Membaca Pertarungan Pilpres 2019

Gaung pilpres 2019 sudah semarak meramaikan telinga, dengung kampanye kian merebak menyelimuti seluruh elemen masyarakat. Dari elit politik sampai akar rumput mulai bergerilya demi memenangkan kontestasi politik papan atas. Pertarungan strategi menjadi pokok utama untuk mendongkrak elektabilitas masing-masing calon. Kendati pun demikian, menarik untuk menelisik lebih dalam strategi pendongkrak elektabilitas yang dipakai karena sejatinya tidak ada strategi yang sepenuhnya baru.

Lalu yang menjadi pertanyaan besarnya, seperti apa strategi yang ideal untuk sebuah kontestasi pilpres? Sering sekali kita rasakan bahwa elit politik berangkat dengan strategi psywar dibandingkan idea war. Ya, harus kita sadari bahwa fenomena yang terjadi setiap kali memasuki masa kontestasi politik adalah “peperangan” antar kelompok. Adu mulut dan adu komentar menjadi hal yang lumrah setiap kali isu hangat muncul. Sehingga, isu menjadi bahan bakar utama untuk mengakomodir psywar yang menjadi strategi paling laris dalam kontestasi politik.

Peran Vital Psywar (Psychology war)
Psywar selalu saja memainkan emosi manusia, maka tidak heran jika isu yang dipakai merupakan isu-isu yang sensitif. Isu yang erat kaitannya dengan kehidupan langsung masyarakat dan kelompok. Oleh karena itu, isu yang beririsan dengan agama dan keyakinan tetap menjadi daftar paling atas untuk dikonsumsi. Masih sangat hangat dalam ingatan kita apa yang terjadi di Jakarta pada beberapa waktu silam. Isu agama menjadi genderang yang ditabuh sangat kencang guna mengunggulkan salah satu pasang calon. Hampir setiap hari masyarakat disuguhkan dengan tontonan dan bahasan yang menguras emosi mereka demi mengakuisisi kelompok mana yang paling benar.

Bacaan Lainnya

Setidak-tidaknya itulah fakta yang telah terjadi beberapa waktu silam. Masyarakat yang dihadapkan dengan agama dan gagasan untuk acuan memilih dalam kontestasi politik. Lihainya elit politik membakar isu untuk menggerakan psywar hampir menjadi kunci tunggal pemenangan kontestasi. Tidak mengagetkan jika formulasi yang serupa akan diulang untuk memenangkan kontestasi politik papan atas tahun 2019. Sehingga, hampir pasti permainan isu akan tetap bergulir hingga hari pemilihan.

Apakah hal serupa yang terjadi di Jakarta akan berulang dalam skala nasional? Jawabannya bisa beragam. Tentu banyak faktor yang ikut ambil andil dalam iya tidaknya isu agama menjadi bahan bakar utama. Masing-masing elit pemenangan tentu sudah memperhitungkan dengan matang emosi apa yang akan dimainkan untuk Pilpres 2019. Narasi sudah siap disusun dan amunisi harus selalu tersedia guna menciptakan suasana yang reaktif. Sosial media menjadi senjata paling jitu untuk melesatkan strategi. Begitu pula para militan dan buzzer akan siap melenggangkan kiprahnya demi meramaikan kontestasi.

Sejalan dengan hal itu, ada hal menarik yang terjadi belum lama ini. Nampaknya gaduh sosial media yang terjadi semenjak pesta demokrasi Jakarta dan pilkada serentak menciptakan sebuah kekhawatiran. Isu yang dihembuskan menimbulkan konflik horizontal yang kian serius. Terpolarisasinya publik karena beda pilihan terasa mulai mengancam keberagaman bangsa. Sehingga pemerintah mengambil langkah dini untuk mendeklarasikan kampanye damai. Sebuah terobosan baru untuk mengurangi polarisasi sebagai efek dari psywar. Ajakan untuk berkampanye positif mengedepankan prestasi dan rekam jejak mulai digaungkan.

Belum genap sebulan, nampaknya kampanye damai hanya tinggal ilusi. Psywar sudah mengambil peran kembali dan menyisakan kampanye damai menjadi sebuah formalitas politik yang kenyataannya tidak cukup menarik untuk dijadikan strategi. Realita yang terpaksa harus diterima bahwa masyarakat masih tertarik dengan narasi aib daripada prinsip. Seakan-akan aib bisa menampik segala bentuk prestasi yang berhasil ditorehkan dan mengesampingkan sebuah prinsip.

Memang kampanye negatif telah sepakat untuk diperbolehkan asal isu yang dibawa adalah fakta dan tidak mengandung SARA atau black campaign. Jadi sudah tidak mengagetkan jika dikampanye pilpres 2019 akan terus diwarnai dengan hal serupa. Namun, apa yang terjadi di lapangan acap kali masyarakat susah membedakan antara kampanye negatif dan black campaign. Harus diakui bahwa black campaign adalah format terbaik psywar yang memungkinkan memanipulasi emosi dengan waktu yang relatif cukup cepat dibanding kampanye negatif.

Oleh karena itu, terobosan kampanye damai yang bertujuan untuk idea war menjadi sebuah formalitas yang pada ujungnya tetap mengedepankan psywar. Para elit politik sadar bahwa berbicara prestasi tentu akan menguntungkan salah satu pihak karena yang disajikan adalah data dan fakta. Bahkan kampanye negatif pun juga tidak menguntungkan karena kampanye negatif tentu akan berbicara tentang prestasi. Jika kegagalan lebih menonjol daripada prestasi, kampanye negatif mungkin akan efektif. Namun, hal serupa juga berlaku untuk kebalikannya, kampanye negatif justru akan menjadi bumerang ketika prestasilah yang lebih menonjol. Sehingga, kerap kali yang dihembuskan adalah kampanye negatif dengan konten black campaign.

Maka dari itu, menarik untuk merenung dan mempertanyakan, “Apakah Indonesia benar-benar siap untuk berdemokrasi?”. Karena menjadi negara demokrasi tentu bukan hasil dari sebuah wahyu yang tiba-tiba turun. Para pendiri bangsa telah melakoni perdebatan yang panjang guna menarik benang merah untuk sebuang bangsa yang sangat beragam ini. Sehingga kesiapan Indonesia dalam berdemokrasi tentu menjadi penting untuk menjaga keutuhan bangsa. Oleh karena itu, siap tidaknya Indonesia dalam berdemokrasi bisa dicicil dengan seberapa dewasanya masyarakat memilih psywar atau idea war. Toh pada akhirnya, kontestasi akan tetap memunculkan satu pemenang. Namun, masyarakat bisa memilih untuk memulai idea war yang bisa memunculkan kolaborasi atau tetap pada psywar yang justru menciptakan polarisasi.

LUTFI HIDAYAT
Mahasiswa Sampoerna University

 

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI