Kunci Sukses Berbinis Ala Rasulullah

Kunci Sukses Bisnis Ala Rasulullah

Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita tidak hanya taat dalam sholat, tapi dalam bisnis juga harus taat. Kenapa? Karena ternyata tak sedikit pengusaha yang justru hidupnya bahagia, tapi banyak pengusaha yang justru hidupnya penuh dengan penderitaan.

Saat ia meninggal dunia, ia meninggalkan hutang. Bahkan apa? Meninggalnya itu sebelum dikubur, banyak orang yang datang, semuanya tagihan. Asetnya sedikit, hutangnya banyak, piutangnya tidak ada.

Lalu, bagaimana kunci berkah ala Rasulullah dalam bisnis? Yang menjadi pertanyaan adalah ketika kita berbisnis, berapa jam dalam sehari kita jalankan prinsip-prinsip muamalah, akad dan yang lainnya? Akad bukan menikah. Akad dalam hal ini maksudnya adalah berbicara tentang perjanjian-perjanjian.

Dalam QS. Al-Maidah ayat 1, Allah perintahkan manusia untuk memenuhi akad-akad. “Wahai orang-orang yang beriman. Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki”.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Dakwah Rasulullah SAW dalam Berbisnis

Akad itu penting. Ada akad kredit, akad jual beli dan lain sebagainya. Maka, kunci yang pertama, ketika kita berbisnis, pahami hukum-hukum syara’. Syariah itu adalah hukum Allah yang mengatur tentang perbuatan manusia. Karena yang terpenting adalah bertanya tentang hukum-hukum yang kita lakukan. (Ustadz Fatih)

Sudah kaya, sudah pernah ke Australia, ke Eropa, keliling menjelajah dunia. Tapi ternyata dia baru tahu, bahwa bisnis yang ia jalani hukumnya adalah haram. Biasanya kalau sudah seperti itu, apa yang ia lakukan? Biasanya kalau orang yang baru tahu tapi sudah terkadung kaya, kira-kira apa yang mereka lakukan?

Pasti mereka akan melanjutkan untuk berbisnis. Pasti mereka tidak peduli. Ia akan tutup rapat-rapat. Bahkan ia akan mengatakan, “Ah itu kan pendapatnya ustadz ini, ustadz yang lain boleh kok”. Dia mencari dalih, bukan dalil. Kenapa? Dia akan cari pendapat untuk membenarkan pendapatnya sendiri. Ketika kita berbisnis, sudahkah kita kaji hukum yang berbuat itu sampai kita tentram bahwa hukum yang kita ambil itu hukum yang paling showab?

Dalam berbisnis nanti, kita akan menemukan bahwa dalam hukum syara’ nanti akan ditemukan pendapat yang lemah dan ada pendapat yang kuat. Namun demikian, manusia tak perlu bingung dengan adanya perbedaan pendapat ini. Kita diberi akal untuk befikir. Dan dalam ranah-ranah hukum fiqih, kita diperbolehkan untuk mengambil pendapat manapun, yang penting ada dalilnya. Hanya saja, kalau kita mengkaji lebih dalam dalilnya dan kita mendapat dalil yang lebih kuat, kita harus pindah ke dalil yang lebih kuat.

Baca juga: Penerapan Kecerdasan Buatan dalam Strategi Bisnis Sosial Media

Imam Malik yang merupakan guru Imam Syafi’i berkata: “Siapa saja yang tidak mempelajari hukum-hukum jual beli niscaya ia akan makan riba, suka atau enggan”. Riba adalah dosa besar. Dosa yang masuk selevel dengan zina, membunuh, durhaka kepada orang tua. Jadi, kalau seandainya kita tidak tahu hukumnya dalam berbisnis, bisa jadi kita suka atau tidak suka, pasti makan riba.

Dosa orang yang berilmu itu satu, sementara dosa orang yang bodoh itu dua. Kenapa? Karena, dia beramal tapi dia tidak memiliki ilmu. Banyak orang yang tidak mau ikut pengajian dengan alasan karena nanti jadi tahu hukumnya. Padahal, kalau dia tidak mau tahu, dosanya tiga. Dia beramal tapi tidak punya ilmu dia berdosa, dia melanggar yang dia gak tahu dia berdosa, dia ngeles. “Ah gak kok, kata ustadz saya gak gitu kok”. Dia berdosa.

Kalau bisnisnya berkah, maka akan bertambah kebaikan. Suaminya baik, anaknya sholih, hidupnya tenang. Itulah ciri-ciri orang yang harta dan bisnisnya berkah.

Jangan takjub, seseorang yang peroleh harta haram, jika dia infakkan atau dia sedekahkan, tidak diterima, dan jika ia pertahanknan maka tidak berkah, dan jika dia mati, dia tinggalkan harta itu, jadi bekalnya ke neraka.” (HR. Tirmidzi dan At-Thabrani)

Tim Penulis:

1. Jalimah Zulfah Latuconsina
Mahasiswa Ahwal Al Syakhshiyah, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

2. Nur Zaytun Hasanah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

3. Istiqomah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses