Peran Advokasi dalam Memanfaatkan Bonus Demografi: Ketika PHK Marak dan Job Fair Hanya Seremonial

Peran Advokasi dalam Memanfaatkan Bonus Demografi: Ketika PHK Marak dan Job Fair Hanya Seremonial
Sumber: unsplash.com

Indonesia saat ini sedang memasuki era bonus demografi, yaitu masa ketika jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia non-produktif.

Dari lebih dari 280 juta penduduk Indonesia, sekitar 70 persennya berada pada rentang usia produktif.

Secara teori, kondisi ini merupakan peluang emas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mempercepat pembangunan nasional.

Namun, jika tidak dikelola dengan baik, bonus ini justru bisa berubah menjadi beban demografi yang menimbulkan berbagai persoalan sosial dan ekonomi.

Bacaan Lainnya

Sayangnya, kondisi yang terjadi di lapangan justru menunjukkan gejala-gejala kegagalan dalam mengelola potensi bonus demografi ini.

Salah satu contohnya adalah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus terjadi di berbagai sektor.

Pekerja muda, baik lulusan sekolah menengah maupun perguruan tinggi, banyak yang kehilangan pekerjaan dan kesulitan mencari pekerjaan pengganti.

Di tengah situasi itu, berbagai job fair atau bursa kerja diadakan oleh pemerintah dan lembaga swasta. Sayangnya, banyak dari kegiatan tersebut hanya menjadi ajang seremonial.

Ribuan pencari kerja datang dengan membawa harapan, menyerahkan CV, tetapi pulang tanpa kejelasan.

Tidak sedikit perusahaan yang hadir sebenarnya tidak membuka lowongan riil, melainkan hanya mengumpulkan data pelamar. Akibatnya, job fair yang seharusnya menjadi solusi, justru mempertebal rasa frustrasi.

Kondisi ini diperparah oleh ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Kurikulum yang tidak adaptif terhadap perkembangan industri menyebabkan banyak lulusan tidak memiliki keterampilan yang relevan.

Di sisi lain, pusat-pusat lapangan kerja masih terpusat di kota-kota besar, menyebabkan urbanisasi tinggi dan persaingan yang semakin ketat. Penduduk usia produktif yang sangat besar seharusnya menjadi kekuatan ekonomi.

Namun, jika mereka tidak terserap dalam lapangan kerja, maka yang terjadi adalah peningkatan pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosial, dan bahkan potensi konflik sosial yang lebih luas.

Di sinilah pentingnya peran advokasi. Advokasi bukan hanya berbicara soal kebijakan di tingkat tinggi, tetapi juga bagaimana masyarakat sipil, organisasi pemuda, media, dan akademisi mengawal, mendorong, dan memastikan kebijakan ketenagakerjaan dan pendidikan berjalan sesuai kebutuhan rakyat.

Advokasi perlu mendorong agar pemerintah tidak hanya fokus pada pencitraan kegiatan seperti job fair, tetapi juga memperhatikan substansi dan dampaknya terhadap pencari kerja.

Advokasi juga perlu mendesak adanya transparansi data ketenagakerjaan, pelaporan hasil dari setiap program penyerapan tenaga kerja, dan keterlibatan publik dalam merancang solusi.

Dengan begitu, masyarakat bisa mengawal secara aktif agar bonus demografi benar-benar membawa manfaat.

Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia membutuhkan langkah konkret. Pertama, sistem pendidikan dan pelatihan kerja harus segera dibenahi agar selaras dengan kebutuhan industri masa kini.

Pendidikan vokasi, pelatihan keterampilan digital, dan program magang berbasis dunia kerja harus diperluas.

Kedua, job fair harus diubah menjadi sistem yang lebih transparan dan efektif. Harus ada sistem pelaporan yang menginformasikan berapa banyak pencari kerja yang benar-benar terserap, bukan sekadar acara formal tahunan.

Ketiga, pemerintah dan swasta harus bekerja sama menyediakan program reskilling dan upskilling untuk pekerja muda yang terkena PHK atau yang tidak terserap oleh pasar kerja formal.

Keempat, perlu ada kebijakan yang mendorong pertumbuhan lapangan kerja di daerah, termasuk dukungan terhadap UMKM, industri kreatif, dan ekonomi digital yang dapat menyerap banyak tenaga kerja usia muda.

Akhirnya, semua langkah ini tidak akan berjalan efektif tanpa keterlibatan aktif masyarakat dan dorongan kuat dari gerakan advokasi yang peduli terhadap nasib generasi muda.

Bonus demografi bukan hadiah otomatis, tapi peluang yang hanya bisa dimenangkan jika semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat sipil, bekerja bersama.

Kita tidak bisa terus-menerus membahas bonus demografi sebagai wacana di seminar, sementara anak-anak muda kita kehilangan harapan karena tidak mendapatkan pekerjaan yang layak.

Jika tidak segera bertindak, peluang emas ini bisa berubah menjadi krisis sosial yang menghantam generasi penerus bangsa.

Sudah saatnya Indonesia berpindah dari wacana ke aksi nyata. Karena masa depan tidak dibentuk oleh angka statistik, tapi oleh kebijakan yang berpihak, kerja yang nyata, dan keberanian untuk memastikan semua anak muda Indonesia punya masa depan yang layak.

 

Penulis: Yolanda Azzahra. Y
Mahasiswa Magister Sains Agribisnis, IPB University

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses