Si Kaya Kebal Hukum! (Realita Hukum Indonesia)

Pada hari Senin, 23 Maret 2015 Forum Lembaran Intelektual (FLI) mengadakan kegiatan rutin diskusi yang dilakukan setiap seminggu satu kali. Tema yang diambil pada hari itu ialah “Si Kaya Kebal Hukum?”Hal tersebut disesuaikan dengan stigma yang berkembang di masyarakat yakni hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Dari beberapa pendapat kawan-kawan mencoba mengambil contoh terkait tema yang diambil FLI seperti kasus Nenek Asiani dan kasus Aburizal Bakrie. Nenek Asiani yang mengambil 3 batang kayu (yang sudah dipotong) terancam ditindak pidana, beliau juga sempat disuruh mengganti kerugian dengan membayar sebesar Rp 4 juta oleh pihak Perhutani, yang mana jika tidak dilakukan akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

Sedangkan kasus Aburizal Bakrie yakni tentang Lumpur Lapindo yang telah merugikan masyarakat hingga triliunan, namun ARB masih bisa menghirup aroma kebebasan dan terbang kesana kemari. Apakah dengan mengambil 3 batang kayu telah mengakibatkan kerugian bagi Negara? Di  sinilah asas Equality Before the Law dipertanyakan, apakah Indonesia termasuk negara yang menganut asas tersebut ataukah justru sebaliknya? Menurut salah satu peserta FLI kita tidak boleh memandang sebuah kasus hanya dari satu sisi saja, karena menurutnya Lumpur Lapindo bukan seratus persen merupakan kesalahan Aburizal Bakrie. Disini Aburizal Bakrie juga telah mencoba bertanggungjawab mengganti kerugian masyarakat meskipun tidak seluruhnya. Selain itu kasus Aburizal Bakrie juga masih dalam tahap proses penyelidikan, sedangkan kasus Nenek Asiani telah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan dan beliau didakwa bersalah. Menurut peserta FLI lainnya dalam hukum tidak memandang siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Negara Indonesia juga merupakan penganut asas Equality Before the Law karena memang pada kenyataannya semua sama di mata hukum. Hukum di Indonesia tidak membedakan siapa yang naik mobil mewah dan siapa yang naik sepeda butut. Dalam hukum itu sendiri memiliki tiga tujuan, yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Pada kasus nenek Asiani terdapat kepastian yang mana telah diatur dalam hukum di Indonesia, akan tetapi yang dipertanyakan ialah adakah manfaat yang diperoleh dengan menghukum nenek yang sudah tua tersebut?

Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang memiliki sanksi yang paling kejam di antara aturan hukum lainnya, sehingga hukum pidana memiliki fungsi “subsidair” yaitu sebagai obat terakhir jika aturan hukum lainnya dikatakan tidak dapat mengatasi suatu permasalahan secara maksimal,namun perlu diketahui fungsi subsidair hukum pidana ini hanya ada pada tahap formulasi/legislasi aturan hukum pidana tersebut,maka pada tahap aplikasi fungsi subsidair ini tidak berlaku, tapi tidak menutup kemungkinan fungsi subsidair hukum pidana ini berlaku pada tahap aplikasinya, seperti adanya usaha -usaha lain sebelum hukum pidana itu diterapkan pada masyarakat yang memiliki permasalahan, seperti mediasi dan akomodasi.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dalam diskusi FLI yang ke-2 yang bertema “Si Kaya Kebal Hukum?”Dibahas persoalan-persoalan yang memiliki korelasi yang ada keterkaitannya dengan hukum pidana, FLI menarik kasus “Nenek Asiani” yang mencuri 3 batang kayu jati dan “Aburizal Bakrie (ARB)” yang memiliki kasus terhadap lumpur Lapindo. Pembahasan FLI sungguh menarik karena semua kasus itu sungguh relevan dengan tema-nya, yang pastinya hal tersebut adalah berkaitan dengan keadilan masyarakat di Indonesia. Menurut Aristoteles, keadilan itu ada dua: (1) Keadilan Kumulatif, (2) Keadilan Distributif.

Sejauh ini masyarakat (termasuk mahasiswa) memandang hukum itu tidak sepenuhnya berlaku sesuai dengan tujuan hukum (Keadilan, Kepastian, dan kemanfaatan). Seperti kasus nenek Asiani yang telah mencuri kayu jati. Dari segi pandangan oleh masyarakat umumnya, hal ini tidak adil dan tidak bermanfaat sehingga muncul istilah “Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.” Pandangan seperti ini tidak begitu benar, karena sebenarnya hal ini adil mengingat adanya unifikasi hukum yang ada di Indonesia. Jika memang nenek Asiani mengatakan bahwa itu adalah tanahnya, maka seharusnya nenek Asiani menggurus surat surat Tanah pada saat unifikasi itu diberlakukan, namun pengetahuan masyarakat tentang unifikasi hukum yang ada di Indonesia ini sangat minim. Ada juga pandangan masyarakat tentang hakim yang “kejam” dalam membuat keputusan yang dijatuhkan kepada nenek Asiani, pandangan seperti ini sebenarnya pandangan yang telah dibuat oleh media. Sebenarnya setelah pengadilan itu selesai, jaksa dan hakim berebutan untuk menggendong nenek Asiani sehingga masyarakat seharusnya berhati-hati dalam mengikuti berita yang dikemukakan oleh media. Di dalam kasus ini timbul pertanyaan yang berkaitan dengan pernyataan-pernyataan diatas, “Lalu, siapa yang salah?” Menurut saya, para sarjana dan penegak hukum lainnya yang dapat dikatakan “bersalah’ karena mengingat tanggung jawab para sarjana untuk mensosialisasikan apapun yang berkaitan dengan aturan Hukum.

Negara Indonesia biasanya disebut sebagai negara hukum, berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia pasal 1 (3) yaitu Negara Indonesia adalah Negara Hukum, dimana segala sesuatu ada ketentuan-ketentuan yang mengatur setiap sesuatu hal yang berkaitan dengan apa yang terjadi di negeri ini, termasuk dalam hal ini tentang bagaimana penegak hukum Indonesia menjalankan tugas-tugasnya. Pandangan dari masyarakat (termasuk mahasiswa) dalam memandang setiap perkara yang dijatuhkan/diputuskan oleh penegak hukum dipandang berbagai macam oleh masyarakat (mahasiswa hukum), bahkan ada beberapa orang melihat bahwa hukum di Indonesia sendiri masih tidak sepenuhnya memperlihatkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian yang seharusnya ada dalam Negara hukum yang diketahui itu sebagai tujuan hukum. Ada juga orang yang melihat bahwa hukum di Indonesia ini sudah cukup seperti ini “Negara hukum yang semestinya” akan tetapi beberapa orang mencoba menghilangkan hukum itu sendiri dengan berbagai macam cara salah satunya mencoba untuk bermain dengan jabatan dan uang ketika hukum itu melibatkan dirinya (terjerat dalam sebuah kasus).

Peserta FLI:
Hendrik (Mahasiswa Hukum UMM 2014)
Puja (Mahasiswa Hukum UMM 2014)
Fikri (Mahasiswa Hukum UMM 2014)

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI