Menimbang Permendikbud Ristek 30/2021: Antara Urgensi Regulasi dan Kewenangan dalam Hukum Tata Negara

Permendikbud Ristek 30/2021
Gambar dibuat dengan AI.

Kita tidak dapat menyangkal bahwa perempuan masih berisiko mengalami kekerasan seksual, meski tidak bermaksud menepis fakta-fakta lainnya (KS).

Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 menunjukkan bahwa KS merupakan jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di ranah privat (Komnas Perempuan, 2020). Lebih jauh, KS mencakup 58% dari seluruh tindak kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas.

Berdasarkan data sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak Januari hingga Juli 2020, kasus KS mencakup 2.556 dari total 4.116 kasus kekerasan terhadap anak (Kamil, 2020).

Riset Ditjen Ristek menunjukkan 77% dosen menyatapkan “KS terjadi di kampus” dan 63% tidak melaporkan kasus yang diketahuinya ke pihak kampus. Secara khusus, data Komnas Perempuan menunjukkan KS terjadi di semua jenjang pendidikan, dengan 27% pengaduan yang diterima terjadi di jenjang pendidikan tinggi.

Bacaan Lainnya

Selain itu, data tirto.id yang berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota menunjukkan 89% perempuan dan 4% laki-laki menjadi korban KS.

Sayangnya, kita masih kekurangan undang-undang yang cukup untuk menangani masalah ini. Undang-Undang Perlindungan Anak sudah ada, tetapi hanya melindungi korban yang berusia di bawah 18 tahun.

Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah undang-undang lain yang kita miliki, tetapi hanya melindungi korban KS yang sudah menikah.

Selain itu, kita memiliki Undang-Undang tentang Kejahatan Perdagangan Orang, yang sama dan hanya melindungi korban KS yang terkait dengan organisasi perdagangan orang.

Fenomena ini menyebabkan lahirnya Permendikbud Ristek 30/2021. Untuk mengatasi kurangnya perlindungan hukum bagi korban KS di kampus, peraturan ini dikembangkan.

Perlu diingat bahwa hukum tidak selalu secara langsung meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan IQ, dan sebagainya. Namun, karakter hukum bersifat restriktif. Hukum memiliki kewenangan untuk memaksakan. Inilah yang kemudian digunakan untuk mendorong munculnya keadaan baru yang diinginkan.

Misalnya, hukum dapat meredam keinginan seseorang untuk menahan diri dari melakukan tindak pidana dengan mengancamnya dengan konsekuensi. Dengan kata lain, anak-anak tidak langsung merasakan peningkatan kecerdasan setelah mengikuti Permendikbud Ristek 30/2021.

Namun, undang-undang ini dimaksudkan untuk membantu menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi proses belajar di kampus. Karena belajar dalam keadaan yang menyakitkan hampir mustahil dilakukan.

Oleh karena itu, kita harus menelaah peraturan menteri ini. Mengingat masih terdapat sejumlah aspek yang masih diperdebatkan dalam undang-undang ini, kita akan membahas hal berikut, yang bersifat teknis, nanti. Namun, saya rasa ini sangat bagus dari segi alasan pembentukannya.

Sebelum saya melangkah lebih jauh, saya ingin menjelaskan bahwa tujuan tulisan ini bukanlah untuk menganalisis sejumlah pandangan filosofis, sosial, teologis, dan pandangan lainnya yang berkaitan dengan gender. Saya hanya akan membahas hal ini sebagai “anak hukum” dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Awalnya, pembuatan Permendikbud Ristek 30/2021 dilakukan dengan izin yang sah. Apakah Menteri Pendidikan mampu mengendalikan tindak pidana (KS)? Tidak sekarang juga. Namun, ia bertugas mengembangkan sistem yang memfasilitasi proses pembelajaran yang efisien karena ia memiliki kewenangan.

Baca Juga: ‘Kado’ dari Kemendikbud-Ristek: Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 jadi Peringkus Pelaku Predator Seksual Kampus

Menurut sebagian pihak, peraturan ini melampaui kewenangannya karena menimbulkan perbuatan pidana baru pada Pasal 1 Angka 1: Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan martabat, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena hubungan kekuasaan yang tidak setara dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikologis dan/atau fisik, termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang serta hilangnya kesempatan untuk melaksanakan pendidikan tinggi secara aman dan optimal.

Bukan begitu pandangan saya. Karena setiap peraturan harus memberikan definisi dan pemahaman yang jelas tentang apa yang diaturnya agar tercipta kepastian hukum. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda-beda terhadap maksud peraturan tersebut.

Penetapan peraturan sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk membuat kebijakan dan melakukan tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terkait dengan penerapan Tridharma di dalam maupun di luar kampus juga sejalan dengan hal tersebut.

Pandangan kedua, dan sekaligus yang paling menonjol, adalah bahwa aturan ini menjadikan perzinaan di lingkungan kampus sebagai hal yang sah. Frasa “tanpa persetujuan korban” muncul di beberapa tempat dalam Pasal 5 dan memberikan penjelasannya.

Misalnya, huruf l “menyentuh, menggesek, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggesekkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban” serta huruf m “menanggalkan pakaian Korban tanpa persetujuan Korban”.

Oleh karena itu, tidak dianggap sebagai kekerasan seksual jika individu yang dimaksud setuju untuk diperlakukan seperti itu. Tindakan tersebut dapat diterima jika dilakukan dengan izin kedua belah pihak. Singkatnya, Permendikbud Ristek 30/2021 bertugas untuk memperbolehkan aktivitas seksual tanpa batas di lingkungan kampus.

Perbedaan antara hukum dan peraturan perundang-undangan sangat penting untuk dipahami oleh para sahabat. Lebih dari itu, hukum merupakan kumpulan mekanisme yang luas dan komprehensif yang dirancang untuk mengatur kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, tidak mungkin mempelajari satu peraturan tanpa membaca peraturan lainnya. Tidak ada peraturan yang dapat dianggap sepenuhnya otonom. Karena kesatuan sistem hukum dan keterkaitan objek yang diaturnya, maka segala sesuatu harus saling terkait, baik secara normatif maupun konseptual.

Dengan kata lain, ungkapan “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbud Ristek 30/2021 tidak menyiratkan bahwa tindakan seksual yang dilakukan di lingkungan kampus dengan persetujuan bersama dapat diterima.

Baca Juga: Ferdy Dukung Penuh Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021

Hal ini dapat dimasukkan ke dalam undang-undang lain yang berkaitan dengan seks bebas. Pasal 284 KUHP, misalnya, menyatakan bahwa “(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1. Seorang wanita yang telah bersuami yang melakukan mukah; b. Seorang pria yang telah beristri yang melakukan mukah (melampaui batas) padahal mengetahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.”

Artinya, mereka yang kedapatan di lingkungan kampus, misalnya, melakukan hubungan seks bebas, tetap dapat dituntut pidana. Akan tetapi, mengingat aturan ini hanya berlaku bagi orang yang telah bersuami, kita harus mengakui bahwa aturan ini memiliki kekurangan.

Di sisi lain, jika kita kembali ke tahun 2019, RUU KUHP telah melakukan persiapan untuk menyempurnakan pasal ini.

Pasal 417 ayat (1) menyebutkan bahwa “setiap orang yang melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena zina dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta.

Artinya, hubungan seksual dengan orang yang belum menikah juga dapat diancam dengan pidana penjara atau denda jika tindakan tersebut disetujui.

Fakta bahwa Permendikbud Ristek 30/2021 dibuat dengan tujuan untuk menghindari dan mengelola KS di lingkungan kampus sejak awal merupakan alasan lain mengapa Permendikbud Ristek 30/2021 tidak boleh dianggap sebagai pembolehan hubungan seks bebas di lingkungan sekolah.

Undang-undang ini sebenarnya hanya mengatur hubungan seks yang melibatkan “kekerasan.” Permendikbud Ristek 30/2021 tidak mengaturnya selain dari itu. “Tidak diatur” dan “dibolehkan” bukanlah sinonim. Karena sesuatu dianggap dibatasi ketika diizinkan. Sekali lagi, Permendikbud Ristek 30/2021 hanya “tidak mengaturnya” daripada “mengizinkannya.”

Menurut saya, aturan ini melindungi warga kampus dari aktivitas KS dan mencakup sejumlah tindakan pencegahan. Misalnya, Pasal 5 ayat (2) Permendikbud Ristek 30/2021 mencantumkan semua perilaku—bahkan yang terkecil—yang termasuk dalam ranah kekerasan seksual.

Jika yang bersangkutan tidak terima dan melaporkannya ke Satgas Pencegahan dan Penanganan KS kampus, tindakan menggoda, bercanda, bersiul, dan berpandangan sensual pun dapat dikenai sanksi.

Selain itu, pertemuan antara mahasiswa dan dosen di luar area kampus dan jam operasional, khususnya untuk keperluan selain proses pembelajaran, dibatasi berdasarkan Pasal 7 dan 8 Peraturan ini. Dengan demikian, misalnya, tidak akan ada lagi “pembinaan” di malam hari di Hotel X di masa mendatang.

Selain itu, Pasal 12 melindungi korban atau pelapor dari tuntutan pidana dan memastikan anonimitas identitas mereka.

Baca Juga: Analisis HAM di Lingkungan Perguruan Tinggi terhadap Kasus Pelecehan/Kekerasan Seksual

Lebih lanjut, Pasal 19 menetapkan kemungkinan denda administratif, seperti hilangnya dana, fasilitas, dan infrastruktur, serta penurunan akreditasi kampus, bagi universitas yang gagal merencanakan pencegahan dan penanganan KS.

Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya, saya percaya bahwa setiap orang harus menerima dan mendukung aturan ini guna menurunkan angka tindak pidana KS secara umum dan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman di kampus secara khusus.

Penulis:

Chairani Dinda Sundari
Mahasiswa HTN UIN Syarif Hidayatullah
Aktif juga di KPN Jakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses