Banyak kelompok pemuda atau mahasiswa yang mencoba menyampaikan aspirasi mereka ketika para pejabat negara membuat kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat, seperti UU Cipta Kerja dan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Kelompok-kelompok ini melakukan aksi turun ke jalan untuk menyampaikan tuntutan kepada DPR RI atau DPRD, atau menyampaikan aspirasi mereka melalui media sosial, di mana mereka menjangkau para influencer seperti Najwa Sihab, Bintang Emon, dan Ernest Prakasa.
Mereka adalah individu-individu muda yang ingin memberikan suara untuk memastikan bahwa negara mereka diperbaiki dengan benar karena mereka peka dan khawatir dengan keadaan negara mereka. Meskipun ada kemungkinan mereka menghadapi ancaman dari sumber lain.
Pertimbangkan contoh kasus Bima, seorang warga negara Indonesia yang sedang belajar di Australia yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pihak berwenang di provinsi Lampung. Keluarganya juga mendapat ancaman dari orang asing, yang tampaknya merupakan peringatan bagi Bima untuk berhenti mengkritik, selain ancaman di media sosial.
Namun, dengan memanfaatkan media sosial, Bima tetap bersuara lantang menentang perlakuan ini, menarik perhatian dari berbagai media dan memaksa presiden untuk mengambil tindakan. Pemuda ini terus mengkritik kebijakan pemerintah secara terbuka hingga saat ini. Oleh karena itu, mengapa ada begitu banyak anak muda di Indonesia yang mengkritik negara mereka, bahkan ketika hal itu membuat mereka terancam diintimidasi?
Kaum muda sering kali memiliki rasa idealisme yang kuat dan keinginan untuk melihat kemajuan sosial yang sejati. Mereka percaya bahwa anomali dan ketidakadilan perlu diperbaiki. Metode mereka untuk mengagitasi perubahan dalam situasi ini adalah melalui kritik dan protes. Banyak yang percaya bahwa diam lebih baik daripada diintimidasi karena membiarkan ketidakadilan terus berlanjut.
Para aktivis mahasiswa yang terlibat dalam gerakan Reformasi 1998 adalah salah satu contoh mahasiswa Indonesia yang menunjukkan idealisme dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan. Di tengah iklim politik dan ekonomi yang memburuk pada saat itu, banyak mahasiswa berbondong-bondong turun ke jalan untuk menuntut perubahan.
Soe Hok Gie adalah seorang tokoh yang terkenal pada masa Orde Baru; ia telah meninggal dunia sebelum Reformasi, namun ia dipandang sebagai simbol perlawanan mahasiswa. Di kemudian hari, generasi muda menemukan inspirasi dalam kecamannya terhadap ketidakadilan sosial dan korupsi, kolaborasi, dan nepotisme pemerintah.
Mahasiswa mengorganisir demonstrasi besar-besaran pada Reformasi 1998, menyerukan agar Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun diturunkan dari jabatannya.
Setelah melihat bencana ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya, mereka percaya bahwa aksi langsung adalah satu-satunya cara untuk membawa perubahan. Mereka bertahan dalam upaya mereka untuk membangun Indonesia yang lebih demokratis dan adil meskipun ada ancaman, intimidasi, dan penganiayaan.
Generasi muda ini merasa bahwa diam dalam menghadapi ketidakadilan bukanlah sebuah pilihan. Hal ini juga menunjukkan gaya kepemimpinan kolektif mereka.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan gaya kepemimpinan kolektif? Kepemimpinan kolektif, nama lain dari kepemimpinan kolektif, adalah bentuk kepemimpinan di mana sejumlah pemimpin organisasi berkolaborasi untuk menentukan pilihan.
Setiap pemimpin dalam sistem ini memiliki suara yang sama dalam kebijakan dan pengambilan keputusan, dan pilihan sering kali diputuskan melalui pemungutan suara atau melalui pertimbangan yang cermat yang mengarah pada konsensus. Gagasan di balik kepemimpinan kolektif adalah bahwa untuk mencapai tujuan bersama, para pemimpin harus berkoordinasi dan bekerja sama satu sama lain.
Gerakan ini dipimpin oleh komunitas secara keseluruhan, termasuk keluarga korban kejahatan HAM dan para pembela HAM, di mana setiap anggota memiliki kemampuan untuk memilih dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Hal ini mirip dengan situasi yang disebutkan di atas, di mana tidak ada satu orang yang menjadi satu-satunya pemimpin.
Kepemimpinan kolektif yang mereka tunjukkan selama gerakan Reformasi 1998 dan demonstrasi lainnya merupakan ilustrasi yang kuat tentang bagaimana perubahan dapat terjadi melalui kolaborasi dan keterlibatan aktif dari semua anggota masyarakat, bukan karena kebutuhan akan pemimpin tunggal.
Kaum muda Indonesia memiliki kemampuan untuk menjadi agen perubahan yang menanamkan harapan baru bagi masa depan negara karena idealisme dan keberanian mereka yang besar dalam menghadapi ketidakadilan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk menghargai dan mendorong pendapat kaum muda serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam proses kemajuan dan pertumbuhan masyarakat. Kita dapat membangun Indonesia yang lebih sejahtera, demokratis, dan adil jika kita bersatu dan saling membantu.
Penulis:
- Ayman Ashary Dabbara (07011182328028)
- Dimas Hidayatullah (07011382328225)
Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Sriwijaya
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News