Nomophobia yang Menghantui Para Remaja

Nomophobia pada Remaja
Gawai. (Sumber: pixabay.com)

Kita hidup di dunia yang menuntut penggunaan teknologi digital dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari membayar secangkir kopi hingga kerja kelompok pun tak lepas dari aktivitas teknologi.

Salah satu contohnya adalah perubahan di bidang pendidikan meliputi perubahan kurikulum, serta cara belajar mengajar yang semula tatap muka menjadi fleksibel dan bisa dilakukan dimana saja.

Efek dari perkembangan teknologi ini tentunya akan berpengaruh pada gaya hidup para remaja saat ini. Berdasarkan level generasi yang ada para remaja termasuk dalam generasi alpha.

Gen alpha adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 2011-2025 (Ilga, 2019). Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan hasil penelitian yang menunjukkan besaran tingkat penggunaan gawai pada rentang usia anak termasuk 3,5% untuk anak usia di bawah satu tahun dan 25,9% pada balita.

Bacaan Lainnya

Dari hasil beberapa riset juga dikemukakan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 210 juta orang dengan jumlah pengguna yang sebagian besar adalah remaja atau biasa disebut generasi alpha.

Baca juga: Pengaruh Era Digital terhadap Pendidikan

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal ini akan menjadi masalah ?

Jawabannya iya, karena tidak semua gen alpha hidup dalam lingkungan yang sama. Banyak hal akan mempengaruhi gaya hidup bahkan dapat mempengaruhi psikologi mereka.

Di era teknologi yang semakin berkembang inilah gen alpha memiliki berbagai sarana mulai dari belajar hingga bermain melalui gawai mereka.

Bagi banyak remaja, gawai telah menjadi barang wajib yang selalu ada dari mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Tak hanya gen alpha yang bertranformasi, masyarakat juga ikut berubah. Mulai dari anak-anak yang jika ditanya cita-cita mereka kemungkinan besar akan menjawab youtuber, programmer atau gamer. Bukan lagi dokter, pilot atau polisi seperti saat kita kecil dulu.

Mc Crindle menyebut gen alpha sebagai generasi yang tak bisa hidup tanpa smartphones (Sterbenz, 2014). Intensitas yang amat tinggi dan rasa ketergantungan berlebih pada penggunaan gawai inilah yang akan menjadi pemicu no mobile phone phobia atau dikenal dengan istilah Nomophobia.

Baca juga: Apa Saja Teknologi Masa Kini dan Masa Depan? Mari Cari Tahu!

Mengutip dari National Journal of Community  Medicine, Pavitra et al (2015) mengungkapkan bahwa nomophobia mengacu pada ketidaknyamanan, kecemasan, kegugupan atau kesedihan yang disebabkan oleh tidak adanya kontak dengan ponsel.

Lebih lanjut, penderita akan mengalami berbagai hal seperti rasa cemas berlebih atau ketakutan yang akan mengganggu aktivitas hariannya.

Penderita nomophobia bahkan dapat memeriksa gawainya hingga 34 kali sehari dan sering membawanya hingga ke toilet. Ketakutan tersebut termasuk dalam hal kehabisan baterai, melewatkan  telepon atau sms dan melewatkan informasi penting dari jejaring sosial (Mayasari, 2012).

Nomophobia memang belum tercatat sebagai gangguan DSM-5 atau yang dimaksud Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, tetapi ilmuwan telah mengakuinya sebagai penyakit mental.

Terlebih pada mereka (anak) yang ‘candu gadget’ (Antonio et al, 2020). DSM-V sendiri adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) (pembaharuan tahun 2013) merupakan alat taksonomik dan diagnostik yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA).

Di Indonesia memang belum didapatkan jumlah pasti penderita nomophobia, namun beberapa kasus pernah terungkap. Hal ini tentunya beresiko jika dibiarkan begitu saja.

Baca juga: Fenomena FOMO serta Dampaknya yang seperti Jebakan bagi Anak-Anak Remaja

Gen alpha yang terindikasi “kecanduan” gawai ini tentunya lambat laun akan mengganggu aktivitas bahkan dapat kesulitan menggali potensi dirinya.

Hal ini tentunya harus menjadi perhatian seluruh elemen masyarakat, mulai dari lingkungan keluarga hingga negara. Dibutuhkan edukasi dan kontrol yang baik dari elemen-elemen yang ada khususnya dari keluarga.

Tujuannya agar penggunaan gawai sesuai dengan kebutuhan. Hal lain yang bisa dilakukan keluarga adalah mendampingi anak untuk menghubungi psikolog atau psikiater jika gejala nomophobia dirasa menganggu aktivitas sehari-hari.

Pencegahan dapat dimulai dari peran orangtua dalam contoh perilaku penggunaan gawai bagi anak di rumah. Lingkungan atau teman sebaya juga dapat membantu dengan cara menciptakan suasana bermain yang hangat.

Negara juga membantu mengendalikan media melalui kebijakannya dalam melindungi hak-hak para gen alpha. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud generasi berbasis teknologi yang sehat mental.

Penulis: Fatin Lu’lu’ Urrohmi
Mahasiswa Prodi Magister Psikologi Sains, Universitas Ahmad Dahlan

Editor: Imamah Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Refrensi:
Ilga Maria, R. N. (2019). Generasi Alpha – Tumbuh Dengan Gadget Dalam Genggaman. Jurnal Educhild, 65-70.

Mayasari, L. (2012). Tidak Bisa Jauh dari Ponsel? Anda Mungkin Menderita Nomophobia. Diunduh pada 19  Januari 2023 dari Detik Health: https://health.detik.com/read/2012/09/21/175751/2030251/763/tidak- bisa-jauh-dari-ponsel-anda-mungkin-menderita-nomophobia

Moreno-Guerrero, A. J., López-Belmonte, J., Romero-Rodríguez, J. M., & Rodríguez-García, A. M. (2020). Nomophobia: impact of cell phone use and time to rest among teacher students. Heliyon6(5), e04084.

Pavithra MB, Suwarna Madhukumar, Mahadeva Murthy TS. (2015). A study on nomophobia – mobile phone dependence, among students of a medical college in bangalore.   National Journal of Community Medicine.

Sterbenz, C. (2014, 7 25). What Is Generation Alpha? Retrieved from www.businessinsider.com: https://www.insider.com/generation-alpha-2014-7

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses