Metode Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih: Telaah Tashhih dan Tadh’if menurut Bukhari

Metode Bukhari dalam Al-jami’ As-shahih
Mesjid Nabawi, Madina (Sumber: pixabay.com)

Bukhari merupakan seorang ahli hadits yang sangat cermat dalam menerima Riwayat hadits. Dia terkenal karena ketelitian dan ketatnya dalam memverifikasi hadits (al-Tashih wa al-Tadh’if). Baginya, sebuah hadits tidak dianggap sahih kecuali jika berasal dari sumber aslinya (rawi atau guru) secara langsung (al-Liqa’).

Karyanya, al-Jami’ al-Shahih, ditempatkan pada posisi paling utama di antara kitab-kitab hadits lainnya karena metodologi yang dia terapkan. Imam bukhari hanya mengambil hadits dari pe-rawi tingkat pertama dari lima tingkatan murid al-Zuhri.

Selain itu, dalam penamaan kitabnya, al-Jami’ al-Shahih, serta dalam langkah-langkah penelitian haditsnya, Bukhari selalu mengacu pada kriteria tertinggi baik dari segi syarat hadits maupun pe-rawi yang digunakan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Persoalannya adalah mengenai proses verifikasi hadits yang dilakukan oleh Bukhari melalui pendekatan al-Tashhih wa al-Tadh’if. Apakah pendekatan al-Liqa’ sudah cukup, atau apakah juga melibatkan al-Jarh wa al-Ta’dil. Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk melakukan penyelidikan singkat terhadap metode tashhih dan tadh’if yang digunakan oleh Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih.

 

Metode Imam Bukhari

Dalam bukunya al-Nukat ‘ala kitab ibn al-Shalah, Ibn Hajar memberikan penjelasan ringkas mengenai pendekatan Bukhari. Dia menyatakan bahwa metode yang digunakan oleh Imam Bukhari bisa dipahami dari dua perspektif: pertama, melalui judul bukunya yang disebut al-Jami’ al-Shahih. Kedua, melalui langkah-langkah Bukhari dalam melakukan penelitian menyeluruh terhadap hadits (al-Istiqra).

Oleh karena itu, untuk memahami sepenuhnya pendekatan Bukhari, penting untuk meneliti bukunya al-Jami’ al-Shahih serta proses tashhih dan tadh’if yang dia lakukan.

 

Mengenal al-Jami’ al-Shahih

Judul lengkap kitab Bukhari adalah “al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al- Mukhtashar min Umur Rasulillah ﷺ wa Sunnatihi wa Ayyamihi”.

Penggunaan kata “al-Jami” dalam ilmu hadits menunjukkan bahwa buku tersebut menghimpun hadits dari berbagai topik, seperti kepercayaan, hukum, penafsiran, sejarah dan lain-lain. Dalam al-Jami’ al-Shahih, Bukhari menyertakan semua hadits shahih yang terkait dengan hukum, keutamaan, berita masa lalu, masa depan dan sebagainya.

Dalam konteks ini, “al-Shahih” menunjukkan bahwa Bukhari hanya memasukkan hadits-hadits yang lemah kecuali yang sahih. Bukhari bahkan menegaskan hal ini dengan pernyataan bahwa “Ma Adkhaltu fi al-Jami’ Illa Ma Shahha”.

Imam Bukhari memulai penulisan kitabnya saat berada di Masjid Nabawi di Madinah. Proses penulisan ini berlangsung selama 16 tahun. Setiap hadits yang dipilihnya untuk dimasukkan ke dalam kitab shahihnya, Bukhari selalu mandi dan berwudhu, kemudian melakukan shalat nafilah dan beristikharah.

Ini dilakukan sebagai langkah berhati-hati dan untuk memohon pertolongan dari Allah, karena kitabnya dianggap sebagai bukti antara dirinya dan Allah SWT. Bukhari pernah mengatakan: “Ja’altuhu Hujjatan Baini wa Bainallah”.

Kitab al-Jami’ al Shahih adalah buku pertama yang hanya memuat hadis-hadis yang sahih. Menurut satu pendapat, dalam kitab ini terdapat 9082 hadis dengan pengulangan, yang terpilih sekitar 600000 hadis. Namun, menurut ibn Hajar al-‘Asqalani, seperti yang dikutip oleh Abu Syu’bah, jika hadis tidak diulang, jumlahnya sekitar 2602.

Muhammad Shadiq Najmi menyatakan bahwa dalam kitab al-Jami’ terdapat 7275 hadis dengan pengulangan, dan tanpa pengulangan, jumlah total hadisnya sekitar 4000.

 

Metode Tashhih dan Tadh’if menurut Bukhari

Di antara para ahli hadis, tingkatan hadis dinilai berdasarkan kekuatan dan kelemahan sanad hadis. Contohnya, Mahmud Thahhan mengklasifikasikan hadis menjadi dua kategori utama: hadist maqbul (diterima) dan hadist mardud (ditolak).

Masing-masing dari kedua kategori ini dibagi lagi ke dalam tingkatan-tingkatan hadis lainnya. Pembagian ini juga memiliki dampak terhadap kekuatan bukti yang terdapat dalam hadis tersebut.

Imam Bukhari terkenal sebagai seorang ahli hadis yang sangat ketat dalam proses penjuruhan hadisnya. Ini disebabkan oleh standar ketatnya dalam menetapkan hadis shahih dengan menggunakan kriteria sanad yang sangat tinggi.

Beliau tidak dengan mudah menerima sebuah hadis tanpa melakukan pengecekan dan penelitian yang mendalam terhadap sanad hadis tersebut. Dalam proses penelitiannya, Bukhari menetapkan kriteria dan klasifikasi untuk hadis-hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matannya.

 

Langkah-langkah Tashhih dan Tadh’if  Bukhari

Secara prinsip, Bukhari tidak secara spesifik menetapkan kriteria yang jelas untuk mengidentifikasi keabsahan hadis. Kriteria-kriteria tersebut lebih dikenal melalui evaluasi yang dilakukan dalam kitabnya sendiri.

Menurut penilaian para ulama, dalam kitab shahihnya, Bukhari selalu mengikuti standar keabsahan yang paling tinggi, kecuali untuk beberapa hadis yang berasal dari periwayatan langsung sahabat dan tabi’in.

Berdasarkan kriteria keabsahan hadis tersebut, Bukhari hanya menerima riwayat hadis yang memiliki kesahihan perawinya yang jelas hingga mencapai sahabat yang terkenal, serta memiliki sanad muttashil, bukan munqathi’.

Jika seorang sahabat diriwayatkan oleh dua perawi atau lebih, itu dianggap sebagai hadis hasan. Namun, jika hanya ada satu perawi dengan sanad yang sahih, Bukhari tetap menerima hadis tersebut. Namun, jika status perawi tersebut ambigu (syubhat), Bukhari akan meninggalkannya, berbeda dengan pendekatan Imam Muslim yang akan menerima hadits tersebut.

Contohnya, Hammad bin Salamah, Suhail bin Abi Shalih, Daud bin Abi Hind, Abi al-Zubair, dan al-‘ala bin Abdurrahman, mereka dianggap oleh Bukhari sebagai perawi yang ambigu, di mana status periwayatannya masih diperdebatkan oleh beberapa kelompok.

Oleh karena itu, Bukhari tidak menyertakan hadits mereka, meskipun mereka dianggap adil dan terpercaya. Bukhari mencontohkan bahwa Suhail bin Abi Shalih adalah perawi yang terpercaya, namun kemudian meragukan penyaluran informasinya dari orang tuanya. Karena itu, Bukhari hanya menggunakan hadits dari Suhail yang tidak melibatkan jalur dari ayahnya.

Hal serupa berlaku untuk Hammad bin Salamah, di mana meskipun banyak yang mengklaim bahwa dalam haditsnya terdapat penambahan informasi yang bukan berasal dari orang jujur, Bukhari tidak meriwayatkan hadits tersebut, meskipun Bukhari sendiri mengakui kejujuran Hammad sebagai periwayat hadis.

Dalam hal ini, Bukhari hanya memandang sebuah hadis sebagai sahih jika sanad hadisnya benar-benar sahih dan tidak ada potensi kecacatan, meskipun hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak periwayat. Baginya, yang menjadi focus adalah keabsahan sanad, bukan sekadar jumlah periwayat.

 

Penulis: Fitria Fadilla
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah

 

Editor: I. Chairunnisa

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

 

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI