Mekanisme Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Kejaksaan

Perampasan Aset
Ilustrasi: iStockphoto

Di Indonesia, pencucian uang sebagai tindak pidana menjadi hal yang relatif baru, dengan pengenalan yang luas terjadi pada tahun 2002 seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.

Perubahan kemudian terjadi melalui revisi undang-undang tersebut dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang kemudian dicabut dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Setelah diberlakukannya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, baru disadari bahwa banyak tindakan sebenarnya merupakan upaya pencucian uang. Namun, belum semua perbuatan tersebut dapat dipastikan sebagai tindak pidana pencucian uang.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dalam konteks Hukum Acara Pidana (KUHAP), untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, dibutuhkan minimal dua bukti permulaan yang cukup. Namun, dalam kasus tindak pidana pencucian uang, setiap kasus akan melibatkan dua jenis tindak pidana, yakni tindak pidana pencucian uang itu sendiri dan tindak pidana yang menjadi permulaan.

Tindak pidana yang permulaan ini juga dikenal sebagai tindak pidana asal, delik awal, atau predicate crime. Pidana asal tersebut akan menjadi dasar apakah suatu transaksi dapat dijerat dengan undang-undang anti pencucian uang. Jika suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana, maka uang hasil kegiatan tersebut akan dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang.

Berkembangnya hukum pidana khusus tindak pidana pencucian uang menyebabkan perubahan paradigma dari follow the suspect menjadi follow the money, sehingga jelas, penelusuran aset dari tindak pidana dapat ditelusuri dan apabila tindak pidana pencucian uang berasal dari tindak pidana yang merugikan negara, maka perlu adanya pemulihan aset kepada negara yang telah dirugikan.

Undang-Undang TPPU tahun 2010 tampaknya memiliki kekurangan dalam perampasan aset yang bertujuan untuk pemulihan keuangan negara, adanya kekurangan tersebut dikarenakan belum tersedia regulasi mengenai mekanisme perampasan aset untuk pemulihan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana asal, salah satunya korupsi.

Dalam kerangka ini, kejaksaan memiliki peran penting dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Kejaksaan merupakan salah satu lembaga Negara yang memiliki wewenang melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Asalnya.

Namun, mereka bukan hanya bertanggung jawab dalam penyelidikan dan penuntutan kasus pencucian uang, tetapi juga memiliki peran strategis dalam menggali bukti-bukti yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang serta melakukan perampasan aset tindak pidana pencucian uang hasil korupsi.

Terdapat 3 (tiga) peraturan yang digunakan untuk perampasan aset tindak pidana pencucian uang hasil korupsi oleh kejaksaan, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang TPPU), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor) dan Perja Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemulihan Aset di mana ruang lingkup dari Perja tersebut hanya berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia.

Perampasan aset yang diatur di dalam Perja Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemulihan Aset. Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, secara universal merupakan lembaga sentral dalam sistem penegakan hukum pidana, yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan/ mengendalikan penyidikan, melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan/ putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang telah tetap serta mempunyai tanggung jawab dan kewenangan atas seluruh barang bukti yang disita baik dalam tahap penuntutan untuk kepentingan pembuktian perkara, maupun untuk kepentingan eksekusi.

Berdasarkan Perja Nomor 7 Tahun 2020 tersebut diketahui bahwa mekanisme perampasan aset dapat dibagi menjadi 2 jalur, yaitu civil forfeiture (perampasan aset secara perdata) dan criminal forfeiture (perampasan aset secara pidana).

Civil forfeiture merupakan model perampasan aset yang bukan merupakan kasus pidana atau dapat disebut sebagai upaya perampasan aset tanpa pemidanaan atau Non Conviction Based Asset Forfeiture yang diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang TPPU.

Mekanisme NCB Asset Forfeiture menjadikan aset dari tindak pidana diposisikan sebagai subjek hukum, sehingga hal tersebut menggunakan mekanisme permohonan gugatan kepada pengadilan negeri yang diajukan dari negara dan termohon dari terdakwa yang diduga bahwa aset tersebut merupakan aset dari tindak pidana.

Sistem tersebut dapat dilakukan perampasan tanpa harus menunggu adanya putusan pidana bagi pelaku tindak pidana.

Mekanisme selanjutnya menggunakan perampasan aset secara pidana yang merupakan bagian dari hukuman tindak pidana, yang dapat disebut juga sebagai criminal forfeiture merupakan pemidanaan bagi seorang terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, bukan menggunakan mekanisme gugatan atas harta kekayaan yang menggunakan mekanisme perdata.

Dalam hal tersebut, pengadilan meminta terpidana untuk membayar uang pengganti atau merampas aset dari terpidana sebagai pengganti sebagaimana tercantum dalam Putusan dan dieksekusi oleh Jaksa Eksekutor.

Penulis:

Theo Yose Pratama Pasaribu
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Magister Ilmu Hukum

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI