Menelisik Berkembangnya Buku Bajakan di Indonesia

buku bajakan

Dewasa ini, dunia literasi mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dengan adanya media digital yang menjadi penunjang kegiatan membaca bagi masyarakat milenial di era digitalisasi.

Tapi, di satu sisi masih banyak PR yang harus diselesaikan  oleh perindustrian buku di Indonesia, di antara nya maraknya pembajakan buku.

Buku bajakan sendiri adalah menyalin, memproduksi karya atau buku orang lain tanpa izin dari penulis buku tersebut demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Bacaan Lainnya

Kasus pembajakan sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di kalangan masyarakat. Bahkan berdasarkan lembaga pengawasan dari Amerika Serikat yakni USTR (United States Trade Representative) Indonesia masuk dalam peringkat empat besar mengenai pembajakan khususnya hak cipta.

Mengutip tulisan H. Rozali Usman, S.H. dalam buku berjudul “Buku Membangun kualitas Bangsa” dikatakan bahwa pembajakan sudah dimulai sejak zaman Orde Baru yang mana pada saat itu keadaan ekonomi negara sedang berantakan.

Pemerintah membuat berbagai kebijakan yang berat sebelah dan akhirnya memberikan pengaruh terhadap industri buku.

Salah satu kebijakannya adalah bahwa hanya sembilan bahan pokok saja yang masih diberi subsidi, sedangkan untuk subsidi buku dihapus 100% dan diberlakukannya sanering uang yang awalnya Rp 1.000,00 menjadi Rp1,00. Sehingga berbagai macam bahan pokok pembuatan buku pun ikut melonjak drastis, dan membuat beberapa penerbit gulung tikar karena kehabisan modal.

Dengan banyaknya penerbit yang tutup usaha mengakibatkan harga buku melonjak drastis dan banyak buku yang menghilang dari pasaran. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh ‘beberapa oknum’ yang melihat kesempatan itu dengan mencetak buku yang banyak dibutuhkan tetapi persediaannya kosong di pasaran.

Kemudian oknum tersebut menggunakan peluang itu untuk menjualnya dengan harga murah dan laris dipasaran. Sehingga aktifitas menyalin tanpa izin inipun semakin berkembang yang kemudian saat ini dikenal dengan sebutan pembajakan.

Di Indonesia sendiri, masalah pembajakan sudah dibahas dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.

“Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Lalu, mengenai ketentuan pidana bagi pelaku yang melanggar, sudah dijelaskan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002.

“Menurut Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta, bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Selain itu, beberapa sanksi lainnya adalah:

Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta dipidana dengan dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

 Akan tetapi, melihat realita yang terjadi saat ini sepertinya Undang-Undang ini seolah tidak memiliki nyawa. Buktinya masih banyak para pembajak buku yang menjual buku-buku ‘ilegal’ dengan bebas tanpa ada rasa takut.

Lalu, apakah undang-undangnya yang belum tegas? Tidak sepenuhnya salah, karena untuk menyelesaikan masalah ini butuh kerja sama dari berbagai pihak, baik itu pemerintah, para penerbit, penulis, dan pembaca itu sendiri. Karena, alasan buku bajakan itu semakin marak karena tingginya minat pasar atau pembeli terhadap produk itu, sehingga dari kasus tersebut dibutuhkan kesadaran setiap orang bahwa dengan membeli buku bajakan sama dengan membantu kriminalitas dan melanggar hukum.

Nah, pertanyaannya apa langkah pertama yang harus dilakukan untuk meminimalisir kriminalitas yang terjadi?

Dari sudut pandang saya, sebagai pembaca hendaknya harus tahu terlebih dahulu bagaimana membedakan buku bajakan dengan buku yang original. Karena saat ini tidak jarang para pembaca tidak mengetahui bahwa buku yang dibeli adalah bajakan.

Selain kurangnya edukasi, juga karena bahasa marketing yang digunakkan oleh para pelaku pembajakan lebih kreatif, seperti “isi sama seperti ori” “setara ori”, “self printed”, “premium”, “cetak sendiri isi sama seperti ori”, dan berbagai istilah lainnya.

Khususnya, saat melakukan pembelian di marketplace seperti Shopee, Tokopedia, bukalapak, dll, sebagai pembeli kita tidak mengetahui kualitas fisik buku yang dijual.

Berbeda saat menemui buku bajakan secara langsung, bisa terlihat ciri-cirinya dari covernya yang tidak rapi, warna, ataupun kertas juga tulisan dalam bukunya.

Ciri-Ciri Buku Bajakan

Ciri-ciri buku bajakan yang dijual di marketplace:

1. Harga sangat murah dibandingkan dengan harga standar

Untuk gap harganya dibandingkan yang original sangat jauh, biasanya buku bajakan dijual kisaran harga 13-25 ribu. Perlu diingat, tidak semua harga buku yang murah itu bajakan, karena bisa jadi sedang ada event, preloved, atau mungkin buku terbitan lama yang dijual murah. Jadi, penting untuk melihat deskripsi produk atau chat penjualnya

2. Stok buku yang sangat banyak

Biasanya untuk penerbit besar, satu judul buku bisa dicetak kurang lebih 3000 eksemplar. Jumlah ini pastinya tidak akan menumpuk di satu toko dan akan tersebar di beberapa toko reseller.

Jadi, logikanya kalau ada yang menuliskan jumlah stok yang melebihi jumlah standar buku yang dicetak oleh penerbit (biasanya ditulis puluhan hingga ratusan ribu) perlu dipertanyakan lagi keasliannya.

3. Menggunakan banyak istilah yang ambigu

Seperti, “Repro”, “non ori”, “replika”, “setara ori”, “self printed”, “premium”, “cetak sendiri isi sama seperti ori”, dan berbagai istilah lainnya.

4. Deskripsi terlalu detail

Contohnya: “Menggunakan kertas bookpaper premium”, “Bukan fotokopi”, “Cetak sendiri”, “Lem kuat”, “Tulisan jelas”, “Kualitas premium” dll. Dengan menulis itu, mereka (Penjual buku bajakan) seolah-olah berusaha memastikan pembeli bahwa buku yang dijual itu berkualitas “bagus”

5. Tidak menggunakan foto fisik

Biasanya penjual buku bajakan tidak menggunakan buku fisik karena mereka sadar semakin banyak orang yang mengetahui ciri-ciri fisik buku bajakan dan karena mereka tidak mempunyai stok fisik bukunya, yang mana mereka cetak bukunya jika ada yang pesan.

6. Bisa request judul, atau pilih sepuasnya

Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki stok fisik dan hanya mempunyai stok file digitalnya.

Selain beberapa ciri-ciri tadi, pembaca juga bisa meihat dari review atau testimoni lewat foto dan video yang diberikan para pembeli.

Terakhir, jika alasan membeli buku bajakan adalah karena mahalnya buku original, sebenarnya sekarang banyak alternatif yang memudahkan kita untuk membaca, salah satunya adalah dengan adanya aplikasi e-book seperti Ipusnas, Gramedia digital, Rakata, dan masih banyak lagi.

Sehingga tidak ada lagi alasan membeli buku bajakan. Mari kita menghargai hak cipta orang lain dan menghidupkan industri per-bukuan di Indonesia dengan mengampanyekan “Stop Beli Buku Bajakan”.

Penulis: Mufidah Azzahra
Siswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI