Kontekstualisasi Hadis Nabi ﷺ tentang Kepemimpinan Perempuan

Kepemimpinan Perempuan
Sumber: Penulis

Salah satu hadits Nabi yang kandungan redaksinya berkaitan dengan kepemimpinan perempuan adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari yaitu:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ: «لَقَدْ نَفَعَنِي اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ، بَعْدَمَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: ‌لَنْ ‌يُفْلِحَ ‌قَوْمٌ ‌وَلَّوْا ‌أَمْرَهُمُ ‌امْرَأَةً

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam Telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata: Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata: Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: “Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita.” (HR. Bukhari No. 4073)

Bacaan Lainnya
DONASI

Dalam menafsirkan hadits di atas, ada dua pandangan. Beberapa mengedepankan makna umumnya, menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjabat sebagai kepala negara karena dianggap membawa ketidakberuntungan.

Namun, ada juga yang menekankan pentingnya memahami konteks dan sebab hadits, berpendapat bahwa tidak ada larangan khusus bagi perempuan menjadi kepala negara atau pemerintahan. Untuk  memahami hadis tersebut kita perlu mengetahui asbabul wurudnya, bagaimana situasi dan kondisi hadis tersebut disabdakan oleh Nabi ﷺ.

Beberapa tahun sebelum Nabi menyampaikan Hadis ini, beliau mengirim surat ajakan Islam dan perdamaian kepada Kisra Persia. ‘Abdullah Ibn Khuzafah al Sahmi diutus oleh Nabi untuk menyampaikan surat tersebut kepada Kisra Persia melalui al Mundhir Ibn Sawi al-‘Abdy, yang merupakan seorang pembesar Bahrain. Kisra, setelah membaca surat tersebut, ia merobek-robeknya, dan ketika berita tersebut sampai kepada Nabi ﷺ, beliau menyatakan, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya.

Beberapa tahun setelah Nabi ﷺ mengirim surat ajakan Islam kepada Kisra Persia, kerajaan itu mengalami pelemahan akibat konflik internal dan kekalahan dalam pertempuran melawan Romawi dan pasukan Islam.

Selain itu terdapat pula perselisihan di antara keluarga kerajaan, dan karena tidak ada pewaris laki-laki akibat pembunuhan di antara mereka, Buran Binti Syairawaih, cucu Kisra yang merobek surat Nabi, diangkat menjadi Kisra.

Meskipun ada opsi untuk menyerahkan kepemimpinan kepada jenderal berpengalaman, monarkhi yang otoriter memaksa warisan kepemimpinan kepada perempuan muda dan tidak berpengalaman tersebut.

Nabi , setelah mengetahui peristiwa ini, menyampaikan Hadis yang memprediksi kehancuran kerajaan Persia sebagai tanggapan terhadap tindakan merendahkan Kisra yang sebelumnya merobek surat yang diutus oleh Nabi.

Hadis tersebut tidak hanya menggambarkan pemahaman mendalam Nabi terhadap dinamika politik, tetapi juga mengandung pesan moral tentang konsekuensi tindakan yang tidak patut, seperti merobek surat kenabian. Dengan demikian, Hadis ini bukan hanya memprediksi mengenai nasib kerajaan Persia, tetapi juga mengandung ajaran mendalam tentang etika dan nilai-nilai kepemimpinan yang bijaksana.

Dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang melarang seorang perempuan menjadi kepala Negara. Bahkan dalam Q.S. al Naml ayat 23 digambarkan bahwa pernah ada seorang ratu yang berhasil memimpin rakyatnya menuju kemakmuran dan keimanan kepada Allah ﷻ.

Ratu tersebut dikenal sebagai Ratu Balqis, Ratu negeri Saba’ yang semasa dengan Nabi Sulaiman As. Karena itu supaya tidak bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an hadits tersebut harus diartikan secara khusus berkaitan dengan sabab wurudnya, yaitu berkaitan dengan perempuan yang tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin negara

Dari konteks hadis, dapat diambil pemahaman bahwa Islam tidak mengharamkan perempuan untuk menduduki jabatan atau memimpin dalam urusan umum. Bahkan, dalam konteks yang lebih luas, mencakup menjadi kepala negara, asalkan memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas tersebut dengan baik. Wallahu a’lam

 

Penulis: Muhammad Tasrif
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hadis, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

 

Editor: I. Chairunnisa

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI