Dimanjakan Subsidi BBM

Kenaikan harga memang tidak pernah menjadi kabar menyenangkan bagi siapapun. Apalagi, jika harga yang naik adalah barang vital dalam kehidupan sehari-hari seperti Bahan Bakar Minyak (BBM).

Pada 10 Oktober yang lalu, pemerintah sempat mengumumkan kenaikan harga BBM non-subsidi. Kenaikannya pun cukup signifikan, seperti Pertamax yang awalnya seharga Rp 9.500 menjadi Rp 10.400 per liter. Namun yang mengherankan, selang beberapa menit setelah pengumuman, pemerintah kembali mengumumkan bahwa kenaikan harga BBM tersebut ditunda. Pembatalan kenaikan harga tersebut disebabkan faktor daya beli masyarakat yang masih lemah sebagai konsumen BBM.

Tidak hanya BBM non-subsidi, harga BBM subsidi juga sempat diwacanakan akan naik. Namun, hingga saat ini pun, kenaikan harga tak kunjung terjadi. Bahkan, Presiden Joko Widodo memastikan tidak akan ada kenaikan harga BBM lagi dalam waktu dekat ini.

Bacaan Lainnya
DONASI

Jaminan tersebut adalah respon pemerintah terhadap masyarakat yang was-was akan kenaikan harga. Kendati merasa lega dan senang akan kabar ini, kita pun perlu berpikir kritis. Harga BBM kita stabil padahal harga minyak dunia sedang melonjak. Apakah tidak apa-apa untuk perekonomian Indonesia?

Harga

Banyak faktor yang menjadi penentu harga BBM, antara lain harga minyak mentah Indonesia (ICP/Indonesia Crude Price), nilai rupiah, pajak, ongkos distribusi, serta kebijakan dari badan usaha dan SPBU sendiri. Harga minyak mentah Indonesia yang dipatok sebesar 48 dolar Amerika dalam asumsi APBN 2018 nyatanya jauh dari harga minyak mentah dunia, yang dilansir dari Reuters, tembus 80 dolar Amerika per barel Oktober ini.

Semakin naik harga minyak dunia, semakin banyak uang yang perlu kita keluarkan untuk membeli. Ditambah dengan kurs dolar terhadap rupiah yang semakin meningkat. Kenaikan harga minyak dunia ini jelas juga memperburuk sektor impor minyak kita. Semakin lemah nilai rupiah, semakin banyak lagi yang perlu dikeluarkan.

Kedua faktor utama ini normalnya berdampak pada harga BBM kita. Wajar apabila harga BBM ikut naik untuk menyesuaikan lonjakan harga minyak dunia. Tetapi, justru kebalikannya. Pemerintah mengambil kebijakan untuk mempertahankan harga BBM, terutama yang bersubsidi.

Subsidi

Harga BBM yang selama ini stabil tanpa mengalami kenaikan didapat dari subsidi pemerintah. Dengan memberikan subsidi, pemerintah berarti memberikan harga yang lebih murah pada masyarakat dengan menanggung kekurangan dari harga yang dipotong. Misal, harga normal bensin jenis A di pasaran adalah 8.000 per liter dan pemerintah memberikan subsidi sebesar 2.000 rupiah per liternya.

Maka, Pertamina akan menjual bensin jenis A dengan harga 6.000 per liter untuk masyarakat, sedangkan 2.000 sisanya dibayarkan oleh pemerintah kepada BUMN terkait. Otomatis, walaupun tidak tampak di masyarakat, pemberian subsidi ini berpengaruh besar pada pengeluaran negara.

Beban anggaran negara jelas makin besar dengan adanya program subsidi. Terlebih lagi, pemerintah tetap kukuh mempertahankan harga BBM dalam negeri ketika harga minyak dunia sedang melonjak. Artinya, pemerintah menanggung subsidi yang lebih besar demi mempertahankan harga jual BBM ke masyarakat. Otomatis, anggaran belanja negara akan lebih membengkak demi menyediakan subsidi yang lebih besar.

Hal ini terbukti dari realisasi subsidi BBM sampai 30 September 2018 kemarin yang membengkak hingga mencapai Rp54,3 triliun dari batas tinggi yang awalnya disiapkan sebesar Rp46,9 triliun. Meskipun baik untuk masyarakat, hal ini malah tidak baik untuk perekonomian kita secara keseluruhan.

Jangan Manja

Mengetahui kebijakan pemerintah yang berupaya keras menstabilkan harga jual BBM ke masyarakat lewat subsidi, boleh dibilang selama ini kita sudah dimanjakan oleh pemerintah. Yang patut disayangkan adalah, banyak yang belum menyadari hal tersebut.

Jika BBM stabil di harga yang rendah, masyarakat cenderung menyenangi bahkan memuja pemerintah. Jika harga BBM naik, masyarakat cenderung mengeluh dan bahkan menyalahkan pemerintah. Sedikit saja harga BBM naik, ada saja kalangan yang meributkannya.

Padahal, jika dipahami, kebijakan mengenai kenaikan harga BBM tentu diambil dengan mempertimbangkan berbagai hal krusial, termasuk daya beli masyarakat. Tentunya, pemerintah menaikkan harga BBM dengan memastikan masyarakat akan tetap mampu untuk membeli.

Soal harga BBM, jika diperlukan untuk naik, pemerintah harus tegas menaikkan. Pemerintah tak perlu takut akan kecaman dan anggapan buruk dari masyarakat yang tidak mengerti. Asalkan, kebijakan yang diambil memang baik untuk negara.

Jangan sampai kejadian pengumuman harga BBM naik yang langsung disusul pengumuman pembatalan kebijakan tersebut terjadi kembali. Jangan hanya karena khawatir akan menyusahkan masyarakat, kebijakan langsung main ditarik saja.

Pemerintah harus berani mengambil resiko untuk menghindari resiko yang lebih besar. Dampak jangka panjang perlu diutamakan demi kebaikan masyarakat sendiri. Pemerintah yang terlalu memanjakan rakyatnya tidaklah baik.

Dari sisi masyarakat sendiri, kita perlu bersikap cerdas dan tidak asal menilai. Jika pemerintah menaikkan harga BBM, kita perlu pahami persoalannya dulu, bukan langsung berteriak menilai kerjaan pemerintah tidak becus. Jangan sampai kita jadi rakyat yang manja.

IFADHILA AFFIA
Mahasiswa Sampoerna University

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI