Mengatasi Kesepian melalui Hubungan dengan Tuhan: Solusi Sufi untuk Masalah Sosial

Mengatasi Kesepian melalui Hubungan dengan Tuhan: Solusi Sufi untuk Masalah Sosial
Gambar dibuat dengan AI.

Abstrak

Kesepian merupakan salah satu masalah psikososial yang semakin dominan di era modern, ditandai oleh meningkatnya keterasingan meskipun secara fisik individu dikelilingi oleh teknologi komunikasi yang canggih. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi solusi yang ditawarkan oleh tradisi sufi terhadap kesepian, baik sebagai masalah psikologis maupun sosial. Dalam konteks ini, tradisi tasawuf (sufisme) dalam Islam menawarkan pendekatan spiritual yang dapat menjadi alternatif dalam menangani kesepian secara mendalam dan transformatif. Artikel ini mengeksplorasi konsep kesepian dalam perspektif sufi sebagai bentuk keterasingan jiwa dari Tuhan, serta bagaimana relasi transendental dengan Tuhan melalui praktik-praktik seperti zikir, khalwat, dan muraqabah dapat menjadi sarana pemulihan spiritual dan emosional. Dengan pendekatan kualitatif berbasis studi literatur, artikel ini menunjukkan bahwa hubungan yang intim dengan Tuhan tidak hanya memberikan ketenangan batin, tetapi juga memperkuat makna hidup dan koneksi sosial seseorang. Pendekatan sufistik ini berpotensi menjadi kontribusi penting dalam wacana kesehatan mental dan solusi spiritual terhadap krisis eksistensial yang dihadapi masyarakat kontemporer.

Kata kunci: kesepian, tasawuf, sufisme, hubungan dengan Tuhan, kesehatan mental, solusi spiritual.

Pendahuluan

Kesepian bukan sekadar ketiadaan relasi sosial, tetapi merupakan kondisi batiniah yang muncul ketika seseorang merasa terputus dari makna, cinta, dan keberadaan orang lain yang signifikan. Dalam masyarakat kontemporer yang serba cepat dan individualistik, banyak orang mengalami kesepian eksistensial yang tak tersentuh oleh solusi duniawi. Kesepian merupakan fenomena sosial yang kian mengemuka di era modern. Meski dunia semakin terhubung secara digital, banyak individu merasa kehilangan kedekatan emosional dan makna dalam hubungan antar pribadi. Penelitian menunjukkan bahwa kesepian berdampak signifikan terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis, bahkan disamakan dengan risiko kesehatan seperti merokok dan obesitas (Holt-Lunstad, 2017). Kesepian dapat diatasi melalui pendekatan spiritual, seperti yang diajarkan dalam tasawuf (sufisme). Tasawuf menekankan hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan, yang dapat memberikan rasa damai dan makna dalam hidup, mengurangi rasa kesepian yang mungkin timbul akibat masalah sosial. Praktik seperti dzikir, meditasi, dan komunitas sufi dapat membantu individu merasa terhubung dan menemukan tujuan hidup yang lebih bermakna  (Zahwa Aqila et al., 2024).

Dalam menghadapi kondisi ini, pendekatan spiritual khususnya melalui tradisi tasawuf atau sufisme dalam Islam menawarkan sebuah perspektif alternatif yang mendalam. Dalam pandangan sufi, kesepian dipahami bukan hanya sebagai kekosongan sosial, tetapi juga sebagai panggilan jiwa untuk kembali terhubung dengan Tuhan. Relasi yang intim dan reflektif dengan Tuhan diyakini mampu menghadirkan rasa tenteram dan makna eksistensial (Schimmel, 1975). Praktik-praktik seperti zikir, khalwat (menyepi untuk kontemplasi), dan muraqabah (kesadaran akan kehadiran Tuhan) dianggap sebagai sarana untuk menyembuhkan luka batin dan membangun keutuhan diri (Chittick, 2000).

Bacaan Lainnya

Kesepian sebagai Masalah Sosial

Kesepian merupakan pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan ketika seseorang mengalami penurunan hubungan sosial yang diinginkan. Menurut Peplau & Perlman (1998) dalam (Hidayati 2015), kesepian terjadi ketika individu merasa hubungan sosialnya tidak memadai atau tidak memuaskan.

Sedangkan menurut Cacioppo dan Hawkley (2009) and Peplau & Perlman (1982), kesepian adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami social distress akibat adanya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan didalam relasinya dengan orang lain (dalam Feldman, Davidson, Ben-Naim, & Maza, & Margalit, 2016)

Kesepian menyebabkan seseorang yang mengalaminya merasa kosong, merasa sendiri dan tidak diinginkan walaupuan sebenarnya orang tersebut tidak sedang sendiri dan berada pada kondisi lingkungan yang ramai (Cherry, tt).

Faktor-faktor seperti isolasi sosial, perubahan besar dalam kehidupan (seperti pindah, kehilangan orang terdekat, atau perceraian), kepribadian introvert, serta gangguan mental seperti depresi dan kecemasan, semuanya berkontribusi terhadap perasaan kesepian (Weiss, 1973). Kesepian dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kesepian emosional yang berasal dari tidak adanya kedekatan personal, dan kesepian sosial yang disebabkan oleh kurangnya jaringan sosial yang memadai (Peplau & Perlman, 1982).

Dalam psikologi, berbagai pendekatan telah dikembangkan untuk mengatasi kesepian, baik dari sisi kognitif, perilaku, maupun sosial. Pendekatan kognitif menekankan pada restrukturisasi pikiran negatif terhadap diri sendiri dan orang lain. Misalnya, individu yang merasa tidak dicintai dapat diarahkan untuk mengenali distorsi kognitifnya dan membangun pola pikir yang lebih rasional dan sehat.

Baca Juga: Mengatasi Kesepian dalam Cerpen Kesehatan Mental Ratih Karya Dilla Sekar Kinari dengan Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Dalam perspektif Islam, kesepian tidak selalu dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Islam memandang bahwa kesendirian bisa menjadi ruang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seorang muslim diajak untuk mengisi kesendirian dengan mengingat Allah, merenungi makna kehidupan, dan memperdalam keimanan. Dalam tradisi para sufi, kesepian bahkan menjadi sarana untuk menyatu secara spiritual dengan Tuhan. Tokoh-tokoh sufi seperti Rumi dan Al-Ghazali menjadikan kesendirian sebagai tempat pencarian cinta Ilahi. Dalam konteks ini, kesepian menjadi bukan masalah sosial yang harus dihindari, melainkan kesempatan untuk memperkuat hubungan transenden.

Penyebab kesepian dapat bervariasi. Salah satu faktor utama adalah perubahan besar dalam hidup, seperti pindah tempat tinggal, perceraian, atau kematian orang terdekat. Selain itu, kesepian juga dapat disebabkan oleh kurangnya koneksi sosial yang bermakna. Meskipun seseorang memiliki banyak kenalan atau aktivitas sosial, ia tetap bisa merasa kesepian jika tidak ada kedekatan emosional dalam relasi tersebut. Faktor psikologis seperti gangguan depresi dan harga diri rendah juga berkontribusi terhadap munculnya perasaan kesepian (Jurnal Psikologi UMM, 2015).

Dalam perspektif Islam, kesepian tidak hanya dilihat sebagai fenomena sosial atau psikologis, tetapi juga sebagai kondisi spiritual. Kesepian dapat timbul ketika seseorang merasa jauh dari Allah SWT atau mengalami kekosongan spiritual. Kurangnya kedekatan dengan Allah, kurangnya ibadah, dan minimnya refleksi diri dapat menyebabkan perasaan hampa dan kesepian. Islam mengajarkan bahwa dengan memperkuat hubungan dengan Allah melalui ibadah, zikir, dan doa, seseorang dapat mengatasi perasaan kesepian dan menemukan ketenangan batin. Dengan demikian, baik dari sudut pandang psikologis maupun spiritual, penting bagi individu untuk membangun hubungan yang bermakna dengan sesama dan memperkuat kedekatan dengan Tuhan sebagai upaya mengatasi kesepian.

Kesepian dan Dampaknya dalam Kehidupan

Kesepian tidak hanya memengaruhi kondisi emosional, tetapi juga berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan. Individu yang mengalami kesepian kronis cenderung mengalami penurunan kualitas hidup, baik dalam aspek fisik, mental, sosial, maupun spiritual.

Studi menunjukkan bahwa kesepian dapat memperburuk kesehatan fisik, meningkatkan tekanan darah, mempercepat proses penuaan biologis, dan menurunkan sistem imun (Hawkley & Cacioppo, 2010). Secara psikologis, kesepian berkorelasi dengan munculnya rasa tidak berharga, hilangnya makna hidup, dan meningkatnya kecenderungan untuk menarik diri dari aktivitas sosial.

Menurut Cacioppo (2008) Kesepian dikategorikan menjadi 2 yaitu kesepian sosial (kurangnya keterlibatan sosial) dan kesepian emosional (ketiadaan hubungan intim dan bermakna). Keduanya memiliki dampak besar pada kesehatan mental dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa kesepian yang berkepanjangan dapat menyebabkan peningkatan hormon stres, peradangan kronis, penurunan fungsi kognitif, hingga gangguan kardiovaskular. Di sisi lain, perubahan budaya dan teknologi memperparah kondisi ini. Meskipun teknologi memungkinkan koneksi instan, ia tidak menjamin kedekatan emosional. Media sosial menciptakan ilusi hubungan, tetapi seringkali tidak mampu mengisi kekosongan batin.

Dalam konteks sosial, individu yang merasa kesepian sering kesulitan membangun atau mempertahankan hubungan interpersonal yang sehat, sehingga terjebak dalam lingkaran isolasi. Dampak ini pada akhirnya berpengaruh juga terhadap produktivitas kerja, stabilitas rumah tangga, dan kontribusi sosial secara umum (Mushtaq et al., 2014). Oleh karena itu, kesepian harus dipahami bukan hanya sebagai keluhan emosional, tetapi sebagai tantangan multidimensi yang membutuhkan pendekatan holistik, termasuk dimensi spiritualitas.

Baca Juga: Mencari Jalan Keluar Mengatasi Self Harm dan Membangun Kesehatan Mental

Perspektif Sufi terhadap Kesepian

Dalam perspektif sufistik, kesepian (wahshah) tidak selalu bersifat negatif. Ia dapat menjadi panggilan jiwa menuju al-Haqq (Yang Maha Benar). Para sufi memandang bahwa penyebab utama kesepian adalah keterputusan hati dari Tuhan (Schimmel, 1975). Oleh karena itu, solusi utama bukanlah sekadar memperbanyak hubungan sosial, tetapi menyambung kembali relasi ruhani dengan Sang Pencipta.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan pentingnya khalwah (menyendiri) sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mengasingkan diri dari masyarakat, tetapi untuk menemukan makna terdalam dari eksistensi (al-Ghazali, 2004).

1. Kesepian sebagai Undangan Ilahi (Da’wah Ilahiyyah)

Dalam al-Hikam karya Ibn ‘Ata’illah, kesepian dipahami sebagai bentuk kasih sayang Tuhan yang memisahkan hamba-Nya dari makhluk agar ia hanya bergantung kepada-Nya. Perasaan kosong atau terasing sering kali merupakan “seruan halus” dari Tuhan agar manusia kembali menyadari eksistensinya sebagai ciptaan yang lemah dan membutuhkan.

2. Khalwah: Kesendirian yang Menghidupkan

Konsep khalwah atau menyendiri dalam tradisi sufi bukanlah bentuk isolasi sosial, melainkan praktik spiritual untuk memurnikan hati. Dalam Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali (2005) menekankan pentingnya menyendiri sebagai jalan untuk menghindari kesibukan duniawi yang menumpulkan kesadaran ilahi. Dalam kesendirian inilah seorang hamba belajar mengenal Tuhan dengan lebih dalam.

3. Dzikir dan Muraqabah sebagai Obat Kesepian

Dzikir (mengingat Allah) dan muraqabah (merasakan kehadiran Allah) adalah praktik inti dalam sufisme. Menurut Schimmel (1975), dzikir berfungsi sebagai jembatan antara hati manusia dan kehadiran Tuhan, mengubah perasaan sepi menjadi pengalaman spiritual yang penuh cinta dan pengharapan.

4. Kesepian sebagai Jalan Cinta (Mahabbah)

Ibn Arabi (2004) dalam Fusûs al-Hikam menjelaskan bahwa cinta kepada Tuhan adalah kekuatan utama dalam eksistensi manusia. Dalam perspektif ini, kesepian menjadi media transformasi untuk mengenali cinta Tuhan yang tak terbatas. Cinta ilahi membuat seseorang merasa dicintai dan diperhatikan oleh Zat Yang Maha Pengasih.

5. Fana’ dan Baqa’: Menyatu dan Bertahan dalam Tuhan

Kesepian diubah dalam proses fana’—peleburan ego dan kesadaran diri ke dalam Tuhan—yang kemudian diikuti dengan baqa’—kehidupan dalam kesadaran ilahi yang stabil. Menurut Nasr (2007), proses ini membawa kedamaian mendalam yang tak tergantikan oleh hubungan sosial biasa.

Baca Juga: Kesepian di Era Digital: Tantangan Masyarakat Modern

Tasawuf sebagai Solusi Psikospiritual

Tasawuf, atau sufisme, adalah dimensi batiniah dari Islam yang menekankan pendekatan langsung dan intim kepada Tuhan Allah SWT melalui pembersihan jiwa, pengendalian nafsu, serta peningkatan kualitas spiritual melalui dzikir, muraqabah, muhasabah, dan mahabbah. Tasawuf bukan sekadar ilmu, tetapi juga jalan hidup untuk mencapai ma’rifatullah.

Secara psikospiritual, tasawuf bertujuan menyeimbangkan aspek psikologis (jiwa, emosi, dan perilaku) dengan aspek spiritual (kesadaran ilahi dan kebergantungan total kepada Tuhan). Pendekatan ini berperan penting dalam mengobati kesepian eksistensial, yaitu perasaan keterasingan yang bersifat spiritual dan tidak semata karena kurangnya interaksi sosial (Mursalin, 2024).

Dalam psikologi modern, kesepian sering dikaitkan dengan kecemasan, depresi, bahkan kecenderungan bunuh diri. Namun, pendekatan psikologis sekuler cenderung mengabaikan kebutuhan transendental manusia. Di sinilah tasawuf berperan sebagai terapi psikospiritual yang menyentuh inti permasalahan (Knysh, 2010).

Praktik-praktik tasawuf, seperti dzikir (meditasi dengan menyebut nama Allah), khalwah (menyepi untuk kontemplasi), dan tawakkal (berserah diri kepada Tuhan), memberi efek psikologis positif:

  • Mengurangi kecemasan dan stres;
  • Meningkatkan rasa damai batin (inner peace);
  • Menumbuhkan makna hidup dan penerimaan diri;
  • Meningkatkan optimisme eksistensial.

Studi kontemporer menunjukkan bahwa praktik spiritual Islami dapat memperbaiki kesehatan mental dan mengatasi rasa keterasingan, terutama pada individu yang mengalami kesepian berat.

“Dzikir yang mendalam mampu menurunkan aktivitas amygdala (pusat ketakutan otak) dan meningkatkan keseimbangan sistem saraf.”
(Siddiqi, 2012)

Tasawuf memandang hubungan vertikal dengan Tuhan (habl min Allah) sebagai fondasi untuk memperbaiki hubungan horizontal dengan sesama (habl min al-nas). Orang yang mengalami cinta Ilahi (mahabbah ilahiyyah) cenderung lebih empatik, penyabar, dan terhubung secara sosial—mengurangi perasaan terisolasi. Kesepian dalam masyarakat modern dapat diatasi bukan hanya dengan memperbanyak interaksi sosial, tapi juga dengan menguatkan ikatan spiritual yang menghidupkan makna eksistensial.

Baca Juga: Memahami Mental Health dan Self-Harm serta Cara Mengatasinya

Penutup

Kesepian dalam era modern bukan sekadar kesunyian fisik, tetapi kegelisahan jiwa yang kehilangan arah dan makna. Ia menjadi panggilan sunyi untuk kembali kepada asal: kepada Tuhan sebagai sumber cinta, keberadaan, dan keutuhan. Sufisme, dengan pendekatan yang halus namun mendalam, tidak hanya menawarkan jalan keluar dari penderitaan batin, tetapi mengajak manusia untuk memasuki ruang keintiman ilahi ruang di mana kehadiran Tuhan menjadi penghibur hakiki.

Melalui praktik-praktik seperti dzikir, tafakkur, khalwah, dan muraqabah, sufisme membimbing individu agar menyadari bahwa ia tidak pernah benar-benar sendiri. Sebab Tuhan berfirman, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri” (Q.S. Qaf: 16). Ayat ini bukan sekadar retorika spiritual, tetapi realitas eksistensial yang, jika disadari sepenuh hati, dapat mengubah kesepian menjadi keheningan yang penuh makna, dan kehampaan menjadi ruang cinta yang tak terbatas.

Dengan demikian, pendekatan sufistik bukan hanya solusi untuk meredakan kesepian, tetapi sebuah undangan untuk mengalami transformasi jiwa dari keterasingan menuju keintiman ilahi, dari kehampaan menuju kelimpahan makna, dari kegelisahan menuju ketenangan yang abadi.

Penulis:
1. Elsanda Dwi Sehida 2208015092
2. Revana Sari 2208015093
Mahasiswa Fakultas Psikologi Prodi Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

 

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

Zahwa Aqila, Taskiyatuz Z, Abdul Aziz, & Puput Lestari. (2024). Peran      Tasawuf           Untuk     Kesehatan Mental Masyarakat Modern. Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran, 7, Nomor 2, 5383–5388.

Cacioppo, J. T., & Patrick, W. (2008). Loneliness: Human nature and the need for social connection. W. W. Norton & Company.

Hawkley, L. C., & Cacioppo, J. T. (2010). Loneliness matters: A theoretical and empirical review of consequences and mechanisms. Annals of Behavioral Medicine, 40(2), 218–227. https://doi.org/10.1007/s12160-010-9210-8

Mushtaq, R., Shoib, S., Shah, T., & Mushtaq, S. (2014). Relationship between loneliness, psychiatric disorders and physical health? A review on the psychological aspects of loneliness. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 8(9), WE01–WE04.

Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Al-Ghazali. (2004). Ihya’ Ulumuddin [The Revival of the Religious Sciences]. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Peplau, LA, & Perlman, D. (1982). Kesendirian: Buku sumber teori, penelitian, dan terapi terkini . New York: Wiley.

Hidayati, R. (2015). Kesepian pada mahasiswa tahun pertama. Jurnal Tambora , 3(2), 56–67. https://jurnal.uts.ac.id/index.php/Tambora/article/download/1313/798/3551

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol. 4). Dar al-Ma‘rifah.

Ibn ‘Ata’illah. (n.d.). Al-Hikam al-‘Ata’iyyah. Dar al-Fikr.

Ibn Arabi. (2004). Fusûs al-hikam (A. Ezzeddine, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.

Holt-Lunstad, J. (2017). The potential public health relevance of social isolation and loneliness: Prevalence, epidemiology, and risk factors. Public Policy & Aging Report, 27(4), 127–130. https://doi.org/10.1093/ppar/prx030

Chittick, W. C. (2000). Sufism: A short introduction. Oneworld Publications.

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses