Dalihan Na Tolu merupakan konsep filosofis dalam budaya masyarakat suku Batak. Konsep ini biasanya diterapkan pada masyarakat lokal khusunya masyarakat Sumatera Utara. Dalihan Na Tolu atau “Tungku Nan Tiga” yang memiliki makna adanya tiga hubungan kekeluargaan, yakni Hula-hula, boru, dan dongan tubu.
Konsep ini berfokus pada hubungan kekeluargaan dan saling menghormati antar individu dalam masyarakat. Namun, dalam konteks politik, penerapan prinsip-prinsip ini dapat membawa dampak negatif.
Hal ini dapat memicu terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, pemimpin cenderung akan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan kelompok yang akan merugikan masyarakat luas. Marginalisasi (pembatasan) di dalam masyarakat akan terjadi yang disebabkan pemimpin tersebut lebih mementingkan kepentingan hula-hula ataupun dongan tubu mereka.
Tidah hanya itu mereka memiliki strategi yaitu dengan menghadiri dan berpartisipasi dalam acara adat seperti pernikahan, kematian, atau pesta adat lainnya dapat menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat tidak hanya itu berbagai upaya seperti bekerja sama dengan tokoh adat atau ketua Dalihan Na Tolu untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan. Tokoh adat memiliki pengaruh besar dalam komunitas, sehingga dukungan mereka dapat meningkatkan kredibilitas.
Dalam sistem politik, pemimpin yang mengedepankan Dalihan Na Tolu, memungkinkan munculnya praktik nepotisme. Pemimpin mungkin lebih cenderung memberikan posisi atau keuntungan kepada kerabat atau kelompok semarga mereka daripada kepada individu yang lebih kompeten dan berkualitas.
Hal ini dapat mengakibatkan rusaknya tatanan pemerintah. Tradisi penerapan konsep ini harus dimusnahkan khususnya untuk masyarakat desa/ lokal suku Batak yang tinggal di Sumatera Utara.
Baca Juga: Emang Alasan Orang Batak Suka Bicara Keras Apa?
Krisis kepemimpinan dalam konteks penerapan Dalihan Na Tolu dapat mempengaruhi sudut pandang, terutama terkait dengan bagaimana filosofi ini mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan dinamika sosial dalam masyarakat.
Penerapan Dalihan Na Tolu sering kali mengedepankan nilai-nilai tradisional yang dapat menghambat inovasi. Pemimpin yang terlalu terikat pada norma-norma kultural mungkin enggan untuk mengadopsi pendekatan baru yang diperlukan untuk menghadapi tantangan modern.
Hal ini dapat menyebabkan stagnasi dalam pengembangan kebijakan dan praktik yang lebih efektif. Ketika fokus utama adalah pada hubungan kekerabatan, kualitas kepemimpinan sering kali terabaikan.
Pemimpin mungkin dipilih berdasarkan afiliasi marga daripada kemampuan manajerial atau visi strategis mereka. Ini dapat menyebabkan keputusan yang buruk dan kurangnya arah dalam kebijakan publik
Masyarakat harus didorong untuk aktif terlibat dalam proses pemilihan, tidak hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai pengawas. Sehingga mengurangi kemungkinan penerapan Dalihan Na Tolu yang dapat menyebabkan krisis kepemimpinan.
Penulis:
Maria Goreti Silitonga
Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Fakultas Hukum Universitas Jambi
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News