TikTok Mengandung Konten Negatif? Yakin?

TikTok Mengandung Konten Negatif

Fenomena TikTok di tengah pandemi sebagai media dan dampak dari kepopulerannya

Siapa yang tidak tahu dengan media sosial TikTok yang meledak saat pandemi terjadi pada awal tahun 2020? Jadi, TikTok diluncurkan pada September 2016 oleh Zhang Yiming, dikembangkan menggunakan kecerdasan buatan besutan ByteDance, dan dipatenkan di bawah naungan BYTEMOD.

Daya tarik yang ditawarkan aplikasi ini adalah video pendek berdurasi 15 detik tentang topik apa pun disertai musik, filter, dan beberapa fitur kreatif.  Pembuatan video sangat mudah, hanya bermodalkan smartphone, internet, dan ide kreatif sehingga banyak masyarakat tertarik mengunduh aplikasi TikTok. Ditambah banyak figur publik yang memiliki akun Tik Tok makin meramaikan aplikasi itu.

Awalnya, TikTok digunakan sebagai tempat mencari hiburan. Kepopulerannya di Indonesia muncul ketika ada tantangan video dengan tagar tren lokal sehingga konten kreator berlomba-lomba meraih penghargaan video teratas.

Bacaan Lainnya
DONASI

Seperti algoritma aplikasi media sosial lainnya, TikTok juga menyediakan rekomendasi yang depersonalisasikan kepada penggunanya. Sampai saat ini, teknik itu membuat TikTok tidak kehabisan konten segar yang bisa dikonsumsi penggunanya. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan dewasa pun menggandrungi aplikasi ini.

Baca Juga: Eksistensi Tiktok sebagai Hiburan dan Wadah Kreativitas di Masa Pandemi

Menggunakan aplikasi TikTok, secara tidak langsung memengaruhi kehidupan sosial, kesehatan, hingga pekerjaan. Jika TikTok terus berinovasi dan masih membuktikan bahwa eksistensinya sangat dibutuhkan, maka penggunanya akan bergantung pada aplikasi ini. Sebagai contoh, hubungan timbal balik dengan penggunanya, yaitu kegiatan bisnis yang memanfaatkan media sosial ini sebagai tempat promosi untuk menjangkau orang banyak.

Masa pandemi membuat banyak masyarakat makin kreatif, salah satunya dengan membuat video TikTok tentang edukasi, hiburan, dan masih banyak lagi. Pengguna dapat berekspresi sebebas-bebasnya dan konten yang dibuat dapat dinikmati oleh berbagai orang di dunia. Namun, TikTok juga tak terlepas dari hal-hal negatif.

Contohnya, seperti penyebaran hoax, konten yang mengandung unsur pornografi, kekerasan, ujaran kebencian, provokasi, SARA dan masih banyak lagi. Hal ini tentu saja dapat memengaruhi nilai moral terutama pada para remaja yang merupakan pengguna terbanyak aplikasi ini.

Oleh karena itu, di Indonesia sendiri TikTok sempat diblokir sementara pada Juli 2018 oleh Kemenkominfo dikarenakan banyaknya laporan konten negatif. Hal tersebut bisa merusak moral remaja.

Baca Juga: Stop Judging TikTok, Manfaatkan Peluang Bisnis di Dalamnya

Remaja yang merupakan golongan paling rawan terdampak harus bisa menyaring informasi dan pesan yang disampaikan oleh media sosial. Dengan menerapkan nilai- nilai moralitas, sehingga secara otomatis bisa membedakan mana konten yang positif atau negatif. Terutama ketika penggunaan media sosial di era ini meningkat.

Sepertinya pengertian positif dan negatif masih tergantung pada budaya di mana kita tinggal atau bisa disebut nilai moral. Supaya lebih bijak dalam mengonsumsi TikTok, selalu tanyakan apa tujuan dalam mengonsumsi atau membuat konten TikTok.

Satu hal yang sulit dilakukan, yaitu mengatasi kecanduan. Algoritma video rekomendasi menyajikan konten yang membuat penggunanya betah scrolling. Sepertinya banyak pengguna memahami apa saja konten negatif atau positif, meskipun banyak juga yang tidak acuh.

Elyza Binta Chabibillah
Mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya

Editor: Diana Pratiwi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI