Salak Condet bukan sekedar buah yang khas dari Jakarta Timur, tetapi buah ini juga merupakan salah satu sumber penghasilan dari warga Condet Jakarta Timur. Buah yang sempat menjadi ikon kebanggaan warga Betawi ini, kini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan eksistensinya.
Dahulu, perkebunan salak di Condet menjadi sumber penghasilan utama bagi warga setempat. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, keberadaannya terancam punah akibat urbanisasi dan perubahan ekonomi.
Sekitar tahun 1940-1950, perkebunan salak Condet berkembang pesat. Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan, memberikan peluang bagi para petani lokal untuk menjual hasil panen mereka ke pasar-pasar tradisional maupun modern.
Tidak hanya menjadi komoditas yang diminati, salak Condet juga berperan dalam membentuk ekosistem ekonomi warga sekitar. Petani salak hidup dari hasil panen mereka, sedangkan pedagang mendapat keuntungan dari menjual buah ini di pasar-pasar Jakarta.
Bahkan, beberapa warga Condet menjadikan salak sebagai bahan olahan untuk produk seperti manisan, dodol, dan sirup, menciptakan industri rumahan yang turut menggerakkan ekonomi lokal. Pada masa kejayaannya, perkebunan salak Condet menjadi salah satu sektor ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat setempat.
Di era 1970-an, Condet dikenal sebagai kawasan penghasil buah salak dan duku dengan kualitas tinggi. Di Kelurahan Balekambang, misalnya, terdapat lebih dari 1,6 juta rumpun pohon salak dan 2.383 pohon duku, menghasilkan sekitar 285,7 ton salak per tahun.
Sebagian besar penduduk Condet bermata pencaharian sebagai petani buah, dengan sekitar 60% di antaranya menanam salak. Warga Condet menjual hasil panen mereka ke pasar-pasar di Jakarta, bahkan hingga ke luar daerah.
Keunikan rasa salak Condet yang memiliki perpaduan manis, asam, dan sedikit sepat menjadikannya buah yang dicari oleh banyak orang. Salak Condet bahkan menjadi sajian istana pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, mencerminkan statusnya sebagai buah elit di kalangan pejabat dan masyarakat Jakarta .
Seiring dengan pembangunan infrastruktur dan meningkatnya harga tanah, banyak lahan perkebunan salak dialihfungsikan. Sejak tahun 1980-an, jumlah perkebunan salak Condet mengalami penurunan drastis. Urbanisasi dan pembangunan infrastruktur menyebabkan banyak lahan pertanian berubah menjadi kawasan pemukiman dan komersial. Akibatnya, produksi salak Condet tidak lagi masif seperti dulu, sehingga sulit bersaing dengan salak dari daerah lain seperti Salak Pondoh dari Yogyakarta atau Salak Bali.
Pada tahun 2013, Lurah Balekambang menyatakan bahwa budidaya salak hanya tersisa di sepanjang sungai Ciliwung dan lahan percontohan, sementara sebagian besar lahan telah berubah fungsi. Selain itu, biaya hidup yang tinggi di Jakarta membuat budidaya salak kurang menguntungkan dibandingkan dengan investasi properti, seperti membangun rumah kontrakan.
Tantangan lain yang dihadapi adalah pencurian hasil panen oleh warga sekitar. Banyak pohon salak yang dipetik tanpa izin, sehingga mengurangi jumlah buah yang bisa dijual oleh para petani. Hal ini semakin memperburuk kondisi ekonomi warga yang masih bergantung pada perkebunan salak.
Baca juga:Â Hanya dengan Buah Pinang Dapat Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kalbar
Di sisi lain, kurangnya perhatian dari pemerintah selama beberapa dekade terakhir juga membuat perkebunan salak Condet semakin terpinggirkan. Tanpa dukungan dalam bentuk regulasi, pelestarian lahan, atau promosi yang kuat, warga Condet yang masih mencoba bertahan dengan pertanian salak menghadapi kesulitan besar.
Perubahan ini tentu berdampak langsung pada kondisi ekonomi masyarakat Condet. Sebelumnya, banyak keluarga bergantung pada hasil panen salak untuk mencukupi kebutuhan mereka. Namun, dengan berkurangnya lahan dan menurunnya permintaan, banyak petani yang terpaksa beralih ke pekerjaan lain.
Beberapa mencoba mencari penghasilan di sektor informal seperti berdagang makanan atau menjadi pekerja harian, sementara yang lain memilih meninggalkan pertanian sama sekali. Kurangnya regenerasi petani salak juga menjadi masalah, karena generasi muda di Condet mulai meninggalkan profesi bertani dan lebih memilih pekerjaan di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan.
Meski menghadapi berbagai tantangan, masih ada harapan bagi salak Condet untuk kembali berjaya. Salah satu langkah yang telah diambil adalah pengembangan Cagar Buah Condet, sebuah kawasan yang didedikasikan untuk pelestarian salak dan duku Condet.
Beberapa tahun terakhir, pemerintah dan komunitas lokal mulai menyadari pentingnya melestarikan buah ini sebagai bagian dari warisan budaya Betawi. Pemerintah Kota Jakarta Timur meresmikan Tugu Salak Condet pada akhir agustus 2022, di Kecamatan Kramat Jati sebagai simbol pelestarian budaya Betawi.
Di Cagar Buah Condet, Pemprov DKI Jakarta mulai mengelola kebun salak dengan melibatkan warga setempat sebagai pekerja harian lepas (PHL) yang dibayar sesuai Upah Minimum Regional (UMR). Kebun ini direncanakan menjadi tempat edukasi dan ekowisata, menggabungkan pelestarian budaya dengan potensi ekonomi berbasis pariwisata.
Selain upaya pelestarian, inovasi dalam pemasaran dan produk olahan juga bisa menjadi solusi. Jika dahulu salak Condet hanya dijual sebagai buah segar, kini ada peluang untuk mengolahnya menjadi produk bernilai tambah seperti makanan ringan, minuman fermentasi, atau produk berbasis herbal.
Dengan strategi branding yang tepat, produk-produk ini bisa masuk ke pasar nasional maupun internasional. strategi lain yang bisa dikembangkan adalah konsep agrowisata.
Banyak daerah di Indonesia yang sukses menggabungkan pertanian dengan sektor pariwisata, memungkinkan wisatawan datang untuk belajar tentang proses budidaya salak, menikmati produk-produk berbasis salak, dan berinteraksi langsung dengan petani. Jika model ini diterapkan di Condet, bukan tidak mungkin perkebunan salak bisa menjadi daya tarik wisata yang berkontribusi pada ekonomi lokal.
Salak Condet memiliki sejarah panjang sebagai sumber penghasilan bagi warga Condet,namun tantangan seperti urbanisasi, persaingan dengan buah dari daerah lain, dan kurangnya dukungan pemerintah telah menyebabkan kemunduran industri ini. Dampaknya sangat terasa bagi masyarakat lokal, terutama para petani yang berjuang mempertahankan bisnis mereka. Namun, harapan masih ada.
Dengan dukungan dari pemerintah, komunitas, dan inovasi dalam pemasaran, salak Condet bisa kembali berjaya dan memberikan manfaat ekonomi bagi warga setempat. Jika perkebunan salak berhasil dikelola dengan baik, bukan hanya akan meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi juga mempertahankan identitas budaya Betawi yang semakin tergerus oleh modernisasi.
Baca juga:Â Pentingnya Peran Generasi Z di Pertanian Indonesia Saat Ini
Konservasi bukan hanya tentang menjaga pohon tetap berdiri, tetapi juga tentang menjaga warisan yang melekat pada komunitasnya. Dengan melihat dinamika yang terjadi pada perkebunan salak Condet, jelas bahwa pelestarian tidak hanya berkaitan dengan aspek lingkungan, tetapi juga menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Salak Condet bukan hanya buah biasa, melainkan simbol identitas lokal dan sejarah panjang perjuangan warga Condet dalam mempertahankan warisan leluhur mereka.
Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan. Salah satu langkah awal yang dapat diambil adalah melakukan program konservasi dan penanaman kembali. Ini memerlukan partisipasi masyarakat, sehingga mereka merasa memiliki tanggungjawab terhadap keberlangsungan tanaman buah salak yang memiliki sejarah dan identitas Condet.
Selain itu,untuk meningkatkan nilai jual salak condet, diperlukan pengembangan produk olahan. Masyarakat dapat didorong untuk menciptakan produk berbasis salak, seperti keripik salak, selai salak, atau minuman salak segar. Hal ini dapat menjadi ciri khas dan menarik daya beli masyarakat luar Condet.
Dukungan dari pemerintah juga sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertanian salak. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi petani, seperti subsidi untuk pembelian bibit dan pupuk, serta bantuan teknis dalam budidaya.
Selain itu, pengembangan infrastruktur seperti jalan akses ke kebun salak dan fasilitas penyimpanan dapat membantu petani dalam mendistribusikan produk mereka dengan lebih efisien. Dengan demikian, eksistensi Buah Salak yang menjadi ciri khas daerah Condet akan tetap terjaga, dan tentunya tidak akan tergerus oleh kemajuan budaya dan zaman.
Penulis: Fauzan Ilham Ramadhan
Mahasiswa Agribisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News