Sejak akhir 2021, thrifting makin digemari anak muda Indonesia. Tak sekadar cari pakaian murah, aktivitas ini jadi bagian dari gaya hidup kekinian.
Selain harga terjangkau, serunya berburu barang unik dan kadang menemukan produk branded murah membuat banyak anak muda ketagihan.
Tapi, apa motivasi mereka sebenarnya? Apakah hanya karena hemat dan gaya, atau ada alasan lain?
Menurut data BPS, impor pakaian bekas melonjak pada 2018–2020, dengan puncaknya di 2019 mencapai 392 ton.
Jepang tercatat sebagai penyumbang terbesar, mengirim sekitar 12 ton pakaian bekas ke Indonesia (Fadila et al., 2023).
Sementara itu, survei Goodstats menunjukkan bahwa 49,4% anak muda Indonesia pernah membeli pakaian bekas atau melakukan thrifting (Julia et al., 2024).
Istilah thrifting berasal dari kata thrift yang berarti hidup hemat. Awalnya, istilah ini menggambarkan gaya hidup hemat dalam berbelanja.
Namun kini, thrifting lebih sering merujuk pada aktivitas membeli barang bekas yang masih layak pakai.
Baca Juga: Insecure dan Obsesi dalam Dunia Thrift Shop: Analisis Psikologis
Kegiatan ini dilakukan untuk kebutuhan pribadi maupun sebagai peluang usaha karena barang yang dibeli biasanya berkualitas baik, namun berharga murah.
Tak heran jika thrifting menjadi tren, terutama di kalangan anak muda (Ramadhani et al., 2024).
Populernya thrifting di kalangan anak muda dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti harga terjangkau, model unik, dan kesadaran akan gaya hidup ramah lingkungan.
Namun, di balik itu, keputusan membeli barang bekas juga dipengaruhi oleh motivasi tertentu, bukan sekadar kebutuhan praktis.
Hal ini menunjukkan bahwa motivasi konsumen berperan dalam perilaku belanja anak muda saat ini.
Motivasi konsumen adalah dorongan dari dalam diri untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan, seperti membeli barang guna memperoleh kepuasan (Rosandi & Nurlatifah, 2022).
Secara umum, motivasi ini terbagi menjadi dua yaitu rasional dan emosional. Motivasi rasional didasari oleh pertimbangan logis, seperti berhemat atau mencari barang berkualitas dengan harga terjangkau.
Sementara motivasi emosional berkaitan dengan perasaan, misalnya senang menemukan barang unik, ingin tampil beda, atau bangga mendapat barang branded dengan harga murah.
Baca Juga: Bijak dalam Masuknya Impor Thrifting, Waspadai Ancaman Lingkungan dan Kesehatan yang Dapat Berdampak
Untuk memahami alasan di balik ketertarikan anak muda pada aktivitas thrifting, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap alasan subjektif dan pengalaman pribadi pelaku thrifting.
Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan dianalisis dengan teknik analisis tematik untuk mengungkap tema-tema motivasi.
Metode ini diharapkan memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang dorongan mereka dalam melakukan thrifting.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga responden (Z, R, dan ARD) yang berusia 21-23 tahun, ditemukan bahwa alasan mereka melakukan thrifting tidak hanya karena ingin hemat, melainkan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan logis, dorongan emosional, bahkan pengaruh sosial.
Hemat dan Fungsional
Semua responden mengatakan harga murah sebagai alasan utama mereka tertarik thrifting. R mengatakan, “Bisa mendapat lima barang seharga Rp200.000, dibandingkan hanya dua item di online shop.”
Selain harga, mereka juga mempertimbangkan kualitas bahan, seperti jahitan, tekstur, dan noda yang masih bisa ditoleransi.
Temuan ini sejalan dengan teori Schiffman & Kanuk bahwa motivasi rasional muncul dari penilaian logis terhadap manfaat produk (Rosandi & Nurlatifah, 2022).
Baca Juga: Usaha Thrift Mengancam Industri Tekstil RI
Wibowo et al. (2023) juga menyebutkan bahwa pertimbangan fungsional, seperti kegunaan, kualitas, dan manfaat finansial termasuk dalam motivasi rasional.
Dalam konteks ini, keputusan thrifting anak muda mencerminkan perilaku konsumtif dengan pertimbangan logis.
Bahkan dalam thrifting online, seperti yang dialami ARD di Shopee Live, mereka tetap menilai reputasi toko, ulasan, dan deskripsi produk secara rasional.
Seru, Unik, dan Bikin Bangga
Thrifting juga memberikan pengalaman emosional yang menyenangkan. Ketiga responden mengaku puas saat menemukan barang sesuai gaya mereka, terutama jika unik dan tidak pasaran.
ARD merasa lebih percaya diri memakai baju thrift, Z terinspirasi dari anime dan film, sementara R mengikuti gaya tokoh tertentu.
Hal ini sejalan dengan motivasi emosional, yaitu dorongan yang muncul dari perasaan. Konsumen membeli bukan hanya karena fungsi, tetapi karena produk memberi rasa senang, puas, bangga, percaya diri, atau tantangan menyenangkan (Rosandi & Nurlatifah, 2022).
Anak muda tertarik thrifting karena pengalaman emosional yang tidak mereka temukan saat membeli barang baru, dari proses mencari, menemukan gaya pribadi, hingga merasa produk tersebut mencerminkan identitas mereka.
Seperti Z yang menikmati keseruan berburu langsung di pasar, menyentuh bahan, dan menawar, sementara ARD merasakan tantangan saat “perang cepat” di live shopping TikTok.
Bagi mereka, aktivitas belanja ini adalah petualangan personal yang seru dan penuh kejutan.
Baca Juga: Thrift Shop Buubo.id
Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Beberapa responden menilai thrifting sebagai konsumsi ramah lingkungan karena memperpanjang usia penggunaan pakaian dan mengurangi limbah.
ARD, misalnya, melihat pembelian barang bekas sebagai upaya mencegah pemborosan.
Pandangan ini sejalan dengan Ekasari (2017), yang menyebut pemasaran berkelanjutan mendorong perilaku konsumtif yang peduli lingkungan, seperti mendaur ulang dan memilih konsumsi berkelanjutan.
Dalam hal ini, thrifting dianggap sebagai bentuk konsumsi yang memperhatikan dampak lingkungan melalui perpanjangan siklus hidup produk.
Namun, tidak semua setuju. R menilai thrifting bisa menjadi tidak ramah lingkungan jika barang yang tidak laku hanya menumpuk dan tetap menjadi limbah.
Pengaruh Teman dan Media Sosial
Ketiga responden mengaku tertarik karena melihat teman-teman mereka melakukannya, sehingga timbul rasa penasaran untuk ikut mencoba.
Selain itu, media sosial seperti TikTok juga mendorong minat melalui konten haul, review pasar, dan transformasi baju bekas yang membuat thrifting tampak menarik.
Hal ini sesuai dengan teori Kotler (dalam Muhrayanti & Sutama, 2024) bahwa perilaku konsumen dipengaruhi oleh kelompok referensi, keluarga, dan status sosial.
Teman menjadi kelompok referensi langsung, sementara media sosial menjadi referensi tidak langsung yang membentuk persepsi bahwa thrifting itu seru dan trendi.
Baca Juga: Dari Fast Fashion Menuju Sustainable Fashion: Transformasi dalam Industri Pakaian
Dengan demikian, kebiasaan thrifting anak muda bukan hanya soal kebutuhan atau selera, tetapi juga dipengaruhi lingkungan sosial mereka.
Dapat disimpulkan bahwa tren thrifting di kalangan anak muda bukan sekadar pilihan hemat, tapi dipengaruhi motivasi rasional seperti harga dan kualitas, serta motivasi emosional, seperti kepuasan, identitas, dan kesenangan.
Kesadaran lingkungan dan pengaruh sosial juga turut membentuk kebiasaan ini. Thrifting kini menjadi gaya hidup yang cerdas, ekspresif, dan selaras dengan nilai keberlanjutan.
Bagi anak muda, membeli barang bekas mencerminkan kepedulian, jati diri, dan cara mereka mengekspresikan diri di masyarakat.
Penulis:
1. Mar Atus Sholihah
2. Ade Fatma Azahra
3. Feby Nabila Cantika
Mahasiswa Prodi Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Dosen Pengampu: Alvin Eryandra
Referensi
Ekasari, Ayu. (2017). Intensi pembelian reusable bag: Peran social marketing untuk mencapai sustainable consumption. Jurnal Siasat Bisnis, 21(2), 119–130. https://doi.org/10.20885/jsb.vol21.iss2.art2
Fadila, N. N., Alifah, R., Faristiana, A. R., Puspita Jaya, J., & Timur, J. (2023). Fenomena Thrifting Yang Populer Dikalangan Mahasiswa. Jurnal Inovasi Ilmu Pendidikan, 1(3), 278–291.
Fitra Hasri Rosandi, N. N. (2022). Pengaruh Motivasi Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Barang Diskon Pada Mahasiswa Uts Di Minimarket Sumbawa Besa. Jurnal TAMBORA, 6(2), 59–65. https://doi.org/10.36761/jt.v6i2.1994
Ibrahim, R., Bumulo, S., & Apajulu, S. (2024). Fenomena Thrifting Fashion di Era Milenial (Studi pada Mahasiswa Pengguna Thrifting Fashion di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Selvin Apajulu SOSIOLOGI: Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(c), 136–145.
Julia, S. R., Zunaedi, R. A., & Putra, P. S. (2024). Analisis persepsi Generasi Z terhadap pembelian pakaian bekas pada sosial media di Indonesia. Journal of Management and Digital Business, 4(2), 157–174. https://doi.org/10.53088/jmdb.v4i2.938
Muhrayanti, S., & Sutama, I. N. (2024). Analisis Faktor Sosial Dan Budaya Konsumen Dalam Mempengaruhi Perilaku Pembelian Produk Alfamart Sumbawa Besar. Samalewa: Jurnal Riset & Kajian Manajemen, 3(2), 274–285. https://doi.org/10.58406/samalewa.v3i2.1349
Rmadhani, R. M., Amalia, I. D., & Rachmah, N. P. (2024). Generasi Milenial dan Generasi Z Surabaya : Perbedaan Persepsi dan Motivasi Trend Fashion Thrifting. 1272–1285.
Wibowo, Aldrian, Safa, Cecep, Chan, Arianis, & Tresna, Pratami Wulan. (2023). Analysis of Consumers Rational and Emotional Motives in Making Purchases to Improve Marketing Strategy. 1–14. https://doi.org/10.21632/ibr.6.1.1-14
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News