Surabaya, Juni 2025 – Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya baru-baru ini melakukan kunjungan edukasi ke Museum Pendidikan Surabaya.
Dalam wawancara eksklusif pada, Nanda Azkia Aszhani, Staf Museum Pendidikan Surabaya, memaparkan peran krusial museum dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan membangkitkan rasa cinta tanah air pada generasi muda pada Rabu (25/06/2025).
Nanda Azkia menjelaskan bahwa museum ini menyajikan gambaran utuh perjalanan pendidikan di Indonesia, mulai dari masa praaksara, kerajaan, kolonial, hingga pasca-kemerdekaan. Melalui koleksi dan narasi yang disajikan, pengunjung diajak membandingkan sulitnya akses pendidikan di masa lalu dengan kemudahan yang ada sekarang.
“Dulu, akses pendidikan itu sangat susah dan terbatas, baik dari medianya maupun kurikulumnya,” ujar Nanda.
Ia mencontohkan, di masa praaksara fokusnya bertahan hidup, sementara di masa kerajaan mulai mengenal agama dan tulisan. Terlebih di masa kolonial, kesulitan mendapatkan pendidikan menjadi cerminan perjuangan bangsa.
“Dengan begitu, generasi muda bisa lebih bersyukur dan termotivasi untuk belajar giat demi memajukan Indonesia dengan prestasi,” tambahnya.
Selain menampilkan koleksi, Museum Pendidikan juga aktif menyelenggarakan program edukatif. Salah satunya adalah kerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang menyediakan kuota bagi sekolah-sekolah.
“Setiap hari, kami memberikan kuota untuk sekitar 25 siswa yang bisa dijemput dari sekolahnya di Surabaya untuk berkunjung ke sini,” jelas Nanda.
Program ini, lanjut Nanda, bertujuan memperkenalkan kekayaan sejarah Surabaya yang tidak hanya terbatas pada pusat perbelanjaan atau tempat rekreasi modern.
“Kami ingin mereka tahu bahwa di Surabaya ada museum-museum bersejarah yang bisa dikunjungi untuk mempelajari sejarah dan budaya,” tuturnya.
Ketika ditanya mengenai koleksi unggulan, Nanda menyoroti manuskrip-manuskrip dari zona kerajaan.
“Koleksi ini mencakup Kitab Nabi Yusuf dan Kitab Ilmu Nahwu, tata bahasa Arab. Ini yang paling menarik karena merupakan pelopor masuknya bahasa, agama, dan tulisan ke Indonesia, sekaligus cikal bakal pendidikan formal di sini,” kata Nanda.
Meski demikian, Nanda Azkia menjelaskan bahwa manuskrip yang dipamerkan adalah replika.
“Manuskrip aslinya sudah sangat tua, sekitar tahun 300 Masehi, jadi terlalu ringkih jika dipajang langsung. Perawatannya juga khusus,” bebernya.
Visi utama Museum Pendidikan Surabaya mencakup dua poin penting. Pertama, melestarikan gedung cagar budaya yang dulunya merupakan bekas Sekolah Taman Siswa Surabaya, salah satu cabang sekolah pertama di Indonesia yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.
“Sangat penting untuk dilestarikan agar tidak dirobohkan,” tegas Nanda.
Kedua, museum ini diupayakan menjadi tempat wisata edukasi bagi masyarakat umum dan pelajar.
“Supaya mereka bisa mempelajari sejarah Surabaya dan pendidikan di Indonesia, sekaligus menghargai jasa para pahlawan. Dengan begitu, mereka bisa lebih memajukan negeri ini melalui prestasi setelah berkunjung ke sini,” papar Nanda.
Baca Juga: Membumikan Sumpah Pemuda
Nanda mengakui adanya tantangan dalam menarik perhatian generasi muda.
“Kebanyakan mereka lebih fokus ke gadget-nya, merekam daripada mendengarkan materi. Jadi, tujuan penanaman nilainya kadang tidak tersampaikan optimal,” keluhnya.
Namun, Nanda juga berbagi pengalaman menyentuh, terutama dengan pengunjung senior di zona kemerdekaan.
“Mereka itu seperti saksi hidup dari koleksi barang-barang ini. Mereka yang justru bercerita, ‘Dulu saya pakai ini, Mbak.’ Ini jadi momen nostalgia yang menyenangkan bagi mereka dan saya juga bisa dapat materi baru,” kenangnya.
Menutup wawancara, Nanda Azkia Aszhani berpesan kepada masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih tertarik pada sejarah.
“Di Surabaya ada delapan museum bersejarah yang bisa dikunjungi, tidak hanya mal atau kafe. Berwisata itu bisa sambil belajar dan dapat foto-foto estetik juga,” ajaknya.
“Dengan meningkatkan minat pada sejarah, kita bisa lebih menghargai jasa pahlawan yang sudah memperjuangkan negeri ini. Jangan sampai merusak apa yang sudah ada, dan lestarikan warisan yang telah diberikan,” pungkas Nanda.
Penulis:
1. Yoseph Riloyomas Resionori
2. Rafi Danis Sinatrya
3. Mohamad Ferdiansyah Iqbal Zakaria
4. Achmad Nabil Abdullah
5. Galank Putra Sabria
6. Mohamad Dimas Umar Jaelani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Tujuh Belas Agustus 1945
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News