Kontroversi Rencana Konser Coldplay di Indonesia

Konser
Konser Coldplay.

Di masyarakat terkait rencana konser Coldplay di Indonesia. Kontroversi dan polarisasi. Karena dengan adanya konser Coldplay dapat membantu mengenalkan ke dunia musik di Indonesia dan dapat menaikkan ekonomi negara. Karena grup band Coldplay telah dikenal oleh dunia.

Masyarakat sedang ramai membahas rencana konser grup Coldplay di Indonesia. Karena sebagian masyarakat, terutama remaja dan mahasiswa, sangat mengidolakan Coldplay dan antusias dengan konser mereka.

Mereka berpartisipasi dalam “war tiket” dan siap membayar harga tiket apapun untuk menyaksikan konser tersebut. Mereka melihat konser ini sebagai peluang untuk menikmati musik dan merasakan pengalaman unik.

Baca Juga: Perilaku FOMO Remaja terhadap Gaya Konsumerisme Masa Kini

Bacaan Lainnya

Konser Coldplay di Indonesia masih ada yang kurang setuju karena sebagian masyarakat masih mengira karena grup band tersebut mengandung unsur LGBT sedangkan di negara kita masih kental akan agamanya dan kurangnya akan pengetauan tentang dunia musik.

Beberapa perusahaan sponsor juga menunjukkan dukungan mereka terhadap konser Coldplay di Indonesia. Mereka melihat hal ini sebagai peluang untuk mempromosikan merek mereka dan mengakuisisi pelanggan baru.

Secara keseluruhan, konser Coldplay di Indonesia telah menjadi topik yang menarik perhatian publik di media sosial dan publikasi.

Meskipun ada beberapa kritik terhadap harga tiket yang mahal dan keprihatinan terkait persiapan konser, banyak orang tetap berharap bahwa konser ini akan menjadi momen yang bersejarah bagi penggemar musik di Indonesia dan membawa dampak positif bagi industri musik dan pariwisata di Indonesia.

Coldplay adalah grup musik rock Inggris yang dibentuk tahun 1997. Saat ini beranggotakan Chris Martin sebagai vokalis, Jonny Buckland sebagai gitaris, Guy Berryman sebagai bassis, Will Champion sebagai drumer dan perkusionis, dan Phil Harvey sebagai pengarah kreatif.[a] 

Mereka bertemu saat menjalani kuliah di University College London (UCL) dan mulai bermusik sejak 1997 hingga 1998, awalnya bernama Starfish.

Setelah merilis EP pertamanya, Safety (1998), Coldplay mulai menandatangani kontrak dengan Parlophone tahun 1999. Album debutnya, Parachutes (2000), memuat singel perdananya “Yellow” meraih Penghargaan Brit untuk Album Britania Raya tahun Ini, Penghargaan Grammy untuk Album Alternatif Terbaik, dan nominasi Mercury Prize.

Album keduanya, A Rush of Blood to the Head (2002), memenangkan prestasi yang sama, berisi singel Clocks” yang berhasil memenangkan Penghargaan Grammy untuk Rekaman Terbaik Tahun Ini.

Album ketiganya, X&Y (2005), yang melengkapi “trilogi” mereka, serta album keempat, Viva la Vida or Death and All His Friends (2008), kedua-duanya dinominasikan di Penghargaan Grammy untuk Album Rock Terbaik, yang terakhir menang; keduanya menjadi album dengan penjualan terbaik pada masing-masing tahun, memuncaki tangga album di 30 negara. 

Viva la Vida juga dinominasikan sebagai Album Terbaik Tahun Ini, dan trek judulnya menjadi singel pertama bagi grup musik Britania Raya yang secara simultan menduduki posisi pertama di Britania Raya dan Amerika Serikat sepanjang abad ke-21.

Baca Juga: Kekacauan Festival Musik Berdendang Bergoyang 2022

Meskipun terjadi perdebatan dan kontroversi terkait rencana konser Coldplay, pemerintah berkomitmen untuk mendengarkan masukan dan saran dari berbagai pihak, termasuk ulama. Mereka juga berharap bahwa konser ini dapat memberikan dampak positif bagi industri musik dan pariwisata di Indonesia.

Selain itu, penggemar Coldplay tetap berharap bahwa konser ini akan menjadi momen bersejarah dan membawa kegembiraan bagi mereka.

Penulis: M. Nur Fauzi
Mahasiswa Teknik Mesin UMM

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses