Ngikutin Tren? Atau cuma Ikut Ikut doang?

Ngikutin Tren

Di era perkembangan zaman yang serba instan ini tentunya tidak terlepas dari fenomena di dunia yang tidak bisa kita bendung dan kita dihindari lagi, yakni globalisasi. Dimana berbagai negara di dunia dapat saling terhubung tanpa adanya batas batas yang menghalangi (borderless) dan identitas nasional pun sudah tidak terlalu di hiraukan lagi.

Berbagai akses teknologi, informasi, transportasi kini lebih mudah dijangkau oleh semua kalangan tanpa terkecuali, terutama oleh kalangan remaja yang kehidupannya tidak pernah terlepas dari gawai dan juga perangkat komunikasi lainnya.

Keaktifan para remaja dalam menggunakan gawai tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan terus berselancar di dunia maya melalui media sosial yang mereka miliki, sehingga informasi dan perkembangan tren yang tengah terjadi membawa dampak terhadap pola hidup dan pola berpikir mereka.

Bacaan Lainnya
DONASI

Perubahan Tren yang Semakin Beragam

Media sosial menjadi salah satu sarana utama dalam menyebarkan berbagai tren unik yang diciptakan, sehingga masyarakat, terutama di kalangan remaja, menjadi lebih mudah menerima dan turut serta mengikuti tren yang sedang booming saat itu.

Tren yang terus tersebar juga beragam seperti gaya berpakaian yang mulai mengalami perbedaan. Dimana pada tahun 2022 kini, kebanyakan remaja lebih suka mengenakan gaya berpakaian dengan model vintage yang kembali digemari di era serba modern ini. Salah satu alasan para remaja lebih senang mengenakan pakaian bermodel vintage ini adalah ingin terlihat estetik, baik untuk dilihat orang lain, ataupun untuk kepentingan feed di media sosial.

Selain model vintage, semenjak ramainya Citayam Fashion Week yang sempat menjadi trending topic selama beberapa bulan juga mempengaruhi gaya berpakaian, terutama bagi para remaja. Mereka ingin menunjukkan bentuk kebebasan berekspresinya dalam berbusana.

Layaknya model yang berjalan di catwalk, mereka mengenakan berbagai model busana yang terlihat “nyentrik” sambil berjalan menyebrangi zebra cross di kawasan SCBD, Jakarta Selatan.

Tren Citayam Fashion Week yang terkenal dan viral di Kalangan pengguna media sosial tentunya memberikan pengaruh di berbagai daerah di Indonesia untuk turut serta mengekspresikan kebebasannya dalam berpakaian.

Selain itu, kebebasan dalam berpakaian juga sebagian besar dianggap untuk mematahkan stigma masyarakat bahwa pakaian itu tidak mengenal gender dan semua bisa mengenakannya. Dan yang tak kalah ramainya dari kedua model berpakaian di kalangan remaja yang telah disebutkan sebelumnya adalah Korean style.

Salah satu model fashion yang cukup banyak diminati masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Budaya Hallyu Wave yang semakin digemari berbagai kalangan ini membawa pengaruh dalam kehidupan.

Model berpakaian ala Koreapun juga menjadi salah satu referensi untuk dikenakan dalam kehidupan sehari hari, terutama bagi remaja. Alasannya simple, model pakaian ala Korea apabila dikenakan akan terlihat trendy dan kekinian, sehingga bisa meningkatkan kepercayaan diri.

Selain tren gaya berpakaian yang beragam, masih ada banyak tren lainnya yang tidak luput dari perhatian masyarakat, salah satunya adalah selera musik. Dulunya, para remaja masih mendengarkan lagu sesuai dengan selera masimg masing tanpa memandang selera orang lain. Tapi kini, kebanyakan remaja lebih suka mengikuti lagu atau musik yang tengah ramai menjadi perbincangan.

Terutama pasca pandemi, dimana kebanyakan lagu lagu yang sudah lama dirilis perlahan booming kembali dan menjadi lagu yang sering didengarkan. Sebagai contoh lagu lagu yang dirilis sebelum tahun tahun 2015 dari ABBA, Lana Del Rey, Arctic Monkey, the 1975, dan masih banyak lainnya yang kini mulai banyak digemari para remaja.

Kemudian dari segi pola pikir. Sekarang, banyak masyarakat yang suka mengklaim dirinya dengan sebutan open minded, yakni sebuah istilah yang mengarah pada terbukanya pikiran seseorang untuk menerima berbagai argumen, pendapat, pemikiran, atau ide dari orang lain dan bersikap menghargai tanpa menghakimi siapa saja yang berbeda pendapat.

Bersikap open minded sebenarnya bukan hal yang buruk, akan tetapi di era digital yang semakin berkembang pesat ini, mulai banyak masyarakat yang justru menyalahgunakan istilah open minded sendiri. Terkadang mereka menghalalkan berbagai sesuatu yang sebenarnya buruk dan berlindung dibalik kata open minded.

Hal tersebut tentunya sangat amat disayangkan karena tak sedikit masyarakat kini mulai menganggap orang orang dengan pola pikir open minded adalah orang orang yang ingin terlihat keren di mata orang lain dengan menormalkan sesuatu yang sebenarnya tidak benar dan tidak sesuai dengan norma yang dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.

Jadilah Diri Sendiri

Melalui berbagai platform media sosial seperti Instagram, Twitter, Tiktok, dan lainnya memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam menyebarnya tren yang ada, juga terhadap gaya hidup dan juga pola pikir masyarakat, khususnya para remaja. 

Sebagian besar remaja beranggapan bahwa mengikuti perkembangan tren yang sedang ramai dibicarakan adalah sebuah kewajiban. Alasan sederhananya adalah agar mereka tetap bisa mengikuti perkembangan yang ada, dimana mereka akan memilih untuk sekadar tahu saja dan ada yang turut serta berpartisipasi dalam meramaikan tren tersebut.

Akan tetapi, masih banyak para remaja yang mengikuti tren hanya untuk terlihat keren, edgy, dan kekinian tanpa tahu konteks sebenarnya dari tren tersebut, apakah tren tersebut bisa membawa dampak baik atau buruk bagi diri mereka sendiri dan bagi khalayak umum.

Terkadang, para remaja akan terus berusaha dan memaksakan diri mereka sendiri untuk bisa menjadi bagian dari tren yang sedang ramai diperbincangan demi mendapat perhatian atau ketenaran yang mereka dambakan.

Bahkan, kini banyak para remaja yang lebih bangga menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia atau bahasa daerahnya sendiri. Hal tersebut menandakan bahwa nilai nilai nasionalisme sudah perlahan mulai terkikis dan kehilangan jati dirinya.

Rasa takut untuk dianggap ketinggalan jaman, kuno, kampungan atau dapat disebut juga dengan FOMO (fear of Missing Out) menjadi salah satu penyebab mengapa banyak remaja yang memilih untuk ikut mencoba tren yang ada, meskipun sebenarnya mereka merasa tren tersebut tidak cocok dengan jati diri mereka sendiri.

Sebenarnya semua tren tidak melulu soal hal yang negatif. Cukup dengan menjadi diri sendiri tanpa mengikuti apa yang orang lain katakan, yang justru merugikan diri kita sendiri adalah salah satu bentuk mempertahankan gaya hidup kita dari berbagai gempuran yang ada di era globalisasi.

Bukan berarti kita menutup diri dari pengaruh globalisasi dan perkembangan tren, tetapi kita harus pintar bersikap seimbang dalam menyaring mana yang buruk dan mana yang baik bagi diri kita sendiri. Sehingga kita tetap tidak tertinggal tren tetapi masih bisa menjadi diri sendiri tanpa memberikan dampak yang merugikan.

Penulis: Amalia Rahmadhanti Setianingrum
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI