Kewarganegaraan: Lebih dari Sekedar Status di KTP

Kewarganegaraan: Lebih dari Sekedar Status di KTP
Sumber: satukataindonesia.com

Di Indonesia, setiap orang yang lahir dari orang tua WNI otomatis disebut warga negara Indonesia.

Tapi, pernahkah kita bertanya: apa sih sebenarnya makna menjadi warga negara? Apakah sekadar punya KTP dan ikut Pemilu? Atau justru lebih dari itu?

Di tengah gempuran globalisasi dan hiruk-pikuk media sosial, identitas kewarganegaraan semakin kompleks.

Tak sedikit anak muda yang merasa “jauh” dari negaranya sendiri.

Bacaan Lainnya

Mereka merasa negara hadir hanya saat ada iuran, pajak, atau peraturan, tapi absen ketika rakyat butuh perlindungan, pendidikan layak, atau ruang hidup yang aman.

Lalu, apa gunanya jadi warga negara kalau hanya jadi objek kebijakan?

Padahal, dalam konsep ideal, kewarganegaraan bukan cuma tentang hak dan kewajiban administratif. Ia adalah soal keterlibatan.

Baca Juga: Membangun Generasi Cakap Ekonomi Berintegritas di Era Digital melalui Pendidikan Kewarganegaraan

Seorang warga negara sejati adalah dia yang sadar akan perannya: peduli pada lingkungan sosial, kritis terhadap kebijakan pemerintah, dan aktif membangun ruang-ruang dialog demi perubahan.

Kewarganegaraan bukan hanya di atas kertas, tapi dihidupi dalam sikap dan tindakan sehari-hari.

Namun realitanya tak seindah teori. Banyak warga yang bahkan tak tahu hak-haknya, apalagi menjalankannya.

Survei CSIS pada Agustus 2022 menunjukkan hanya 56,5% anak muda yang percaya pada DPR, dan bahkan 43,9% merasa tidak bebas menyampaikan kritik terhadap pemerintah (Kompas, 2022).

Ini menandakan krisis kepercayaan politik, khususnya di kalangan generasi muda yang justru akan mewarisi arah bangsa ke depan.

Pendidikan kewarganegaraan pun sering kali diajarkan secara kaku dan normatif.

Akibatnya, generasi muda lebih paham soal trending di TikTok ketimbang memahami fungsi DPR, hukum dasar, atau isu-isu HAM.

Baca Juga: Digital Sehat, Moral Kuat: Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Jaga Kesehatan di Era Informasi

Apalagi jika partisipasi politik juga minim survei yang sama menunjukkan hanya 1,1% pemuda aktif di partai politik, dan mayoritas tidak tertarik mencalonkan diri jadi wakil rakyat (GoodStats, 2023).

Kita juga harus jujur: kadang negara pun “pilih-pilih” dalam memperlakukan warganya.

Mereka yang tinggal di kota besar, punya koneksi, atau berasal dari kelompok mayoritas, sering mendapat perlakuan lebih baik daripada mereka yang terpinggirkan.

Lihat saja Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2023: DKI Jakarta berada di angka 83,55, sementara Papua hanya 63,01 (BPS, 2023).

Ini lebih dari sekadar angka ini bukti nyata bahwa akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi belum merata.

Dalam situasi seperti ini, kewarganegaraan jadi tampak seperti “privilege”, bukan hak yang setara bagi semua.

Jadi, kalau kita bicara soal kewarganegaraan hari ini, pertanyaannya bukan cuma “siapa warganya?”, tapi juga:

Apakah negara hadir untuk semua? Apakah warga terlibat membangun bangsa? Apakah kita benar-benar merasa memiliki negeri ini?

Baca Juga: Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Negara Demokrasi

Menjadi warga negara adalah proses, bukan status mati. Ia harus terus diperjuangkan: lewat pendidikan, partisipasi, dan keberanian untuk bersuara.

Karena pada akhirnya, negara bukan hanya tentang pemerintah di atas sana tapi tentang kita, yang ada di bawah, di tengah, dan di mana pun yang ingin Indonesia lebih adil, manusiawi, dan bermartabat.

 

Penulis: Hilma Hilwana
Mahasiswa Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Pamulang

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses