Diambang Popularitas dan Lumpuhnya Kepekaan

Facebook, Twitter, Instagram, tiga media sosial raksasa yang akhir-akhir ini mulai menjelma menjadi sosok teman bermain.

Kepanjangan media yang mulai berangsur tumbuh menjadi virus candu yang kian susah untuk ditinggalkan. Bahkan tak bisa dipungkiri bahwa memiliki akun sosial media menjadi suatu keharusan yang hampir mustahil dilewatkan. Begitu mudahnya akses yang diberikan membuat semua kalangan tertarik untuk mencoba. Mulai dari akademisi hingga cendekiawan agaknya tak ada yang lolos dari jamahannya.

Media sosial sendiri merupakan sebuah program yang dikembangkan untuk fitur-fitur yang bisa menghubungkan manusia. Bermula dari keinginan mempersempit jarak antar manusia itu, kemudian media sosial sudah hampir sukses mewujudkan. Menariknya, beragam fitur yang ditawarkan selalu memberi kenyamanan dan kemudahan untuk penggunanya. Hal ini menjadi alasan utama yang membuat tiga raksasa ini menjadi begitu lekat dan selalu digunakan. Karena mereka bertigalah, jarak hampir tak lagi menjadi titik sulit manusia untuk berkomunikasi.

Bacaan Lainnya

Dilansir dari inet.detik.com, jumlah penggiat media sosial di Indonesia bisa dibilang cukup signifikan. Sebanyak 130 juta penduduk di Indonesia merupakan pengguna aktif sosial media. Data yang dilaporkan pada Maret, 2018 menyebutkan bahwa aplikasi YouTube digandrungi hampir 43% pengguna, disusul Facebook sebanyak 41%, Instagram sebanyak 38%, Twitter menyentuh 27%, LinkedIn 16%, dan ditambah penggiat aplikasi obrolan yang jumlahnya tidak kalah besar dengan rincian tersebut. Presentase yang menunjukan betapa masyarakat Indonesia cukup gemar menggandrungi sebuah platform sosial media di kehidupan sehari-harinya.

Hal ini tentu menarik untuk diperhatikan, sejauh mana sosial media tersebut memberi dampak kepada pola hidup masyarakat? Sebuah pemikiran yang mengusik logika di tengah pesatnya jumlah penggiat sosial media. Tentu pesatnya pertumbuhan jumlah tersebut tak bisa disalahkan, menjadi sebuah konsekuensi paralel akibat pesatnya perkembangan teknologi abad ini. Namun, pertumbuhan yang pesat tentu perlu tetap diperhatikan. Bukan tidak mungkin hal yang negatif ikut tumbuh menjadi efek samping untuk masyarakat menyalahgunakan fungsinya.

Ajang Menggaet Popularitas

Seperti fitrahnya, setiap manusia berhak menentukan apa yang menjadi kehendak hati nuraninya tanpa ada batasan. Menjadi populer misalnya, syndrome yang sering kali terlihat pada seorang remaja yang masih labil akan jati dirinya. Tentu tidak menutup kemungkinan hal itu menyerang kaum dewasa, terlebih di abad ini, di mana jurang usia hampir menjadi sekat yang tak terlihat. Faktanya, remaja memiliki potensi yang lebih besar untuk terserang syndrome ini. Kecenderungan yang ingin selalu tampil di depan dan didukung oleh tingkat psikologi yang belum matang menjadikan remaja sebagai objek yang sangat rentan.

Menjadi orang yang terkenal tentu bukan hal yang negatif, bahkan sering kali itu menjadi prestasi yang bisa dibanggakan. Oleh karena itu, berlomba-lomba menjadi terkenal agaknya terlihat lumrah hari-hari ini. Ditambah lagi sumbangsih fitur-fitur sosial media cukup memudahkan banyak orang menjadi terkenal dalam waktu yang relatif singkat. Unggahan foto, video, dan konten-konten menarik nan panas menjadi senjata ampuh yang sering kali dilemparkan ke khalayak maya. Sehingga, tanpa sadar fungsi sosial media perlahan mulai bergeser yang mulanya alat bantu komunikasi menjadi wadah tebar popularitas.

Obsesi menjadi figur terkenal tentu menimbulkan beberapa efek yang membuat kita menggelengkan kepala. Frekuensi penggunaan sosial media yang berlebih, membuat penggiatnya menjadi relatif lebih agresuf. Demi menggaet popularitas, sering kali hal-hal yang diluar aturan pun diterjang. Banyak sekali akun-akun bodong yang mulai bertebaran guna mendongrak popularitas melalui transaksi jual beli pengikut. Hal yang tidak sepenuhnya buruk jika sebatas jual beli. Namun akhir-akhir ini, demi menjadi terkenal orang rela untuk mengunggah hal-hal yang negatif. Hoax, ujaran kebencian, dan fitnah mulai menjadi konten yang sengaja dipakai guna menggaet popularitas.

Lumpuhnya Kepekaan Sosial

Karena obsesi yang berlebihan tersebut, penggunaan sosial media secara tidak langsung telah mengikis psikologi seseorang. Hal yang mulai terlihat memprihatinkan ketika menurunnya suatu kesadaran untuk bersikap simpati and memberikan empati kepada orang lain. Video hoax jatuhnya pesawat JT610 misalnya, disebarkan melalui sosial media dengan harapan menjadi trending video tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan setelahnya. Tragedi yang harusnya mendapatkan simpati dan empati malah dijadikan sebagai kesempatan untuk menggaet popularitas.

Terasa menyedihkan bukan? Sosial media yang harusnya menjadi penyambung lidah dan informasi mulai berubah menjadi wadah penggaet popularitas. Obsesi yang akhir-akhir ini mulai membuat beberapa oknum menyalahgunakan fungsi tersebut. Sosial media untuk popularitas tentu merupakan hal yang baik selama cara yang digunakan tidak merugikan orang lain. Namun, jika popularitas ini membuat jarak antar manusia yang harusnya kian dekat malah menjauh, tentu kita perlu merenungkan kembali fungsi sosial media. Media sosial yang tercipta untuk mempererat hubungan sosial bukan alat pendongkrak popularitas.

Isna Rahayu Yuliarti
Mahasiswa Jurusan Teknik Industri
Sampoerna University

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.