Literasi Digital dan Kewarganegaraan: Melawan Hoaks, Membangun Demokrasi

Literasi Digital
Literasi Digital (Sumber: Media Sosial dari AI freepik.com)

Di era yang serba digital ini, internet telah menjadi tulang punggung kehidupan kita. Informasi mengalir tanpa henti, dan kita terhubung dengan dunia dalam genggaman. Namun, di balik segala kemudahan ini, tersimpan pula tantangan-tantangan besar, salah satunya adalah maraknya hoaks dan disinformasi.

Fenomena ini tidak hanya mengancam nalar individu, tetapi juga berpotensi mengikis fondasi demokrasi kita. Di sinilah literasi digital dan pendidikan kewarganegaraan menemukan titik temu yang krusial.

Literasi digital bukan lagi sekadar kemampuan menggunakan gadget atau berselancar di internet. Ia telah berkembang menjadi seperangkat keterampilan kritis untuk memahami, mengevaluasi, dan menciptakan informasi secara bertanggung jawab di lingkungan digital.

Ini mencakup kemampuan membedakan fakta dari fiksi, mengenali bias dalam berita, memahami privasi data, serta berinteraksi secara etis dan aman di dunia maya.

Bacaan Lainnya

Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat akan mudah terombang-ambing oleh narasi palsu, yang pada akhirnya akan memicu kecurigaan, perpecahan, bahkan konflik sosial.

Ketika hoaks dan disinformasi menyebar luas, nilai-nilai kewarganegaraan seperti persatuan, toleransi, dan musyawarah terancam. Bayangkan bagaimana sebuah isu sensitif yang dipelintir melalui hoaks bisa membakar emosi massa, mengadu domba kelompok masyarakat, atau bahkan mempengaruhi hasil pemilihan umum.

Dalam konteks ini, pendidikan kewarganegaraan memiliki peran untuk membekali warga negara dengan daya kritis dan kepedulian terhadap kebenaran. Pendidikan kewarganegaraan harus mengajarkan bahwa kebebasan berpendapat tidak berarti kebebasan menyebar kebohongan, dan bahwa setiap informasi yang diterima perlu diverifikasi sebelum disebarluaskan.

Baca juga: Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan di Era Globalisasi

Masyarakat sering termakan hoaks karena rendahnya literasi digital dan kebiasaan mempercayai informasi tanpa memverifikasi kebenarannya. Penyebaran cepat melalui media sosial juga memperparah situasi. Untuk mencegahnya, diperlukan edukasi literasi digital sejak dini, kampanye publik yang masif, serta peran aktif pemerintah dan platform digital dalam menangkal informasi palsu.

Maka dari itu, integrasi literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan adalah sebuah keniscayaan. Bukan hanya mengajarkan tentang hak dan kewajiban warga negara, tetapi juga bagaimana hak dan kewajiban tersebut diemban di ranah digital.

Ini berarti membekali siswa dengan pemahaman tentang jejak digital, keamanan siber, etika berkomunikasi daring, hingga cara mengidentifikasi propaganda dan clickbait. Guru-guru perlu dilatih untuk menjadi fasilitator yang cakap dalam mengajarkan keterampilan ini, dan materi ajar harus relevan dengan dinamika teknologi yang terus bergerak.

Pada akhirnya, literasi digital dan pendidikan kewarganegaraan adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi dalam upaya membangun demokrasi yang tangguh dan masyarakat yang cerdas.

Dengan membekali setiap individu kemampuan untuk menavigasi kompleksitas informasi digital dan memegang teguh nilai-nilai kebangsaan, kita tidak hanya melawan hoaks, tetapi juga memastikan bahwa ruang digital menjadi panggung bagi kemajuan, bukan kemunduran.

 

Penulis: Jihan Fahira
Mahasiswa Teknik Informatika, Universitas Pamulang

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses