Di era transparansi dan demokrasi digital, partisipasi publik dalam mengawasi kinerja pemerintah merupakan pilar fundamental.
Salah satu terobosan signifikan adalah digitalisasi pengaduan publik.
Platform seperti LAPOR! milik KemenPANRB dan aplikasi JAGA dari KPK kerap dipuji sebagai langkah progresif untuk memangkas birokrasi dan meningkatkan akuntabilitas.
Namun, di balik antusiasme tersebut, muncul pertanyaan krusial:
Apakah digitalisasi pengaduan benar-benar solusi efektif, atau sekadar ilusi kemudahan tanpa perubahan nyata?
Kasus pengadaan 500.000 laptop senilai Rp1,2 triliun oleh Kemendikbudristek pada 2021 menjadi cermin kegagalan akuntabilitas digital.
Meski puluhan laporan masyarakat masuk via LAPOR! dan belasan dari whistleblower ke JAGA, respons awal dari kementerian hanya normatif: “proses sesuai aturan.”
Baca juga: Menavigasi Badai Informasi: Membangun Benteng Kritisme dan Literasi Digital di Era Disinformasi
KPK baru turun tangan pada 2023 setelah audit BPK mengungkap kerugian negara Rp420 miliar dan menetapkan tersangka dari internal kementerian.
Keterlambatan ini bukan sekadar kelalaian administratif.
Ia melanggar Pasal 28D UUD 1945 (hak atas pelayanan publik yang adil) dan Pasal 23 (pengelolaan anggaran negara).
UU KIP tidak memberikan sanksi tegas bagi instansi yang abai, dan UU KPK pasca revisi memungkinkan verifikasi laporan molor bertahun-tahun.
Akibatnya, beberapa pelapor mengalami intimidasi.
Survei LSI 2023 mencatat mayoritas publik meragukan efektivitas sistem pengaduan digital.
Gugatan LSM Pendidikan ke PTUN menjadi pengingat: tanpa komitmen, digitalisasi hanya kosmetik.
Dari Potensi Menjadi Realita
Agar tidak menjadi alat pencitraan, ada empat prasyarat yang harus dipenuhi.
Pertama, pengaduan digital harus terhubung langsung dengan sistem penegakan hukum.
Laporan korupsi via JAGA, misalnya, mesti otomatis masuk ke unit penyidikan tanpa proses birokrasi tambahan.
Kedua, perlu sanksi administratif bagi instansi yang mengabaikan laporan masyarakat, seperti pemotongan anggaran atau penurunan nilai kinerja.
Ketiga, pemerintah harus meningkatkan literasi digital secara masif, terutama di daerah tertinggal.
Keempat, perlindungan terhadap pelapor harus diperkuat lewat revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca juga: Hak Asasi Manusia: Pondasi Masyarakat Adil dan Beradab
Tanpa perlindungan yang kuat, pelapor rentan dibungkam.
Padahal, merekalah kunci pembuka banyak skandal yang tidak akan pernah terungkap hanya melalui audit internal.
Antara Akses dan Aksi
Memang, digitalisasi membuka akses yang belum pernah ada sebelumnya.
LAPOR! telah menerima lebih dari 2,5 juta laporan sejak 2011. Aplikasi JAGA mencatat waktu tindak lanjut rata-rata 3-7 hari.
Beberapa kasus berhasil diselesaikan, seperti perbaikan jalan di Surabaya yang ditindaklanjuti secara cepat berkat laporan warga.
Namun, optimisme ini kerap terbentur oleh minimnya aksi.
Survei Komisi Informasi Pusat 2023 menunjukkan banyak laporan digital tak mendapat respons substansial.
Kesenjangan digital juga masih nyata.
Data BPS menunjukkan penetrasi internet di pedesaan hanya 65,58%, jauh di bawah kota yang mencapai 87,03%.
Akibatnya, akses terhadap sistem pengaduan masih timpang.
Birokrasi yang “tuli” menjadi masalah utama. Laporan tentang pungli atau penyimpangan lainnya sering dibalas normatif: “tidak ditemukan bukti,” meski aduan terus bertambah.
Perspektif Konstitusi: Hak Tanpa Pelaksanaan
Dalam perspektif Hukum Tata Negara, pengaduan publik adalah perwujudan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945: hak atas kepastian hukum yang adil.
Ini didukung oleh UU KIP dan berbagai regulasi partisipatif.
Tapi negara hukum, sebagaimana ditegaskan Pasal 1 ayat (3), juga menuntut akuntabilitas.
Artinya, setiap laporan publik harus direspons secara serius dan transparan.
Sayangnya, implementasi perlindungan hukum masih jauh dari ideal. Meski UU ITE menjamin kerahasiaan pelapor, banyak yang justru mengalami intimidasi.
Sementara itu, Pasal 17 UU KIP yang membuka celah pengecualian informasi sering disalahgunakan oleh instansi untuk menghindari transparansi.
Teknologi hanyalah alat. Akuntabilitas tetap jantung dari demokrasi.
Baca juga: Menjaga Kenetralan Mahkamah Konstitusi: Pilar Terakhir Penjaga Demokrasi
Tanpa niat baik, digitalisasi hanya akan menghasilkan tumpukan laporan yang menganggur di server pemerintah.
Jika suara rakyat yang disampaikan melalui jalur resmi saja tak kunjung direspons, lantas dengan cara apa lagi masyarakat bisa menuntut perubahan?
Penulis: Reza Kurniansyah
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dosen Pengampu: Syihabul Huda M.Pd
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News