Pendidikan bukan sekadar transmisi ilmu. Ia adalah proses memanusiakan manusia.
Itulah pesan utama dari Prof. H. Muzayyin Arifin dalam bukunya yang tak lekang oleh zaman, Filsafat Pendidikan Islam edisi revisi.
Buku ini tidak hanya memuat teori pendidikan dari sudut pandang Islam, melainkan juga refleksi tajam terhadap krisis nilai dalam dunia pendidikan modern.
Arifin mengajak kita berpikir ulang: apa sebenarnya tujuan pendidikan? Apakah hanya mencetak lulusan dengan nilai tinggi?
Ataukah membentuk manusia utuh yang sadar akan jati dirinya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi?
Dalam pendidikan Islam, kata Arifin, orientasi pendidikan tidak bisa lepas dari wahyu.
Pendidikan bukan proyek duniawi semata, tetapi bagian dari jalan menuju kesempurnaan spiritual.
Buku ini membuka dengan landasan filosofis pendidikan Islam, yang berpijak pada keyakinan bahwa manusia memiliki fitrah potensi bawaan yang suci.
Fitrah itu, jika tidak diarahkan oleh pendidikan berbasis tauhid, akan tertutupi oleh nafsu dan budaya materialistik.
Pendidikan Islam hadir bukan untuk mengubah manusia, tetapi menyempurnakannya.
Dalam bab tentang manusia, Arifin menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk biologis.
Ia memiliki tiga dimensi: jasad, akal, dan ruh. Ketiganya harus dikembangkan secara seimbang.
Sayangnya, sistem pendidikan modern terlalu menekankan aspek kognitif, hingga melupakan pengembangan akhlak dan spiritualitas.
Kita pun melihat lulusan-lulusan cerdas yang abai terhadap etika dan kebenaran.
Arifin juga mengkritisi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia.
Dalam Islam, semua ilmu adalah jalan menuju Tuhan, selama dimanfaatkan untuk kebaikan. Karena itu, kurikulum pendidikan Islam idealnya bersifat integratif.
Ilmu fisika dan fiqh, matematika dan tasawuf, semua harus diposisikan sebagai instrumen untuk mengenal dan mengabdi kepada Sang Pencipta.
Pendidikan Islam, menurut Arifin, bukan hanya soal isi, tapi juga metode. Ia menekankan pentingnya keteladanan (uswah), pembiasaan, dan kasih sayang.
Guru bukan sekadar pengajar, tapi juga figur panutan. Pendidikan yang berhasil adalah yang mampu menyentuh hati murid, bukan hanya mengisi kepalanya.
Krisis pendidikan hari ini, menurut Arifin, terjadi karena hilangnya ruh pendidikan.
Banyak institusi pendidikan sibuk mengejar akreditasi dan ranking, tetapi lalai terhadap misi utama: membentuk insan kamil.
Di tengah arus globalisasi dan sekularisasi, pendidikan Islam dihadapkan pada tantangan berat: bagaimana tetap relevan tanpa kehilangan otentisitas?
Arifin tak menolak modernitas. Ia justru mendorong pembaruan kurikulum dan metode, selama tidak meninggalkan nilai-nilai Islam.
Pendidikan Islam harus mampu menjawab kebutuhan zaman mempersiapkan generasi yang kritis, adaptif, tetapi tetap berakar pada tauhid.
Penutup buku ini menyuguhkan pandangan reflektif: pendidikan adalah bentuk ibadah. Ia menuntut kesabaran, integritas, dan visi jangka panjang.
Arifin menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan tidak diukur dari nilai rapor atau ijazah, tetapi dari sejauh mana peserta didik mampu menjadi manusia yang bermanfaat, beretika, dan bertakwa.
Pandangan ini terasa semakin relevan hari ini, saat pendidikan menghadapi komodifikasi dan komersialisasi.
Ketika institusi menjadi pabrik, dan murid menjadi produk.
Buku Filsafat Pendidikan Islam hadir sebagai pengingat bahwa pendidikan bukan mesin pencetak robot akademis, tapi taman untuk menumbuhkan manusia seutuhnya.
Catatan Redaksi
Tulisan ini merupakan rangkuman reflektif dari buku Filsafat Pendidikan Islam karya Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed.
Diharapkan dapat memberikan perspektif alternatif dalam merancang sistem pendidikan Islam yang relevan, bermakna, dan berkarakter.
Penulis: Muhammad Ilyas
Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam, UIN K. H. Saifuddin Zuhri Purwokerto
Aktif Juga sebagai Pendidik, Peneliti, dan Pengamat Pendidikan Islam
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News