Opini Dinasti Politik atau Politik Dinasti Harus di Hentikan

Dinasti politik seringkali diartikan sebagai warisan kekuasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga

Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet.

Bacaan Lainnya
DONASI

Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.

Baca juga: Kontroversi Putusan MA Mengenai Syarat Usia Kepala Daerah: Dinasti Politik

Hal-Hal Yang Mengakibatkan Munculnya Dinasti Politik

1. Adanya keinginan Dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.

2. Adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan Dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.

3. Adanya kolaborasi antara penguasa dan Pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan Politisi

4. Adanya Pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan Modal Sehingga Mengakibatkan terjadinya KORUPSI

Akibat Dari Politik Dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan.

Dampak Negatif Apabila Politik Dinasti Diteruskan

1. Menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan.

Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan.

Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

2. Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas.

Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

3. Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Baca juga: Peran Kampus dalam Menanggapi LGBT: “Strategi Kampus dalam Menanggapi Kontroversi Terkait LGBT”

Isu panas politik dinasti yang mengawali proses pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 rupanya berhenti di lapisan elite saja.

Diskusi dan perbincangan publik melalui kanal-kanal media sosial dan saluran komunikasi lain yang gencar pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat usia pencalonan presiden dan wakil presiden hanya berhenti sebagai “tontonan”.

Bukan “tuntunan” bagi masyarakat pada umumnya. Sebagaimana telah dicatat sejarah, Pilpres 2024 diwarnai putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengubah syarat usia pencalonan presiden dan wakil presiden.

MK dipandang ikut membuka jalan bagi politik dinasti. MK dinilai telah meruntuhkan fondasi demokrasi Indonesia. Hukum bisa diotak-atik untuk melayani kekuasaan. Moralitas bisa diabaikan bila menghalangi kepentingan kekuasaan

Banyak kalangan lalu resah dan berteriak. Merasa cemas dan khawatir bahwa Pilpres 2024 akan dipenuhi pelanggaran kepatutan, kecurangan-kecurangan, bahkan melibatkan alat-alat negara.

Azas “luberjurdil” (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) tak terpenuhi. Hasil pilpres akan dianggap cacat moral, krisis legitimasi.

Saya melihat, saat orientasi dan kesadaran politik masyarakat masih subsisten, pemilu juga akan dilihat secara subsisten pula.

Dimensi masa depannya tak dilihat. Di sinilah persoalan pendidikan politik demokrasi yang harus dituntaskan dan menjadi pekerjaan besar bangsa ke depan, yang rupanya terabaikan selama ini.

Reformasi terkesan “jalan di tempat” (involusi). Hanya menghasilkan kelembagaan politik (badan) baru tanpa pembaruan kultur (jiwa).

Bila pendidikan politik demokrasi beres, niscaya praktik demokrasi dari hulu ke hilir akan beres pula. Setiap warga negara akan menolak setiap tindakan ketidakberesan praktik demokrasi.

Baca juga: Politik Identitas dan Dampaknya terhadap Demokrasi di Asia Tenggara, Terkhusus Indonesia

Penulis:  Rasbi Musabah Raharjo

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Pamulang

Editor: Anita Said

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.