Pelita untuk Negeri: Antara Tantangan dan Harapan

Pelita untuk Negeri: Antara Tantangan dan Harapan
Sumber: Dokumentasi Penulis

Pelita, sebagai simbol penerangan tradisional, tidak hanya melambangkan cahaya fisik yang mengusir kegelapan, tetapi juga menjadi metafora harapan, ketekunan, dan kebijaksanaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam konteks bangsa Indonesia, pelita menjadi lambang penting yang menggambarkan semangat untuk terus maju dan menerangi jalan menuju masa depan yang lebih cerah.

Namun, perjalanan mewujudkan harapan tersebut tidak terlepas dari berbagai tantangan yang kompleks, mulai dari ketimpangan sosial hingga dinamika perubahan global yang memengaruhi pembangunan nasional.

Dalam permadani besar ambisi nasional, setiap bangsa mencari cahaya penuntun untuk menerangi jalannya ke depan.

Bacaan Lainnya

A Lamp for the Country: Between Challenges and Hopes merangkum perjalanan Indonesia yang sedang berlangsung untuk mewujudkan visinya untuk masa depan.

Seperti lampu yang menavigasi kegelapan, Indonesia menghadapi interaksi tantangan yang kompleks, mulai dari memastikan akses yang adil ke sumber daya penting seperti listrik di daerah pedesaan (Indah & Rarasati, 2020) hingga menavigasi kompleksitas lanskap global yang berubah dengan cepat (Pendidikan, Gerbang untuk 2045 Golden Indonesia, 2023).

Baca Juga: Menyimpan Pengetahuan Tacit ke Sistem: Pembelajaran dari Raperda Pendidikan Karakter di Bantul

Halangan ini menguji ketahanan dan kemampuan beradaptasi bangsa saat berusaha untuk mencapai tujuan ambisiusnya.

Pendidikan adalah pondasi utama untuk memajukan sebuah bangsa, namun gemanya tak selalu terdengar nyaring di pelosok negeri.

Peran pendidikan sangat berpengaruh terhadap masa depan suatu bangsa terhadap generasi selanjutnya.

Jika ingin melahirkan generasi emas yang cerdas, maka diperlukan pemerataan terutama dalam bidang pendidikan yaitu infrastruktur, yang sampai saat ini masih banyak anak bangsa di daerah pelosok yang kesulitan dalam menuntut ilmu dikarenakan akses jalan yang tidak memadai.

Selain infrastruktur yang tidak merata, faktor ekonomi juga menghambat anak-anak yang berada di pelosok negeri untuk melanjutkan pendidikan mereka.

Keterbatasan sumber daya keuangan keluarga sering kali membuat pendidikan menjadi kebutuhan sekunder yang harus dikorbankan demi memenuhi kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan.

Baca Juga: Mencetak Manusia, Bukan Robot: Pendidikan Islam dalam Krisis Nilai

Banyak keluarga dengan penghasilan rendah tidak mampu menanggung biaya pendidikan yang meskipun sekolah dasar dan menengah gratis, tetap ada biaya tambahan, seperti seragam, buku, transportasi, dan uang saku yang harus dipenuhi.

Beban biaya ini menjadi alasan utama sehingga anak-anak terpaksa berhenti sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dampak dari kondisi ekonomi yang sulit juga memaksa anak-anak untuk ikut membantu mencari nafkah demi menopang kebutuhan keluarga.

Anak-anak dari keluarga miskin sering kali harus bekerja di sektor informal atau membantu usaha keluarga, sehingga waktu dan energi mereka tersita dan tidak bisa fokus pada pendidikan.

Peran anak sebagai sumber pendapatan strategis ini menjadi dilema yang membuat pendidikan menjadi pilihan kedua setelah kebutuhan ekonomi keluarga.

Banyak dari anak negeri yang ingin melanjutkan pendidikan tapi terkendala pada bidang infrastruktur dan ekonomi keluarga.

Baca Juga: Tertinggalnya Indonesia dalam Memberikan Pendidikan Berkualitas

Mereka yang berada di pelosok negeri adalah pelita di ujung negeri yang memiliki harapan, tetapi banyaknya tantangan yang harus dihadapi. Seperti yang di rasakan oleh anak-anak di Desa Erelembang, Kab. Gowa (2024).

Pelita untuk Negeri: Antara Tantangan dan Harapan
Sumber: Dokumentasi Penulis

Mereka yang berada di pelosok negeri, seperti anak-anak di Desa Erelembang, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, adalah pelita di ujung negeri yang memancarkan harapan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan berat.

Desa Erelembang yang terletak di ketinggian 800-1200 meter di atas permukaan laut, dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan hijau, menyimpan potensi alam yang besar, tetapi akses dan fasilitas masih terbatas sehingga kehidupan warganya, terutama anak-anak, penuh dengan perjuangan untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Anak-anak di Desa Erelembang menghadapi tantangan seperti keterbatasan sarana pendidikan, akses kesehatan, dan infrastruktur yang belum sepenuhnya memadai.

Meskipun desa ini memiliki beberapa sekolah dasar dan menengah, jarak dan kondisi geografis yang sulit sering kali menjadi hambatan bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan yang optimal.

Selain itu, kondisi ekonomi keluarga juga menjadi faktor yang memengaruhi kemampuan anak-anak untuk melanjutkan pendidikan dan mengembangkan potensi diri.

Namun demikian, semangat dan harapan tetap menyala di Desa Erelembang. Berbagai upaya, seperti kegiatan sosial dan pemeriksaan kesehatan gratis yang dilakukan oleh relawan dan organisasi kemanusiaan, turut membantu meringankan beban masyarakat.

Pelita di ujung negeri ini bukan hanya sekadar simbol cahaya fisik, tetapi juga lambang harapan dan perjuangan anak-anak dan masyarakat Desa Erelembang untuk keluar dari keterbatasan dan membangun masa depan yang lebih cerah.

 

Penulis:
1. Abmi Marwah Agustia
2. Asnia Damayanti
Mahasiswa Universitas Negeri Makassar

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses