Selain menjadi kota budaya yang megah, Solo juga terkenal dengan kekayaan tradisi terutama kuliner yang menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan leluhur. Kuliner Solo memiliki keunikan tersendiri, tidak hanya memainkan rasa tetapi juga dari filosofi dan sejarahnya.
Beberapa hidangan bahkan dulunya hanya bisa dinikmati di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta saja. Namun, seiring berjalannya waktu makanan-makanan ini mulai diperkenalkan kepada masyarakat luas, sehingga memperkaya khazanah kuliner Nusantara.
Menurut Heri Priyatmoko, ahli sejarawan Universitas Sanata Dharma, keragaman kuliner Kota Solo bertujuan menjadi simbol harmoni budaya sekaligus kekuatan ekonomi daerah.
Keragaman kuliner di Kota Solo tercipta akibat dari pergaulan budaya antar komunitas yang intensif dan didukung pula kreativitas masyarakat setempat dalam menjawab suatu tantangan sehingga memunculkan jenis makanan baru.
Keberadaan komunitas Jawa, Eropa, Tionghoa, dan Arab di masa silam menyumbang keragaman makanan di meja makan, kemudian menjadi simbol harmoni sosial.
Dalam perspektif pariwisata, karakter masyarakat yang mempunyai hobi jajan serta tersedianya aneka jenis kuliner tersebut membawa dampak menguatnya citra Solo sebagai kota “keplek ilat”. Kenyataan ini pada gilirannya menjadi kekuatan ekonomi Kota Solo.
Itu menjadi bukti bahwa harmoni budaya terjadi di meja makan. Ada budaya lintas etnis dalam kuliner yang terjadi tanpa konflik atau ketegangan.
Di masa lalu, Solo (Surakarta) dikenal sebagai Kota Damai. Tetapi, pada saat itu, ada serangkaian istilah yang tidak menyenangkan untuk solo dan membuat warganya tidak nyaman sampai sekarang yaitu “Kota Konflik”, “Kota Petulan”, orang-orang Solo cenderung untuk ngalah (mengalah), ngalih (pindah), dan ngamuk (geram), dan “sarang teroris” adalah julukan negatif yang diberikan oleh publik. Gambaran buruk itu terlampir pada realitas sosial-historis di kota ini yang sebelumnya adalah kerajaan.
Sejarah mencatat banyak konflik sosial, beberapa mengarah ke konflik etnis. Pertama, bentrokan desa Laweyan pada tahun 1911. Akar masalahnya adalah persaingan kepentingan bisnis antara orang Jawa dan asosiasi pedagang Cina yang mengarah pada pembentukan Sarekat Dagang Islam (SDI).
Kedua, bentrokan antara komunitas Jawa dan keturunan Arab juga terjadi pada tahun 1970-an. Ketiga, pada 1980 dan Mei 1998 warga Solo mengamuk dan membakar kota mereka, pusat kota Cina dan pasarnya dihancurkan dan dijarah.
Kemudian, julukan “sarang teroris” mengacu pada fakta bahwa beberapa para pemimpin teroris telah hidup atau lahir di wilayah ini, seperti pada kasus penembakan Sarinah, otak di balik penembakan tersebut adalah seorang pemuda dari Solo.
Ditambah dengan tindakan agama radikal yang menghiasi wilayah tersebut yang berulang kali menekankan bahwa beberapa orang tampaknya akrab dengan radikalisme.
Secara perlahan, citra negatif yang telah menyebar di seluruh negeri dan mengakar dalam bawah sadar masyarakat, memiliki potensi untuk menjustifikasi tindakan radikal dan destruktif. Fakta ini sangat berbahaya bagi generasi muda jika dibiarkan tanpa pengawasan.
Harus diputuskan dengan menghadirkan kontra-diskursus melalui rekonstruksi cerita-cerita sejarah yang mengandung aspek harmoni antara kelompok etnis dan sosial. Salah satu yang penting adalah diskursus mengenai kuliner.
Baca Juga: Menyusuri Pesona Kota Budaya Surakarta
Tradisi “keplek ilat” bukan sekadar representasi dari kenikmatan memanjakan lidah tetapi menjadi bukti bagaimana meja makan menjadi ruang sosial yang inklusif.
Di tengah sejarah panjang konflik etnis, ketegangan politik, dan stereotip yang membayangi wajah Kota Solo, kuliner tampil sebagai medium rekonsiliasi kultural (transformasi kesadaran) yang kuat.
Setiap sajian yang hadir di meja makan tidak hanya mewakili kekayaan rempah atau teknik memasak saja melainkan adanya jejak panjang pertemuan antarkelompok yang berbeda latar.
Ketika narasi sejarah nasional sering kali dibangun di atas memori luka dan konflik, Kota Solo justru memiliki potensi untuk menarasikannya melalui kisah damai yang tersaji dalam semangkuk timlo, sepiring tongseng, atau gigitan lembut semar mendem.
Kuliner-kuliner tersebut adalah bentuk kontra-hegemonik terhadap wacana intoleransi dan eksklusivisme yang kerap mendominasi ruang publik.
Dengan menjadikan kuliner sebagai simbol harmoni, masyarakat Solo telah memberikan pelajaran penting bahwa keberagaman tidak selalu harus dikelola lewat peraturan, tetapi bisa tumbuh secara alami melalui rasa saling menerima dalam keseharian.
Meja makan menjadi ruang sosial tanpa hierarki, tempat prasangka dan perbedaan larut bersama aroma masakan. Inilah kekuatan budaya yang tidak tampak, namun bekerja secara konsisten dalam membangun jembatan antar manusia.
Sejak era kerajaan sampai sekarang, kuliner Solo terkenal karena enak dan memiliki banyak penggemar. Ini membentuk dan mempertahankan kenyataan bukan kebetulan, itu karena satu faktor, yaitu karakter masyarakatnya. Marbangun Hardjowirogo (1984) memotret Surakarta-Javanese adalah penikmat kehidupan pol-polan (paling baik).
Priayi dari Surakarta dapat diklasifikasikan sebagai makhluk hedonis yang memuja kenikmatan dalam segala hal, terutama kenikmatan makanan. Makanan bukan hanya masalah rasa dan mengisi perut, tetapi juga penanda kelas sosial atau menunjukkan perbedaan atau membagi garis antar kelompok.
Baca Juga: Tempat Wisata Sejarah di Kota Surakarta
Interaksi sosial antar komunitas mendorong pengantar elemen budaya yang dimiliki oleh setiap komunitas dan budaya akulturasi terjadi, tanpa kecuali aspek kuliner. Dari berbagai kota di jawa, Solo adalah tempat yang intens untuk dipengaruhi oleh kedatangan berbagai komunitas.
Kebiasaan atau budaya yang menempel pada tubuh komunitas asing tampaknya tidak menghilang meskipun posisinya sebagai minoritas dan dikelilingi oleh orang Jawa sebagai mayoritas. Melalui perjuangan budaya dan perjuangan yang intens di sinilah budaya melintasi dan keanekaragaman kuliner diciptakan.
Dalam konteks urusan makanan, orang Tionghoa telah berhasil menghadirkan berbagai jenis makanan khas di meja makan warga Solo tanpa disertai oleh konflik atau ketegangan. Sentimen etnis tidak berlaku alias hilang di meja prasmanan.
Kecenderungan intoleransi terhadap pluralisme dan isu “penduduk asli dan bukan asli” yang kini menjadi masalah nasional tidak ditemukan di meja makan.
Sebuah kenyataan sejarah yang menggembirakan adalah bahwa kontribusi masyarakat Tionghoa tidak kecil dalam meningkatkan keragaman makanan di Solo, sehingga ada “pelangi” di meja makan kita.
Masyarakat Solo gemar “keplek ilat” karena bagi mereka makanan adalah bahasa budaya. Ia mengekspresikan kehalusan rasa, kegembiraan hidup, kebanggaan lokal, dan nilai-nilai sosial yang membaur tanpa konflik. Dalam setiap suapan, ada jejak sejarah, identitas, dan harapan akan harmoni.
Maka, “keplek ilat” itu bukan hanya gerakan lidah, tetapi juga simbol dari cara hidup dan cara berpikir orang Solo. Karakter sosial masyarakat Solo yang tenang, santun, dan menyukai interaksi informal turut memperkuat kebiasaan “keplek ilat”. Budaya “jajan” dan “ngiras” bukan hanya soal konsumsi, tetapi juga sarana bersosialisasi.
Sekali lagi, meja makan menjadi ruang tanpa sekat, tempat di mana kelas sosial, agama, dan etnis seringkali mencair. Budaya “keplek ilat” memperkuat rasa keterikatan sosial sekaligus menciptakan ruang rekonsiliasi kultural.
Penulis:
1. Amanafaiza Asyahwa
2. Dhiva Rosa Alia S.
3. Diya Putri W.
4. Dwita Rahma A.
5. Putri Arista
Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Sebelas Maret
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi:
https://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/download/1825/1399
Budaya ‘Keplek Ilat’ Jadi Alasan Kuliner Non-Halal Menjamur di Solo Jateng, Padahal Mayoritas Muslim – Tribunsolo.com
Cita Rasa Kuliner Solo yang Khas dan Filosofis – Jateng Kita
Ikuti berita terbaru di Google News