pada penurunan jumlah pengunjung di berbagai sektor hiburan dan berpotensi membuat bisnis-bisnis yang bergantung pada kunjungan pelanggan menghadapi kesulitan finansial yang serius.

Terdapat ancaman terhadap kelangsungan usaha pada sektor hiburan. Pelaku usaha hiburan, khususnya karaoke keluarga, seperti Inul Vizta dan Masterpiece Karaoke, telah mengeluhkan dampak kenaikan pajak terhadap operasional bisnis mereka.

Salah satu public figure sekaligus pemilik bisnis karaoke, Inul Daratista, melalui media sosialnya menyampaikan protes kepada pembuat kebijakan atas kenaikan tarif pajak hiburan tersebut.

Baca Juga: Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor: Solusi Jangka Pendek dan Dampak Jangka Panjang

Selain itu, pengacara sekaligus pengusaha, Hotman Paris turut menyoroti sekaligus mempertanyakan kebijakan pajak hiburan yang memiliki tarif maksimal 75%.

Sektor hiburan menyerap ribuan tenaga kerja, mulai dari karyawan operasional, pramusaji, teknisi suara, hingga petugas keamanan.

Dengan menurunnya omset akibat pajak tinggi, akan timbul kemungkinan yang mengarah kepada keputusan banyak pengusaha terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) demi bertahan.

Jika dibiarkan, hal ini akan meningkatkan angka pengangguran dan memperburuk perekonomian daerah.

Kekhawatiran ini telah turut disampaikan melalui gugatan yang dilayangkan atas UU HKPD oleh pelaku usaha di Mahkamah Konstitusi (Rabu, 28/08/2024).

Pakar kajian otonomi daerah, Djohermansyah Djohan, dalam kesempatan sebagai ahli dalam sidang gugatan di MK, menilai bahwa penetapan kebijakan kenaikan tarif merupakan sebuah bentuk kesembronoan yang dilakukan oleh pemerintah.

Baca Juga: Polemik Pemungutan Opsen Pajak, Apa Benar Menguntungkan?

“Ini membuat gulung tikarnya pengusaha, merosotnya indeks kebahagiaan warga, menurunnya PBJT Pemda, dan memicu berkembangnya bisnis jasa hiburan ilegal yang bakal memusingkan pemda (pemerintah daerah),” tutur Djohan.

Seperti kekhawatiran yang disampaikan oleh Djohan, pemerintah perlu mewaspadai adanya kemungkinan timbul pelaku bisnis yang beralih pada praktik ekonomi sektor informal.

Malahan praktik ini nantinya tidak menyumbang pendapatan pajak sama sekali. Jika semakin banyak usaha hiburan formal yang gulung tikar, konsumen yang masih ingin menikmati hiburan kemungkinan akan mencari alternatif di sektor informal yang tidak memiliki pengawasan ketat dari pemerintah.

Hal ini tidak hanya mengakibatkan berkurangnya pemasukan pajak daerah, tetapi juga meningkatkan risiko keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Praktik hiburan ilegal yang tidak memiliki regulasi jelas dapat menjadi tempat berkembangnya aktivitas yang merugikan, seperti penyalahgunaan narkoba dan perdagangan manusia.

Lalu dengan banyaknya efek negatif yang mungkin timbul, bagaimana dengan tujuan awal dari ditetapkannya kenaikan tarif ini?

Baca Juga: Dinamika Pajak dan Politik: Kasus Sengketa Pajak PT Eldita Sarana Logistik

Apakah Pajak Hiburan Efektif untuk Meningkatkan PAD?

Meskipun pajak hiburan bertujuan untuk meningkatkan PAD, efektivitasnya dalam meningkatkan pendapatan daerah masih perlu dipertanyakan.

Berdasarkan data siaran pers Kementerian Keuangan, tujuh daerah yang telah menerapkan tarif pajak maksimal 75% atas pajak hiburan, seperti Kabupaten Siak (Riau), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), Kabupaten Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), serta Kabupaten Belitung Timur (Kepulauan Bangka Belitung), Kabupaten Lebak (Banten), Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah), dan tidak ketinggalan Kota Tual (Maluku).

Pemerintah DKI Jakarta pada 5 Januari 2024, turut mengeluarkan kebijakan kenaikan tarif pajak hiburan menjadi 40% melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Kebijakan tersebut mendapat banyak protes dan kecaman oleh para masyarakat.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang dampak kebijakan ini secara menyeluruh agar tidak menimbulkan efek domino yang justru merugikan semua pihak.

Baca Juga: Kenaikan Pajak dan Implikasinya pada UMKM

Menanggapi banyaknya aspirasi masyarakat, pemerintah melalui Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Lydia Kurniawati Christyana menyampaikan pendapatnya, “Penetapan tarif, Pemerintah dan DPR telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, mendasarkan pada praktik pemungutan di lapangan, dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlu mendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara.”

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, dalam acara The Weekly Brief With Sandi Uno (5/2/2024), memaparkan hasil kajian sementara mengenai dampak kenaikan pajak hiburan terhadap sektor pariwisata.

Kemenparekraf mendukung rekomendasi untuk mengurangi pajak 10% pada sektor pariwisata, guna mengurangi dampak negatif yang berpotensi menurunkan minat investor dan mengurangi tenaga kerja.

Selain itu, Sandiaga juga mendukung penghapusan spa dari klasifikasi industri hiburan, karena lebih berhubungan dengan kesehatan.

Baca Juga: Peran Ajaran Tamansiswa Tri Pantangan dalam Kepatuhan Pembayaran Pajak

Selanjutnya, pemerintah daerah diminta mempertimbangkan tarif pajak yang sesuai dengan kondisi ekonomi lokal dalam pembuatan kebijakan.

Agar pajak hiburan tetap dapat meningkatkan PAD tanpa menghancurkan industri hiburan, beberapa alternatif kebijakan perlu menjadi pertimbangan agar dapat mengakomodasi kebutuhan banyak pihak.

Salah satu alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan adalah penerapan tarif pajak yang proporsional, dengan menetapkan tarif berbeda berdasarkan jenis dan skala usaha hiburan.

Hal ini bertujuan agar tarif pajak lebih adil dan tidak memberatkan pelaku usaha kecil dan menengah yang berperan penting dalam perekonomian daerah.

Selain itu, pemberian insentif atau keringanan pajak bagi usaha hiburan yang taat membayar pajak dan memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian daerah juga dapat menjadi langkah yang mendorong kepatuhan pajak.

Kebijakan pajak ini juga perlu dievaluasi secara berkala untuk menilai dampaknya terhadap industri hiburan, serta menyesuaikan dengan kondisi aktual yang berkembang.

Baca Juga: Meretas Ketimpangan Ekonomi: Peran Revolusi Pajak dan Redistribusi Pendapatan

Terakhir, penting untuk mendorong sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha hiburan, guna membangun kerjasama yang dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif dan berkelanjutan bagi kedua belah pihak.

Jika tidak ada perbaikan, kebijakan pajak hiburan dengan tarif yang terlalu tinggi dapat menjadi malapetaka bagi industri yang justru seharusnya bisa berkembang dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.

Dengan keseimbangan yang tepat, pemerintah dapat tetap meningkatkan PAD tanpa harus mengorbankan kelangsungan bisnis hiburan dan kesejahteraan masyarakat luas.

 

Penulis: Anggi Dame Octarisma Br Silaen
Mahasiswa Prodi D IV Akuntansi Sektor Publik, Politeknik Keuangan Negara STAN

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses