Bayangkan, kita sedang mengikuti kegiatan rohani. Suasana tenang, penuh refleksi, dan damai. Tapi tiba-tiba, ada yang datang membawa penolakan, suara keras, bahkan ancaman.
Ibadah yang sakral, malah dipaksa berhenti. Bukan karena ada kekacauan, tapi hanya karena dianggap “tidak cocok” atau “tidak ada izin lingkungan”. Inilah yang terjadi ketika kegiatan retret di Sukabumi dibubarkan.
Sebagai mahasiswa yang belajar tentang keadilan, etika, dan hak asasi manusia, saya merasa miris.
Indonesia yang katanya berpegang teguh pada Pancasila dan menjamin kemerdekaan beragama dalam konstitusi, malah dihadapkan pada kenyataan bahwa hukum sering kali tak berdaya di bawah tekanan massa.
Lebih parahnya lagi, aparat yang seharusnya melindungi justru terkesan membiarkan. Hukum diam, negara pasif.
Etika profesi entah ke mana, sedangkan Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan kebebasan beragama.
Namun dalam praktiknya, kebebasan itu sering kali hanya berlaku bagi mayoritas. Untuk bisa beribadah, umat minoritas masih sering berjuang menghadapi izin lingkungan yang dipersulit, penolakan dari sekitar, dan bahkan ancaman intimidasi.
Baca Juga: Penegakan Hukum terhadap Pelaku Perpeloncoan Mahasiswa Baru dalam Kerangka Sosiologi Hukum
Meskipun UUD 1945 Pasal 29 dengan tegas menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi setiap penduduk, jika realitas di lapangan berbanding terbalik, kita perlu mempertanyakan: di mana peran negara dan bagaimana hukum bisa diam? Contoh nyata yang tak bisa kita lupakan adalah GKI Yasmin di Bogor.
Meski telah mengantongi izin resmi dan bahkan memenangkan di Mahkamah Agung, jemaat gereja tersebut hingga kini masih tidak dapat beribadah di lokasi mereka sendiri.
Mereka harus berpindah-pindah, bahkan sempat beribadah di depan Istana Negara hanya untuk menuntut hak yang seharusnya dijamin konstitusi.
Ada juga kasus HKBP Filadelfia di Bekasi, di mana jemaatnya sering mengalami gangguan dan intimidasi saat ingin beribadah Minggu.
Bahkan ada yang dilempari kotoran oleh warga sekitar. Di Bantul, Yogyakarta, ibadah rumah tangga juga pernah dibubarkan paksa karena dianggap tidak punya izin lingkungan.
Semua kejadian ini hanya menunjukkan satu hal: kebebasan beragama belum sepenuhnya terwujud di negeri kita.
Kita tidak sedang membicarakan pelanggaran berat, melainkan hak untuk beribadah. Hal paling dasar dan personal yang seharusnya dilindungi oleh siapapun—terutama oleh aparat dan pemangku kebijakan.
Baca Juga: Merawat Harmoni dalam Keberagaman melalui Moderasi Beragama
Namun, ketika kegiatan rohani umat dibubarkan tanpa alasan logis, kita harus jujur mengakui: ini bukan sekadar masalah administrasi atau surat izin. Ini soal rasa aman yang dicabut, dan dirampas hak beragama.
Lalu, di mana suara hukum? Di mana suara etika profesi para petugas dan pemimpin daerah?
Penting bagi mereka untuk bersikap netral dan mengayomi semua warga, tanpa terhalang kekhawatiran akan anggapan membela minoritas.
Justru di sinilah etika profesi diuji: keberanian untuk melindungi yang lemah, sekalipun hal itu tidak populer.
Kejadian-kejadian ini tak hanya melanggar hak, tetapi juga menunjukkan krisis dalam penegakan etika profesi, terutama.
Etika profesi menuntut adanya integritas, keadilan, dan keberanian dalam mengambil sikap yang benar, terutama ketika menghadapi tekanan.
Polisi, misalnya, seharusnya tidak goyah oleh tekanan massa. Itu adalah tanggung jawab mereka sepenuhnya untuk menegakkan hukum dan memberikan perlindungan kepada warga tanpa diskriminasi.
Saat aparat membiarkan, bersikap pasif, atau bahkan setuju dengan pembubaran ibadah, mereka telah melangkahi hukum dan mengingkari tugas moral yang seharusnya mereka jalankan.
Etika itu bukan sekadar pelajaran kelas. Itu pedoman ketika kita dihadapkan pada pilihan sulit.
Polisi, lurah, atau pejabat publik seharusnya menegakkan keadilan bagi semua, alih-alih hanya mengikuti tekanan dari kelompok tertentu.
Itu adalah tanggung jawab moral mereka. Tapi ketika yang dibela hanya yang mayoritas, sementara yang lain dibiarkan dibungkam, itu bukan lagi etika, itu diskriminasi.
Kasus pembubaran ibadah ini juga menjadi cerminan buruk bagi wajah Indonesia di mata dunia.
Negara yang mengklaim sebagai negara demokratis dan menjunjung toleransi, ternyata masih gagal memberikan perlindungan setara untuk seluruh umat beragama.
Bagaimana kita bisa menyatakan diri toleran jika tempat ibadah masih dibubarkan karena tekanan kelompok? Bagaimana bisa kita bangga beragam kalau suara minoritas terus-menerus dibungkam?
Kita tidak cukup hanya tahu teori, kita harus sadar akan kenyataan. Kita memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara saat ketidakadilan muncul.
Seperti yang dikatakan Desmond Tutu, “If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor.”
Maka dari itu, kita harus mulai dari hal kecil—menyuarakan yang benar, mengkritisi yang salah, dan berdiri di sisi korban, siapapun mereka, apapun agamanya.
Ketika ibadah dibubarkan dan hukum tak bersuara, maka keadilan sedang dalam ancaman. Dan jika kita semua memilih diam, bukan tidak mungkin kelak, giliran kita yang akan dibungkam.
Maka tugas kita bukan sekadar belajar, tapi berani bersuara, demi kebebasan dan kemanusiaan yang adil bagi semua.
Penulis:
1. Yuni Arta Sihotang
2. Rianiate Malau
3. Intresta Alimdam
4. Helena Sihotang
Mahasiswa dan Dosen Prodi Manajemen, Universitas Katolik Santo Thomas
Dosen Pengampu: Helena Sihotang
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News