Kearifan Budaya, Instrumen Penyangga Keberlanjutan Sumberdaya Alam di Tanah Papua

Kearifan Budaya
Kearifan Budaya (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam merupakan isu utama dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dewasa ini.

Berbagai format, pola dan model pengelolaan sumberdaya alam dirumuskan untuk menjaga alam agar tidak dirusaki oleh individu, kelompok, korporasi bahkan negara sekalipun.

Konsep Pembangunan dan regulasi juga dibuat oleh pemerintah yang berorientasi menjaga keberlanjutan sumberdaya alam.

Bacaan Lainnya
DONASI

Sebut saja kewajiban membuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk mengurus izin lingkungan. Konsep dan regulasi yang paling anyar adalah kewajiban menyusun dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Model-model pengelolaan sumberdaya alam juga sudah banyak dirumuskan dan dilaksanakan seperti model Co-Management dan Marine Protected Area (MPA) untuk menjaga pelestarian sumberdaya pesisir dan laut.

Regulasi terkati kawasan hutan lindung dan taman nasional juga merupakan konsep pelestarian sumberdaya alam.

Sayangnya, semua konsep, regulasi dan model kebijakan itu gagal dalam tataran implementasi. Pasalnya, masih ada oknum tertentu yang kebal hukum dan mampu menabrak segala aturan tersebut demi menjaga kepentingan bisnis dan keberlanjutan usahanya. Karena punya patron politik dan kolega yang berkuasa.

Oknum-oknum ini cenderung mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa memperdulikan kelestarian lingkungan. Alhasil, banyak sekali kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya alam yang membabi buta.

Eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia telah dilakukan sejak dulu sampai saat ini, semuanya bertujuan menghasilkan pendapatan negara buat memenuhi anggaran pendapatan dan belanja negara.

Papua adalah salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam dan telah dieksploitasi sejak zaman dulu sampai sekarang.

Sebut saja tambang tembaga dan emas di Freeport yang beroperasi sejak 1967, blok migas di Teluk Bintuni, alih fungsi lahan untuk Kelapa Sawit seluas 162.000 ha di tahun 2021 dan masih banyak lagi rencana eksploitasi sumberdaya alam di tanah Papua. Semua aktivitas eksploitasi ini dilakukan oleh korporasi atau Perusahaan.

Tanggung jawab Perusahaan adalah membayar royalty kepada negara dan memenuhi kewajiban kepada Masyarakat melalui dan Corporat Social Responsibility (CSR).

Mirisnya, tanggung jawab untuk memulihkan lingkungan pada lokasi eksploitasi selalu diabaikan, lahan pasca eksploitasi dibiarkan begitu saja.

Pada akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan, menurunnya kualitas lingkungan terutama kualitas air minum dan kehancuran ekologi dalam arti luas.

Kondisi di atas melahirkan tanya, lalu apa yang bisa dilakukan untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam di masa depan?

Konsep, model kebijakan dan regulasi seperti apa yang efektif dan efisien dalam memastikan keberlanjutan sumberdaya alam di tanah Papua?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, perlu dirumuskan peta jalan, konsep dan pendekatan pengelolaan yang menggabungkan antara aspek potensi sumberdaya alam, pelestarian lingkungan dan sosial budaya masyarakat Papua.

Membaca realitas sosial budaya masyarakat Papua kaitannya dengan sumberdaya alam, maka terdapat lima pendekatan yang dapat dirumuskan dan diimplementasikan sebagai instrumen penyangga keberlanjutan sumberdaya alam di tanah Papua.

Pertama, konsolidasi kebudayaan. Kedua, membumikan kearifan lokal orang Papua. Ketiga, pengelolaan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal orang Papua. Keempat, menyusun regulasi adat. Kelima, membentuk Mahkamah Adat Papua (MAP).

Konsolidasi Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari akar kata budaya yang artinya warisan kebiasaan dari generasi ke generasi, ditaati dan dijalani serta menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam kurun waktu yang lama.

Kebudayaan orang Papua sangat beragam dan tua usianya, namun saat ini mengalami tantangan zaman yang besar sekali.

Modernisasi menimbulkan pergeseran nilai budaya dan terjadi akulturasi budaya. Budaya lokal terpinggirkan oleh hadirnya budaya baru yang tersosialisasi melalui media virtual dan media sosial.

Ditambah lagi dengan keterbukaan masyarakat Papua untuk menerima orang luar Papua pada wilayah-wilayah otonomi baru, terutama terjadi pada kota-kota baru.

Asimilasi alamiah antara orang asli Papua dengan orang luar Papua dalam dinamika urbanisasi mendoring terjadinya akulturasi budaya.

Distorsi nilai kebudayaan salah satunya ditandai dengan hilangnya Bahasa Ibu dan berkurangnya penutur Bahasa Ibu.

Realitas ini membutuhkan konsolidasi kebudayaan untuk menggali akar budaya, mensosialisasikan nilai-nilai kebudayaan dan menghidupkan nilai kebudayaan tersebut dalam kehidupan seluruh masyarakat Papua.

Konsolidasi kebudayaan dapat dilakukan melalui ruang pendidikan formal dengan cara menghidupkan mata pelajaran muatan lokal dan menulis buku tentang budaya orang Papua agar bisa dibaca oleh generasi berikutnya.

Membumikan Kearifan Lokal Orang Papua

Orang Papua adalah sebutan kepada masyarakat asli yang mendiami tanah Papua. Di pulau ini terdapat 255 suku yang memiliki adat, budaya dan aturannya masing-masing.

Di dalamnya terdapat kearifan-kearifan lokal yang tumbuh dan dijalani sebagai filsafat hidup. Kehidupannya yang bergantung kepada alam, membuat orang Papua sangat mencintai alam.

Rasa cinta yang tinggi tersebut melahirkan kearifan untuk menjaga, merawat dan melestarikan alam. Akan tetapi, kearifan lokal ini diperhadapkan pada infiltrasi investasi yang mengeksploitasi sumberdaya alam sehingga mendatangkan petaka dan kehancuran alam.

Untuk itu diperlukan adanya proses membumikan kembali kearifan lokal orang Papua agar dipahami, dimengerti, ditaati dan menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan di Negeri ini.

Pemerintah pusat dan daerah perlu mempelajari kearifan-kearifan lokal orang Papua, agar dalam merumsukan kebijakan tidak merusak lingkungan.

Belajarlah dari kearifan orang Papua dalam bergaul dengan alam dan lingkungan tempat hidupnya adalah kunci membangun kearifan individu dan kearifan universal dalam mengelola alam.

Dengan demikian, seluruh kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di tanah Papua akan diarahkan berbasis falsafah hidup orang Papua dan kebijaksanaannya dalam merawat alam.

Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kearifan Lokal Orang Papua

Banyak sekali kearifan lokal orang Papua dalam menjaga dan melestarikan sumberdaya alam. Nggama di Pulau Namatotoa, suatu kearifan yang terbukti ampuh menjaga kelestarian perairan Namatota dari tumpukan sampah akibat pembuangan sampah di laut oleh warga.

Nggama adalah satu keputusan Raja Namatota yang sakral, mengikat dan memiliki sanksi tegas bagi warganya. Keputusan raja ini dengan tegas menyatakan bahwa warga Namatota dilarang membuang sampah ke laut.

Tradisi Sasi orang Papua terdiri dari Sasi Darat dan Sasi Laut. Sasi ini bertujuan untuk melindungi sumberdaya alam dari proses eksploitasi yang berlebihan.

Metodenya adalah penentuan waktu buka dan tutup sasi. Ketika sasi dibuka maka masyarakat diberi kesempatan untuk mengambil atau memanen sumberdaya tersebut dan sebaliknya jika sasi ditutup maka seluruh warga dilarang untuk mengambil sumberdaya tersebut atas dasar alasan apapun.

Jika ada warga yang melanggar aturan sasi maka warga tersebut akan dihukum sesuai dengan aturan adat sasi yang berlaku.

Upacara Sinara di Kaimana adalah tradisi memohon permisi kepada para leluhur. Sinara merupakan suatu tradisi masyarakat Kaimana yang menjadi ritual permohonan izin masyarakat adat kepada para leluhurnya sebelum melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam misalnya menebang kayu untuk pembuatan perahu, pembangunan rumah, penebangan pohon dalam proses berkebun.

Selain itu, di tanah Papua umumnya terdapat daerah terlarang. Daerah yang dianggap mistis dan merupakan kawasan terlarang alias tidak boleh dikunjungi. Daerah ini dianggap mistis dan memiliki kekuatan supranatural.

Menyusun Regulasi Adat Terkait Keberlanjutan Sumberdaya Alam

Keputusan Kepala Suku dan Kepala Kampung (Bapa Raja) adalah final dan mengikat. Keputusan ini dianggap sakral, sehingga ditaati, dijalani dan dijadikan pegangan hidup.

Namun saat ini telah terjadi distorsi nilai adat dan kearifan lokal, maka butuh intelektual muda Papua dari setiap suku untuk hadir membersamai para tetua adat dalam membuat regulasi adat terkait perlindungan sumberdaya alam untuk memastikan keberlanjutannya.

Karena maraknya ekpsloitasi sumberdaya alam atas nama industrialisasi dan investasi yang berpotensi menghancurkan sumberdaya alam di tanah Papua. Korporasi cenderung mempraktikan pola bujuk rayu dan pola pendekatan instan dengan membayar tetua adat.

Oleh karena itu, anak muda Papua yang tercerahkan sudah saatnya turun gunung menggerakan seluruh tetua adat untuk membuat regulasi adat terkait larangan mengekploitasi sumberdaya alam di kawasan hutan adat dan tanah adat.

Membentuk Mahkamah Adat Papua

Regulasi adat yang disusun sudah pasti memiliki sanksi tegas kepada setiap individu dan korporasi yang melanggarnya.

Untuk mengawasi proses implementasi regulasi adat tersebut seyogianya dibentuk Mahkamah Adat Papua (MAP).

Lembaga ini terdiri dari perwakilan suku-suku di Papua dalam satu kampung, distrik, kabupaten dan provinsi yang bertugas untuk mengawal pelaksanaan regulasi adat dan mengevaluasinya.

Selain itu, MAP juga dapat berfungsi sebagai lembaga pengadilan adat yang mengadili dan menghukum setiap individu, kelompok dan korporasi yang melanggar aturan-aturan adat yang telah ditetapkan. MAP dapat dibuat terstruktur mulai dari tingkat provinsi sampai distrik dan kampung.

Filosofi hidup orang Papua dalam melestarikan alam adalah “merusak hutan sama saja seperti membunuh ibu kandung kita sendiri; Sebab selayaknya ibu, hutan memberikan segala hal yang dibutuhkan masyarakat sejak dahulu”.

Nilai kearifan ini tua usianya, sejak zaman Holozen sampai Antrophozen. Meski di era Antrophozen saat ini telah terdegradasi oleh karena keserakahan manusia.

Namun saatnya kita merawat tradisi menjaga alam Papua agar tetap lestari untuk dinikmati oleh anak cucu di masa yang akan datang.

Saatnya pemerintah pusat dan daerah memastikan seluruh proses eksploitasi alam Papua dilakukan dengan ramah lingkungan dan tidak menerabas nilai-nilai filosfis dan kearifan orang Papua. Semoga.

Penulis: Rizald Hussein
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI