Dalam dunia tasawuf, Syekh Abu Yazid Thaifur al-Bisthami adalah seorang tokoh besar di Bistam, Persia. Syekh Abu Yazid adalah diantara tokoh yang mempopulerkan konsep fana (annihilation) dalam tasawuf, yakni semacama kondisi kejiwaan yang hadir pada diri seorang sufi dimana berbagai jenis dan level kesombongan dalam dirinya telah runtuh, sehingga ia merasa bahwa diri/ke-aku-annya telah musnah.
Dikisahkan, Syekh Abu Yazid sering berziarah kubur setiap malamnya. Suatu malam ia bertemu dengan seorang pemuda yang tengah memainkan kecapi dalam keadaan mabuk. “Ya Allah tolong kami,” ucap Syekh Abu Yazid melihat gelagat tidak baik dari pemuda itu.
Ternyata begitu mendekat, pemuda tersebut memukul dan melemparkan kecapinya ke kepala Syekh Abu Yazid hingga alat musiknya patah. Darah segarpun mengucur dari kepala beliau. Namun karena mabuk, pemuda tersebut tidak menyadari siapa yang telah dipukulnya itu. Dengan luka dan darah di kepalanya, Syekh Abu Yazid melanjutkan perjalanan pulangnya ke zawiyahnya.
Pagi pun datang. Beliau memanggil salah seorang muridnya dan mengutusnya untuk memberikan uang seharga kecapi ditambah dengan sedikit makanan kepada pemuda itu.
“Tolong berikan ini kepada pemuda itu dan katakana kepadanya,” beliau berpesan, “Abu Yazid memohon maaf. Katakan kepadanya, tadi malam engkau memukul kepala Abu Yazid dengan kecapimu hingga kecapi itu patah. Dia meminta engkau menerima uang ini sebagai ganti rugi untuk membeli kecapi yang baru. Dan manisan ini untuk menghibur hatimu yang sedih karena kecapimu rusak”.
Baca juga: Manuskrip Keagamaan sebagai Pengingat Kehidupan: Private Collection of La Ode Zaenu
Pemuda itu pun terhenyak. Ia menyadari apa yang telah dilakukannya tadi malam. Ia bergegas pergi mendatangi Syekh Abu Yazid. Ia meminta maaf dan bertaubat. Setelah itu banyak pemuda lain juga ikut bertaubat dengannya.
Hikmah Sabar
Kisah ini memberikan banyak pelajaran tentang sabar. Selama ini kita sering mendengar ungkapan orang, “Sabar itu ada batasnya.” Lalu, bagaimanakah sejatinya sabar itu?
“Dan Kami pasti akan memberikan kalian sesuatu ( kesulitan ) berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Maka sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 155).
Di ayat itu Allah mengabarkan, kesulitan dapat hadir dalam banyak rupa. Apapun rupa dan tingkat kesulitannya, orang yang sabar adalah yang selalu sadar bahwa itu semua hakikatnya adalah dari dan oleh Allah SWT. Siapapun orang yang menjadi sebab kesulitan itu, dan bagaimanapun alur ceritanya, itu hanya wasilah yang Allah gunakan untuk menghadirkan kesulitan itu kepada kita.
Sikap inilah yang Allah harapkan muncul pada diri hamba-hamba-Nya saat menghadapi kesulitan. Karena bagi orang yang demikian, kesulitan justru menjadikannya semakin sadar akan dirinya yang serba lemah dan tiada daya apapun. Di situlah, ia kemudian mengingat Allah dan sadar akan kekuatan dan kekuasaan Allah atas dirinya. Dengan sikapnya itu, Allah pun menjadi ridha, kemudian melimpahkan rahmat-Nya kepada si hamba itu.
“Setiap kesulitan sejatinya hadir atas kehendak dan izin Allah. Namun kehadirannya selalu dalam kerangka sunnatullah sebab-akibat.”
Level Sabar
Syekh Ibnu ‘Atâ’illâh as-Sakandarȋ memberi gambaran bahwa ada empat level kesabaran, diukur dari seberapa sukses kita melepaskan diri dari syahwat hewani. Beliau mengambil contoh pada kesabaran saat seseorang terzalimi, cocok dengan kisah Syekh Abȗ Yazȋd di atas.
Pertama, adalah ketika ketika dizalimi ia bersabar, tidak membalas. Tetapi ia berdoa agar Allah memberikan hukuman yang setimpal kepada orang yang menzaliminya. Inilah di antara kondisi saat doa seseorang sangat manjur.
“Takutlah engkau pada doanya orang yang terdzalimi. Sebab antara dia dan Allah tak ada hijab” (HR. Aẖmad dan Al-Bukhârȋ).
Kedua, adalah ketika dizalimi ia mengekang semua perasaannya, dan menggali hikmah dari apa yang dialaminya itu. Sehingga lahir kesadaran dalam dirinya bahwa Allah maha tahu apa yang menimpanya dan selalu memiliki maksud dari apa yang Dia tetapkan kepada makhluk-Nya. Untuk itu, ia segera menyerahkan persoalan itu kepada Allah. Allah Swt berfirman: “Barangsiapa berserah diri kepada Allah, Dia akan memperhatikannya” (at-Thalaq: 3).
Ketiga, adalah ketika dizalimi ia tak sedikit pun merasa tersinggung, kecewa, kesal, apalagi marah. Dalam dirinya tak tebersit sedikit pun dendam atau mendoakan balasan kepada si pelaku. Semua kejadian dalam hidup, baik atau buruk, ia serahkan kepada Allah.
Baginya, tiada satu pun sesuatu terjadi tanpa kehendak dan keputusan Allah. Dan setiap kehendak dan keputusan Allah selalu mengandung hikmah dan maksud. Oleh karenanya, apapun itu harus dijalani dengan tulus-ikhlas, tak terkecuali kezaliman yang ia hadapi.
“Berpasrah-dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang pasrah” (Ali Imran: 159).
Keempat, adalah ketika dizalimi ia justru membalasnya dengan kasih-sayang pada orang yang menzaliminya. Syahwat dan amarah telah sangat stabil dan terkendali oleh kekuatan rasional dan ruhani dari jiwa insaninya.
Baginya, setiap kejadian adalah bagian dari desain kehidupan dari Allah dan senantiasa penuh hikmah dan kebaikan. Pada tiap-tiap sesuatu atau seseorang yang dianggap buruk atau negatif sekalipun, semuanya adalah bagian dari desain Allah tersebut. Inilah level para kekasih Allah (waliyullâh), yang disebut Syekh Ibn ‘Ataillah dengan derajat ash-shiddîqîn ar-ruẖamâ’.
Jadi, sabar sejatinya tak memiliki batas. Yang terbatas adalah kemampuan manusia itu sendiri dalam mengamalkan sabar. Kualitas sabar tersebut tergantung pada seberapa tangguh seseorang menahan desakan syahwat dan amarahnya. Sabar memang bukan perkara mudah. Justru karena itulah Allah Swt menjanjikan penghargaan terbaik untuk siapapun hamba-Nya yang mampu.
“Dan Kami pasti akan menganugerahi orangorang yang bersabar ganjaran yang terbaik dari apa yang telah mereka lakukan” (an-Nahl: 96).
Dan sabar itu sendiri adalah bagian dari pokok kesempurnaan iman. Sayyidina ‘Alȋ ibn Abȋ Thâlib k.w berkata:
“Posisi sabar dalam keimanan adalah seperti posisi kepala pada tubuh.”
Penulis: Nabila Aulia
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News