Seperti kata Ir. Soekarno dalam pidatonya beliau mengatakan “Berikan aku seribu orang tua, maka akan kucabut semeru dari akarnya. Dan berikan aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”.
Kalimat ini memberikan makna bahwa anak muda memiliki peranan penting dalam setiap peradaban. Energi serta power yang dimiliki jauh lebih matang dan superior.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan ribuan pulau, budaya hingga memiliki jutaan penduduk dengan beraneka ragam.
Baca juga: Phobia Politik Mahasiswa: Inklusifitas dan Redefinisi Makna Agent of Change
Hal ini tentu menjadi tantangan yang besar bagi pemerintah Indonesia untuk bagaimana bisa mengolah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dengan sebaik-baiknya.
Maka untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkuantitas salah satu pointnya adalah terletak pada bagaimana negara mampu menjamin fasilitas baik sarana maupun prasarana bagi warga negaranya untuk mengakses ilmu pengetahuan melalui bidang pendidikan.
Pendidikan menjadi point penting guna mengembangkan pola pikir atau wawasan seseorang baik dalam ranah ilmu pengetahuan maupun membangun relasi yang lebih luas antar sesama manusia.
Di Indonesia peraturan yang mengatur tentang pendidikan terdapat dalam peraturan pemerintah nomor 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Di dalam peraturan tersebut berbicara mengenai peserta didik maupun tenaga pendidik serta kurikulum baik yang formal yakni ditetapkan oleh pemerintah maupun yang dipilih secara lokal oleh masyarakat melalui suatu yayasan atau lembaga masyarakat.
Walaupun telah diatur dalam sebuah peraturan, nampaknya pendidikan di Indonesia masih belum diselenggarakan secara maksimal. Maksudnya, segala bentuk fasilitas maupun tenaga pengajar belum bisa dinikmati secara berkeadilan bagi setiap pihak yang berhak mendapatkannya.
Baca juga: Anak Muda dan Kampanye Sosial Media
Indonesia merupakan negara dengan ribuan pulau serta memiliki jumlah penduduk yang besar hal ini tentu menjadi tantangan yang besar pula bagi pemerintah untuk bagaimana bisa memeratakan fasilitas maupun tenaga pendidik agar dapat dinikmati sarana prasarana pendidikan dengan senyaman mungkin.
Melihat kondisi serta situasi pendidikan yang memprihatinkan di berbagai pelosok daerah di Indonesia, ternyata menaruh perhatian yang signifikan bagi kalangan anak muda.
Di berbagai media sosial dibentuk ragam komunitas yang kita kenal dengan sebutan Volunteer. Kegiatan-kegiatan yang diimplementasikan oleh komunitas volunteer mengacu pada 17 point SDGS (Sustainable Development Goals).
Salah satu upaya serta peran pemuda dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dengan tujuan memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas dan berkuantitas sejak dini sebagaimana yang dilakukan oleh saudara Fabio Mukadar beserta beberapa rekan-rekannya yang bersinergi bersama mendirikan sebuah komunitas yang diberi julukan “Kapata”.
Awal mula terbentuknya komunitas kapata diakibatkan karena rasa jenuh. Ketika saudara Fabio bertolak balik ke daerah asalnya setelah menyelesaikan perkuliahan di tanah rantau, beliau melihat aktivitas masyarakat di desa Sawai hanya sebatas belajar di sekolah dan sisa waktunya dihabiskan untuk bermain.
Adapun di sekolah fasilitas untuk menunjang literasi tidak ada, maka dari itu munculah ide untuk bagaimana bisa menghadirkan buku bacaan, maupun buku-buku lainnya untuk menumbuhkan semangat literasi anak-anak saat itu.
Dari ide inilah, maka komunitas kapata melakukan upgrade baru terhadap nama komunitas menjadi “Rumah Baca Kapata”. Kapata sendiri berasal dari bahasa Maluku yang artinya cerita-cerita rakyat atau nyanyian-nyanyian rakyat.
Lalu apakah kegiatan komunitas ini berjalan dengan lancar? Tentu, tidak. Saudara Fabio dan beberapa rekan tentu dihadapkan dengan berbagai tantangan. Seperti dalam kegiatan literasi dibutuhkan berbagai objek buku sebagai wadah penunjang semangat membaca.
Dalam mengumpulkan sejumlah buku sempat mengalami kendala, maka langkah awal yang dilakukan adalah mereka mengumpulkan buku-buku secara mandiri dari rumah masing-masing. Setelah terkumpul objek bukunya, mereka mulai bergerak membuka lapak bacaan di emperan sekolah.
Melihat aktivitas yang dilakukan anak muda ini ternyata mendapat respon positif dari masyarakat dan pemerintah desa. Pemerintah desa kemudian memberikan sebuah lokasi bagi komunitas ini, untuk mendirikan bagungan tetap di desa Sawai. Maka dipilihlah lokasi dengan titik yang strategis dan didirikanlah Rumah Baca Kapata.
Negeri Sawai sendiri adalah salah satu tempat wisata yang sering dikunjungi warga lokal maupun warga asing. Maka, selain bergerak dalam pendidikan atau kegiatan literasi, masyarakat maupun pendatang yang berkunjung di Rumah Baca Kapata dapat menikmati pemandangan laut yang luar biasa indah.
Dalam menarik perhatian anak-anak desa Sawai, saudara Fabio dan rekan-rekan melakukan pendekatan secara halus. “Kami mengikuti arus anak-anak, apa yang mereka sukai, memberikan reward dan perlahan mengenali buku kepada mereka”. Kata Fabio.
Selain itu komunitas kapata juga bekerja sama dengan komunitas-komunitas relawan lainnya seperti Simpul Remaja, komunitas Lingkungan, Pemberdayaan Perempuan, dan lain sebagainya.
“Salah satu upaya untuk menarik perhatian anak-anak di desa Sawai, kami datangkan para relawan dari luar. Kami melakukan kerja sama, dan hal ini sangat menarik dan disukai anak-anak di sini.
Biasanya kalau ada orang-orang baru, anak-anak akan datang dan berbaur dengan sendirinya dengan para relawan” Kata Fabio lagi.
Seiring berkembangnya waktu, Rumah Baca Kapata semakin progresif. Kegiatan literasi diperluas ke segala bidang. Mulai dari literasi pendidikan, literasi lingkungan, laut, hutan, dan sebagainya.
Saat ini, upaya yang sedang dilakukan oleh komunitas rumah baca kapata adalah upaya pengelolaan sampah menjadi manfaat dengan membutuhkan mesin pelarut sampah yang nantinya akan diolah menjadi paving block.
Selain itu, Rumah Baca Kapata juga membutuhkan tenaga pengajar dalam bidang bahasa Inggris. Sebab desa Sawai adalah negeri wisata, maka dipandangan saudara Fabio, anak-anak Sawai harus mampu memahami bahasa Inggris untuk membantu interaksi antar wisata asing.
Menurut saudara Fabio: “Zaman sekarang banyak anak muda yang berlomba-lomba untuk berinvestasi secara materi. Memang investasi materi penting untuk aset masa depan. Namun, banyak anak muda yang tidak tertarik berinvestasi sosial, padahal investasi sosial nilainya tak terhingga, dan orang-orang yang mau berkegiatan sosial adalah orang-orang yang terpilih”.
Adanya semangat anak muda yang turut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, nyatanya begitu signifikan. Sifat pemuda yang responsive, kreatif, inovatif dan kritis dianggap mampu membawa perubahan bagi tatanan masyarakat dan hal ini adalah benar adanya. Untuk itu, anak muda diharapkan mampu mengambil tantangan dan kontribusi yang positif guna sebagai agen of change di tengah masyarakat.
Tim Penulis:
1. Jalimah Zulfah Latuconsina
Mahasiswa Ahwal Al Syakhshiyah, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia
2. Nur Zaytun Hasanah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia