Kondisi Psikologis Remaja Perempuan Korban Kekerasan Seksual 

Remaja Perempuan
Sumber: pexels.com

Kondisi psikologis merupakan suatu keadaan atau situasi mental dan emosional seseorang pada suatu waktu tertentu, keadaan ini mencakup berbagai aspek seperti perasaan, pikiran, suasana hati dan kesejahteraan mental secara keseluruhan.

Kondisi psikologis dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti pengalaman hidup, stres, trauma, faktor genetik, dan lingkungan sekitar.

Masa remaja adalah tahap perkembangan yang penting, dimana individu tersebut sedang membentuk identitas diri, berinteraksi dengan lingkungan sosial, serta mengembangkan kepercayaan diri.

Kekerasan seksual dapat terjadi di setiap komunitas dan pelaku tidak memandang jenis kelamin dan usia pada korban.

Bacaan Lainnya

Sementara itu, hal yang termasuk dalam perilaku kekerasan seksual adalah segala jenis kontak seksual yang tidak diinginkan dari satu pihak, hal tersebut mencakup perkataan serta tindakan yang bersifat seksual, bertentangan dengan keinginan seseorang dan tanpa persetujuannya.

Di Indonesia, survey pada remaja perempuan usia 13-17 tahun dan 18-24 tahun yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual yang terjadi pada usia 13-17 tahun mencapai 33.1%, sedangkan pada usia 18-24 tahun mencapai 13,8% pada tahun 2024.

Baca Juga: Korban Kekerasan Seksual dan Dukungan Responsif dari Orang Sekitar

Angka kekerasan remaja perempuan dalam menjalani hubungan pun juga menunjukkan peningkatan.

Pada tahun 2023, Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus pada Kekerasan Mantan Pacar (KMP) sebanyak 618 kasus, dan Kekerasan dalam Pacaran (KDP) sebanyak 360 kasus, hal ini memperlihatkan bahwa para korban masih terus berada dalam situasi toxic relationship, sedangkan kasus kekerasan yang dilakukan oleh Orang Tak Kenal (OTK) juga cukup tinggi mencapai 278 kasus.

Tindakan kekerasan seksual yang sering dialami saat remaja adalah saat menjalin hubungan, kekerasan seksual dalam hubungan berpacaran (sexual dating violence) adalah pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual padahal pasangan tidak menginginkannya.

Kekerasan seksual ini meliputi beberapa tindakan seperti pemerkosaan, sentuhan yang tidak diinginkan, ciuman yang tidak diinginkan oleh salah satu pihak dan kekerasan dalam bentuk ancaman akan memposting foto atau video memalukan tentang korban di media sosial (cyber).

Selain itu, kekerasan seksual dari orang yang tidak dikenal yang biasanya terjadi dalam bentuk mendiskriminasi atau melecehkan penampilan fisik seseorang, menyentuh, mengusap, meraba bagian tubuh pada area pribadi seseorang, memaksakan seseorang untuk melakukan aktivitas seksual atau melakukan pemerkosaan, dan melakukan perbuatan lainnya berupa merendahkan, menghina, melecehkan atau menyerang tubuh fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa atau gender yang berakibat memiliki gangguan psikis atau fisik seseorang.

Baca Juga: Menyelamatkan Generasi: Dampak Media Sosial terhadap Kekerasan Seksual dan Pelecehan Anak

Mendapatkan tindakan kekerasan seksual dari pasangan maupun orang tidak dikenal tentunya memberikan dampak yang mendalam bagi para korban, berupa dampak emosional, fisik, kognitif, mental dan sosial.

Secara psikologis, mental korban akan berangsur-angsur berubah dari sebelumnya dan mempengaruhi berbagai hal seperti, cara berpikir tentang sesuatu, kestabilan emosi yang rapuh bahkan bisa berubah menjadi depresi, munculnya perasaan malu dan bersalah seperti menyalahkan diri sendiri, kehilangan minat kegiatan yang dulu ia sukai, dan merasa hampa.

Kondisi psikologis seperti ini bisa dikatakan sebagai trauma pasca-kejadian, sehingga sangat mempengaruhi kesulitan dalam melakukan aktivitas seperti sulit fokus dalam belajar, berinteraksi dengan teman dan kegiatan sehari-hari korban, karena sering kali korban tiba-tiba mengingat kilas balik peristiwa kekerasan yang dialami secara tidak terduga, sehingga hal itu menyebabkan korban merasakan ketakutan dan kecemasan yang berlebih.

Beberapa orang yang mengalami trauma, cemas berlebih bahkan takut jika mengalami peristiwa kekerasan seksual serupa dengan yang mereka alami.

Perasaan itu akan terus menghantui korban karena tidak dapat dihindari dan itu adalah efek psikologis yang dirasakan korban dari kekerasan seksual.

Baca Juga: Help-Seeking Behavior Pada Korban Kekerasan Seksual di Indonesia

Kondisi psikologis korban memiliki dampak yang sangat mendalam, banyak korban yang berlarut-larut dengan trauma dan kesedihannya sehingga mereka putus asa dan sering kali melukai diri nya karena munculnya perasaan kecewa terhadap diri nya sendiri, bahkan tak jarang mereka ingin melakukan bunuh diri karena sudah sangat putus asa yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh ingin mengakhiri hidupnya, mereka hanya ingin penderitaan atau konflik yang mereka alami agar cepat berakhir.

Selain itu, kekerasan seksual dapat menyebabkan korban memiliki gangguan kepribadian ganda (Dissociative Identity Disorder), yaitu kondisi dimana ketika otak tidak dapat mengingat secara detail tentang identitasnya sendiri atau dikenal sebagai kepribadian ganda (Multiple Personality Disorder).

Seseorang yang menderita gangguan disosiatif cenderung mengalami memory gap, perbedaan kepribadian yang dialami juga dapat membuat penderita terlihat seperti orang yang berbeda dari satu momen ke momen lainnya.

Korban sering kali mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial, dengan cara ia menarik diri dari lingkungan sosialnya karena merasa malu, takut dan menilai bahwa diri nya itu tidak pantas.

Korban kekerasan seksual sering kali menjadi sasaran pengucilan masyarakat karena cap negatif selalu disematkan pada dirinya.

Baca Juga: Menguak Psikologis Pelaku LGBT di Era Gen Z

Banyak masyarakat yang menganggap bahwa korban itu dilabelkan dengan kata ‘nakal’ yang membuat korban memiliki banyak rasa takut lalu menyebabkan cemas berlebih jika ia bertemu dengan orang lain, sehingga menyebabkan korban sulit untuk menerima dirinya kembali, dan proses pemulihan pun akan menjadi lambat karena muncul nya stigma negatif.

Korban kekerasan seksual dalam pacaran sering kali mendapatkan ancaman dari pelaku, hal ini dilandasi karena beberapa alasan agar korban dan pelaku tetap berada dalam hubungan pacaran.

Korban seringkali tidak dapat melawan pasangannya, karena jika korban melawan pasti pelaku akan mengancam korban dengan menyebarkan foto/video korban ke media sosial dan itu menyebabkan korban terjebak dalam hubungan toxic.

Korban memilih untuk memendam semuanya dan tidak bercerita dengan orang tuanya, padahal dengan menceritakan semua kejadian dengan orang tua pasti korban akan terbantu untuk lepas dari hubungan toxic tersebut, lalu dapat melaporkan pelaku kepada pihak polisi agar kasus tersebut segera ditindaklanjuti dan support dari orang tua dapat mempercepat proses pemulihan trauma yang dialami oleh korban.

Selain support dari orang tua, korban dapat mengunjungi psikolog dan psikiater untuk mengidentifikasi dan mengatasi trauma kekerasan di masa lalu, dan melakukan terapi perilaku kognitif (CPT) yang membantu korban dengan memperbaiki cara berpikir tentang dirinya, orang lain, dan lingkungannya.

Baca Juga: Pelecehan Seksual dan Kekerasan Terhadap Wanita serta Dampak bagi Korban Pelecehan

Secara keseluruhan, setiap korban mengalami kondisi psikologis yang bermacam-macam karena setiap individu memiliki karakter yang berbeda-beda.

Terdapat 5 strategi yang dapat dilakukan untuk merespons tindakan kekerasan seksual, yaitu berani menegur pelaku, alihkan perhatian, meminta bantuan orang lain.

Penulis: Haniya Nisa Royani
Mahasiswa Jurusan Psikologis, Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses