Memilih jurusan Teknik Mesin bukanlah keputusan yang mudah bagi sebagian besar perempuan. Selain harus berhadapan dengan kurikulum yang menantang, mereka juga dihadapkan pada stigma sosial yang menganggap bidang ini “bukan untuk perempuan”.
Di banyak kampus, jumlah mahasiswi Teknik Mesin sering kali hanya segelintir dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki.
Kondisi ini menciptakan dinamika tersendiri, mulai dari rasa minder, canggung, hingga tekanan untuk selalu tampil sempurna.
Namun justru di situlah letak kekuatan mereka: bertahan, berkembang, dan bersinar di tengah ruang yang tidak selalu ramah.
Di dalam kelas maupun di bengkel praktik, perempuan Teknik Mesin menunjukkan bahwa kemampuan tidak punya jenis kelamin.
Mereka belajar mengelas, menggambar teknik, melakukan analisis fluida, hingga merancang mesin dengan penuh semangat dan tekad.
Walaupun kadang menghadapi komentar meremehkan atau merasa “sendiri”, solidaritas antarmahasiswa perempuan menjadi kunci untuk terus maju.
Banyak dari mereka bahkan berhasil menjadi asisten praktikum, juara lomba teknik, hingga aktif memimpin organisasi jurusan.
Mereka tidak sekadar mengikuti arus, tapi membentuk jalur baru yang inspiratif bagi generasi selanjutnya.
Pada akhirnya, keberadaan perempuan di Teknik Mesin bukan hanya soal statistik, tetapi tentang representasi dan perubahan cara pandang.
Dunia teknik tidak lagi bisa didefinisikan oleh satu kelompok saja, keragaman justru memperkuat kreativitas dan inovasi.
Kampus seharusnya menjadi tempat tumbuh yang setara, di mana semua mahasiswa, tanpa memandang gender, bisa merasa dihargai dan diberi ruang berkembang.
Semakin banyak perempuan yang menempuh jalur ini, semakin dekat kita dengan masa depan teknik yang inklusif dan berdaya saing.
Karena bagi mereka, menjadi perempuan di Teknik Mesin bukan tentang membuktikan diri, melainkan tentang menciptakan makna.
Penulis: Zahra widi
Mahasiswi Teknik Mesin, Politeknik Negeri Semarang
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News