Dalam beberapa tahun terakhir, isu imigrasi kembali menjadi sorotan, tak hanya di negara-negara Barat, tetapi juga di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Arus manusia yang terus bergerak lintas negara kian deras, dipicu oleh ketidakstabilan politik, konflik, perubahan iklim, dan peluang ekonomi.
Namun, seiring dengan meningkatnya jumlah imigran, muncul pula narasi ketakutan: bahwa para pendatang akan merebut lapangan kerja, membebani layanan publik, hingga mengancam budaya lokal.
Opini semacam ini terus digaungkan di berbagai lini, terutama melalui media sosial dan politik populis. Namun benarkah demikian?
Imigrasi, dalam banyak kajian ilmiah, justru terbukti memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan dinamika sosial. Imigran sering kali mengisi kekurangan tenaga kerja, terutama pada sektor-sektor yang dihindari warga lokal. Mereka juga membawa keterampilan baru dan memperkaya keragaman budaya.
Studi yang dimuat dalam jurnal OECD Economic Outlook (2020) menyebutkan bahwa imigran di banyak negara anggota OECD berperan signifikan dalam mendukung pasar tenaga kerja dan menopang sistem pensiun nasional.
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, meskipun bukan negara tujuan utama imigrasi global, posisi geografis strategis menjadikan Indonesia titik transit bagi para pencari suaka dan pekerja migran dari berbagai negara. Data dari UNHCR menunjukkan lebih dari 13.000 pencari suaka tinggal di Indonesia hingga akhir 2023.
Sayangnya, belum banyak kebijakan nasional yang secara tegas mengatur status jangka panjang mereka. Akibatnya, para imigran ini seringkali terjebak dalam limbo hukum dan sosial—tidak bisa kembali, tetapi juga tak bisa berintegrasi secara penuh.
Isu imigrasi tidak akan selesai hanya dengan menutup perbatasan atau menyalahkan para pendatang. Yang diperlukan adalah kebijakan komprehensif: perlindungan terhadap warga negara, tetapi juga penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pemerintah harus membangun sistem imigrasi yang berbasis data, transparansi, dan keadilan.
Sementara itu, masyarakat sipil dan media memiliki peran krusial dalam membentuk persepsi publik. Alih-alih memperkuat stigma, media seharusnya menjadi ruang dialog dan edukasi agar publik memahami realitas imigrasi secara utuh. Ketakutan dan prasangka hanya akan menciptakan dinding—padahal dunia kini membutuhkan lebih banyak jembatan.
Baca Juga:Â Krisis Kemanusiaan dalam Negeri: Mengurai Dampak dan Tantangan Imigran Rohingya bagi Indonesia
Imigrasi bukan persoalan hitam-putih. Ia adalah dinamika sosial yang kompleks, penuh potensi, dan menuntut empati.
Kita bisa memilih untuk melihat imigran sebagai ancaman, atau sebagai manusia yang membawa cerita, harapan, dan kemungkinan-kemungkinan baru.
Penulis: Arnold Alfa Julianto Tajo
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih (Uncen)
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News