Kurangya Taji KPK

taji kpk

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extradionory crime) yang merusak sendi perekonomian negara, korupsi yang terjadi secara masif dapat menghambat pertumbuhan negara bahkan mengakibatkan masyarakat jatuh ke jurang kemiskinan. Sebagai buah dari reformasi, KPK hadir sejak tahun 2002 sebagai lembaga Independen untuk pemberantasan korupsi. Maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi atensi khusus oleh KPK sendiri, maka tak heran sejak berdirinya beberapa kasus-kasus besar yang merugikan negara berhasil diungkap.

Labeling masyarakat terhadap lembaga ini melekat sebagai alat negara dalam menumpaskan kejahatan luar biasa ini. Korupsi dengan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri sudah bagian tabiat koruptor, tidak ada kata kapok dalam suap menyuap, gratifikasi, dan macam bentuk lainnnya terus berkeliaran. KPK sebagai kesatria tidak jarang mendapatkan batu sandungan, isu pelemahan, diterornya para penyidik, dan isu penghapusan terhadap lembaga ini kerap mencuat di publik.

Kurun waktu 2004-2019 sendiri misalnya sebayak 359 kasus terjadi di pusat berhasil di ungkap, tapi belakangan kepercayaan publik terhadap KPK dalam kurun waktu 2020 perlu dipertanyakan. Menurut ICW (Indonesia Corruption Watch), tingkat kepercayaan publik terhadap KPK hanya 74,7 persen. Pada urutan pertama survey menempatkan TNI sebagai institusi dengan kepercayaan tertinggi, mencatatkan 88 persen.

Bacaan Lainnya

Di posisi kedua ada presiden dengan 79,1 persen, disusul kepolisian dengan 75,3 persen. Data ini berbeda dengan tahun sebelumnya dimana posisi KPK setara dengan Presiden dalam tingkat kepercayaan masyarakat. Disahkannya Revisi UU KPK dan tercatat dalam lembaran negara sebagai UU No 19 Tahun 2019, sempat mengalami gejolak pro/kontra, artinya UU ini dianggap sebagai bentuk pelemahan. Di bentuknya Dewan Pengawas yang tertuang tugas dan fungsinya dalam UU revisi menjadi prerogative Presiden.

Di bawah nahkoda Firli Bahuri, harapan baru kedepannya dapat diwujudkan, setelah 1 tahun berjalan, meredupnya lembaga dalam misi pemberantasan mulai dikritisi beberapa pihak. Menyusul pengunduran diri sejumlah pegawai termasuk kepala Biro Hubungan Masyarakat Febri Diansyah.

Internal KPK belum sepenuhnya utuh, insiden kode etik yang dilanggar Firli juga sempat mencuat. Kinerja  KPK dapat diukur dengan beberapa kasus yang ditindak selama ini, koreksi dari ICW yang mencatat bahwa KPK hanya menindak enam kasus korupsi dengan total 38 tersangka selama semester 1 tahun 2020. 

Mencatatkan hal demikian, keroposnya taji KPK untuk menindak dengan adanya Dewan Pengawas yang harus melewati perosedur bisa memepersulit Kewenangannya. Atas hal demikian, restrukturisasi  secara menyeluruh telah menciptakan anomaly dalam sistem penindakannya sehingga gejolak dalam internal dan kinerjanya masih belum optimal. Intervensi kedudukan KPK yanhg dikhawatirkan dulu nampaknya kian nyata, dengan melihat  samarnya kegarangan KPK.

Disfungsi dalam Tubuh KPK

Analisa proses yang ditampilkan bahwa adanya fungsi laten dalam tubuh KPK. Revisi yang diharapkan dan dibentuknya Dewan Pengawas menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan. Robert King Merton dalam Teori Struktural Fungsionalnya menjabarkan bahwa dalam pola institusi akan mengalami keterputusan hubungan-hubungan ketat, Merton menuliskan bahwa birokrasi/institusi sosial akan menghadapi konsekuensi di dalamnya karena ketidakteraturan hal ini yang disebutnya sebagai disfungsi.

Sebuah lembaga atau struktur dapat berperan dalam memelihara bagian-bagian sistem sosial, tetapi bisa juga menimbulkan nonfungsi yang berarti konsekuensi yang tidak relevan dengan pertimbangan yang diharapkan. Jika terjadi signifikan, maka sewajarnya KPK sebagai penyangga untuk menyelamatkan potensi besar korupsi yang dapat menghunus  negara menjadi redup.

Banyaknya anggota KPK dan kinerja yang terhambat sempat dibantah oleh Wakil Ketua KPK, karena ini sebagai imbas dari situasi pandemi dan sumber daya yang tidak memadai. Apapun itu, bahwa KPK sebagai  Lembaga negara yang mempunyai fasilitas dan anggran yang jelas harus terus memperetajam penyidikan tugas besar yang masih belum terselesaikan masih liar dalam publik perlu menjadi pokus selanjutnya. Sebut saja, buron-buron KPK yang masih berkeliaran seperti Harun Masiku, Honggo W, Syamsul NS dan lain-lain.

Perlunya Indenspensbility

Perlunya Indenspensbility  secara sosiologis dalam persfektif Parson, juga sebagai penganut teori fungsional menawarkan empat skema yang disebut AGIL, empat fungsi mutlak yang dibutuhkan untuk perbaikan yakni adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal attainment (G), Integrasi (I), dan Latensi (L).

Adaptasion fungsi yang amat penting harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi ekstrnal yang krusial. Integrasi harus bisa menjaga antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponenya. Latensi berarti sistem harus mampu memelihara dan memperbaiki motivasi pola individu dan kultural di dalamnya.

Semua aspek yang sudah baku dalam tubuh KPK  tidak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga mencerminkan bagian-bagian rapuh yang sangat diperlukan untuk berfungsinya lembaga sebagai kesatuan. Postulat Indenspensbility mengarah kepada resolusi semua struktur  adalah penting bagi sebuah institusi termasuk KPK.

Bahwa tidak ada struktur dan fungsi manapun yang dapat bekerja sama baiknya, tetapi menurut parson jug ada baiknya kita harus bersedia mengetahui ada beberapa alternative yang ada dalam sebuah institusi. Respon dari Parson  ini menginisiasi adanya perbaikan, artinya dalam sebuah permasalahan pasti ada percikan api yang menyebabkan terbakarnya suatu benda.

Penguatan KPK sebagai lembaga penegak korupsi harus benar-benar diwujudkan, karena pemberantasan korupsi membutuhkan kesamaan pemahaman mengenai tindak pidana korupsi. Dengan adanya persepsi yang sama, pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara tepat dan terarah.

Strategi perbaikan sistem  harus  diwujudkan karena banyaknya sistem yang diterapkan di Indonesia memberikan peluang tindak pidana korupsi. Komitmen awal untuk mendorong transparansi penyelenggaraan negara, memberikan rekomendasi kepada kementrian lembaga terkait dengan melakukan langkah-langkah perbaikan, dan memodernisasi layanan publik.

Sehingga upaya penindakan hukum untuk menyeret koruptor ke pengadilan adalah taji garang sesungguhnya yang dimiliki KPK demi memutus  korupsi oleh para bandit. Sinergi untuk memberantas korupsi harus benar-benar di polarisasi dengan baik. Kordinasi dengan lembaga di bawah untuk pemberantasan di daerah juga perlu strukturalisasi, sebab kerugian negara akibat korupsi adalah bencana.

Azis Meinudin
Mahasiswa Sosiologi UNRAM

Editor : Muflih Gunawan

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI