Babak Baru Revisi UU KPK
Revisi Undang-Undang KPK yang menuai polemik di kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil yang pro pada lambaga anti rasua (KPK) kini memasuki babak baru, karena revisi UU KPK yang ditolak habis-habisan oleh mahasiswa telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat dan budiman.
Oleh karenanya, mahasiswa bukan lagi datang ke gedung DPR dengan membawa sepanduk bertuliskan satire-satire (sindiran) pada DPR serta menuntut DPR untuk menunda pengesahan revisi UU KPK, akan tetapi datang ke Istana Negara menuntut kepada pemeritah dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Pemerintah untuk mengeluarkan Perppu.
Ditinjau dari konstitusi, Presiden dijamin untuk menggunakan haknya mengeluarkan Perppu, Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Jadi, Perppu yang dikeluarkan Presiden tidak serta-merta diterbitkan begitu saja, harus ada anasir (unsur) hal ihwal kegentingan yang memaksa sehingga Perppu bisa diterbitkan.
Selain itu, berdasarakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 ada 3 syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tapi tidak memadai, dan ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedural biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan yang mendesak itu perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam banyak kasus, Perppu pernah dikeluarkan untuk menjawab hal ihwal dari kegentingan yang memaksa itu, seperti misalnya, UU tentang Terorisme, yang barangkali masih hangat dalam pikiran kita. Dimana Perppu tentang terorisme ini lahir karena terjadi Bom Bali 1 sebelumnya yang menimbulkan banyak korban jiwa. Dan dikarenakan pada waktu itu undang-undang yang mengatur khusus tentang Tindak Pidana Terorisme belum ada, sehingga mengalami kekosongan hukum, maka perlu Perppu untuk megisi kekosongan hukum tersebut agar pelaku Tindak Pidana Terorisme bisa ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Dan yang masih segar dalam benak pikiran kita adalah Perppu No 2/2017 tentang Pembubaran Ormas. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa, Perppu merupakan hak prerogatif presiden dan untuk menafsirkan hal ihwal kegentingan yang memaksa merupakan subyektif Presiden.
Dilansir dari hukumonline.com dalam artikel berjudul “polemik penolakan Perppu” yang ditulis Yuni Harsono, bahwa hal ihwal kegentingan memaksa syarat diterbitkan Perppu merupakan penafsiran subyektif Presiden dan akan dinilai kembali oleh DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Sekarang bola berada di tangan Presiden, tinggal bagaimana Presiden bisa memainkan bola tersebut dengan baik, tidak tergesa-gesa agar goal yang diambil tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.
Mahasiswa dan masyarakat sipil yang mendukung keberadaan KPK sebagai institusi penegak hukum, terus membela agar tidak dilemahkan dengan UU KPK yang telah direvisi, dengan menuntut Presiden segera menerbitkan Perppu. Karena bila mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ketiga syarat itu telah memenuhi, yaitu telah ada korban jiwa yang berjatuhan dari kalangan mahasiswa, UU KPK yang direvisi itu berpotensi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena di dalam UU itu terdapat pasal-pasal yang berpotensi melemahkan KPK sebagai lembaga independen dalam menjalakan tugas dan wewenangnya secara teknis. Dan revisi UU KPK membiarkan para kejahatan korupsi di negeri ini menjadi-jadi dan pelaku koruptor bisa kemana-mana.
Argumentasi yang sama juga dikemukakan oleh ketua Pusat kajian Anti Korupsi, yaitu Dr. Zainal Arifin Mochtar, saat memberikan penjelasan di acara ILC TV One. Beliau mengatakan kegentingan memaksa sehingga Perppu itu diterbitkan sudah ada, yaitu telah hilangnya nyawa mahasiswa yang menuntut keadilan di pelbagai kota.
Menurut penulis, ketiga unsur di atas telah memenuhi syarat diterbitkannya Perppu, namun apakah Perppu bisa menjadi penyelamat KPK sebagaimana yang diharapkan oleh mahasiswa dan masyarakat?
Perppu Simalakama
Perppu dalam pandangan mahasiswa dan elemen masyarakat yang menolak pelemahan KPK seolah-olah sebagai “Juru Selamat’’ bila diterbitkan, dengan begitu, KPK akan berada di garda terdepan kembali untuk memberantas kejahatan korupsi.
Bila memang Perppu adalah “Juru Selamat” jika mengacu pada pendapat Yuni Harsono, yang mengatakan, bahwa Perppu yang dikeluarkan atas dasar hal ihwal kegentingan itu akan diuji kembali di gedung DPR untuk dinilai kembali apakah kegentingan mendesak benar terjadi atau tidak.
Maka sejauh penulis menganalisa, Perppu yang diharapkan oleh mahasiswa dan masyarakat diterbitkan oleh Presiden, tidak akan mampu memberikan dampak signifikan untuk membatalkan UU KPK yang telah direvisi. Sebab hal ihwal kegentingan yang memaksa meskipun berasal dari penafsiran subyektif Presiden akan dinilai kembali oleh DPR. Apalagi kita tahu bahwa, hampir seluruh anggota DPR mendukung UU KPK di revisi, bahkan partai pendukung Jokowi pun menyetujui revisi KPK tersebut.
Sementara itu, jalan lain yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan KPK yaitu, Legislasi Review, dimana pemerintah dan DPR melakukan revisi kembali UU KPK yang telah disahkan atau rekonsiliasi hukum, dan Yudisial Review dengan mengajukan pasal-pasal yang berpotensi melemahkan KPK ke MK juga memiliki nasip yang sama, yaitu tidak bisa menyelamatkan KPK.
Dengan demikian, KPK dengan UU yang baru mau tidak mau harus menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan pada UU KPK yang baru, dan semoga KPK bisa tetap menjadi institusi yang mampu memberantas tindak pidan korupsi melalui pencegahan dini, dengan menggunakan fungsi supervisi yang dimiliki agar tidak banyak uang negara yang hilang karena dicuri.
Bila dilihat dari politik hukum, keperkarsaan Presiden menerbitkan Perppu adalah sebuah Jebakan Batman yang telah disiapkan lawan politiknya untuk memberikan influence (pengaruh) kepada masyarakat untuk mengurangi legitimasi rakyat pada Presiden, sebab Presiden telah komitmen dengan janji politiknya untuk memperkuat KPK sebagai institusi penegak hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Soeratman, S.H.