Pemerintah Indonesia terus mematangkan persiapan menjelang diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang dijadwalkan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
Reformasi Hukum Setelah 100 Tahun
Setelah lebih dari satu abad memakai Wetboek van Strafrecht, hukum pidana warisan kolonial Belanda, pemerintah menargetkan penerapan KUHP baru sebagai refleksi nilai-nilai Pancasila, adat istiadat, serta perkembangan sosial masyarakat Indonesia yang semakin kompleks dan beragam.
Pembaruan KUHP ini mencakup pasal-pasal baru yang menyentuh berbagai aspek penting, mulai dari keadilan restoratif, pengakuan terhadap hukum adat, hingga pengaturan tentang kebebasan berekspresi.
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bersama Mahkamah Agung, dan sejumlah lembaga hukum lain telah menggelar lebih dari 200 sesi sosialisasi ke berbagai daerah di Indonesia sejak 2023.
Fokus utama sosialisasi adalah pengenalan dan pemahaman terhadap pasal-pasal baru, khususnya yang selama ini menimbulkan perdebatan publik, seperti pasal penghinaan terhadap presiden, simbol negara, serta norma privat yang berkaitan dengan ruang pribadi warga negara.
Tantangan Serius: SDM, Sistem, dan HAM
Namun, perjalanan menuju penerapan KUHP baru tidak tanpa tantangan.
Banyak pihak menyoroti kesiapan aparat penegak hukum, terutama di wilayah terpencil, di mana akses terhadap pelatihan dan pemahaman hukum masih terbatas.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyatakan bahwa tantangan terbesar terletak pada perlindungan hak asasi manusia dalam penerapan KUHP baru, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan privasi, kebebasan berekspresi, dan perlindungan terhadap individu dari kriminalisasi berlebihan.
Komnas HAM menekankan pentingnya pendekatan berbasis hak asasi dalam implementasi aturan baru ini.
Harapan dan Catatan Kritis
Menjelang 2 Januari 2026, masyarakat berharap bahwa KUHP baru ini tidak hanya menjadi simbol perubahan, tetapi benar-benar membawa perbaikan dalam sistem hukum Indonesia.
Hukum tidak cukup hanya tertulis di atas kertas. Ia harus hadir dalam praktik nyata, berpihak pada keadilan, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Pemerintah masih punya waktu untuk memastikan bahwa reformasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan benar-benar menyentuh akar permasalahan yang selama ini membelenggu sistem hukum Indonesia.
Penulis: Muhammad Aufa Marsa Siswantoro
Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News