Autisme diakui sebagai spektrum sindrom yang mengganggu operasi saraf yang menyebabkan hambatan dalam perilaku, komunikasi, keterlibatan sosial, pemrosesan sensorik, dan pembelajaran kognitif .
Anak-anak yang didiagnosis dengan autisme sering berjuang untuk terlibat dengan teman sebayanya, memahami wacana lisan, atau beradaptasi dengan pengaturan pendidikan yang rumit.
Autisme dikonseptualisasikan sebagai kondisi yang mempengaruhi kemampuan anak untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.
Anak-anak pada spektrum autism sering menghadapi hambatan dalam mengartikan kebutuhan mereka kepada orang lain dengan cara yang tepat. Akibatnya, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan positif dengan teman sebayanya.
Lonjakan yang mencolok dalam diagnosis autisme telah diamati di Indonesia hingga hari ini. Mendiagnosis gangguan spektrum autisme (ASD) merupakan hal yang sulit, karena tidak ada tes medis, seperti tes darah, untuk mendiagnosis gangguan tersebut.
Dokter melihat riwayat perkembangan dan perilaku anak untuk membuat diagnosis. Gangguan biasanya sudah dapat terdeteksi pada usia 18 bulan atau lebih muda. Pada usia 2 tahun, diagnosis sudah bisa dipastikan.
Baca Juga: Mari Mengenal Fungsi Dokter Spesialis Saraf dan Perannya
Meski begitu, banyak pengidap yang tidak terdiagnosis sampai mereka remaja atau dewasa. Hal ini terjadi karena mereka tidak mendapatkan bantuan awal yang mereka perlukan.
Ada peningkatan tiap tahunnya yang signifikan dalam prevalensi autisme di kalangan anak-anak. Menurut majalah tempo nasional, dilaporkan bahwa ada peningkatan tahunan sebanyak 500 anak yang baru di diagnosis dengan autisme, pada tahun 2021 total kasus autisme di kalangan anak mencapai angka yang mengkhawatirkan yaitu 2,4 juta di berbagai daerah Indonesia.
Oleh karena itu, sangat penting bahwa fokus dan bantuan yang luas disalurkan ke anak-anak dengan autisme, menuntut tindakan kolaboratif untuk menangani kasus autisme secara efektif, dan mengurangi peningkatan tahunan.
Anak-anak dengan autisme sering menghadapi tantangan dalam komunikasi verbal dan non-verbal, termasuk kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebaya.
Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam memahami dan menafsirkan isyarat sosial, seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, atau sinyal non-verbal. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dan kesulitan dalam membangun hubungan sosial.
Selain itu, mereka mungkin juga mengalami kesulitan dalam memahami pikiran dan emosi orang lain, yang dapat menyebabkan kesulitan dalam berempati dan berkolaborasi.
Tantangan lain yang dihadapi anak-anak dengan autisme adalah sensitivitas yang tinggi terhadap rangsangan sensorik. Mereka mungkin mengalami ketidaknyamanan atau kecemasan sebagai respons terhadap rangsangan tertentu, seperti tingkat kebisingan yang tinggi atau pencahayaan yang terlalu terang.
Selain itu, mereka mungkin juga menunjukkan gangguan perilaku, seperti kemarahan yang tidak beralasan, menangis, atau perilaku berulang.
Penting untuk memahami dan mendukung anak-anak dengan autisme dalam mengatasi tantangan-tantangan ini agar mereka dapat berkembang dan berintegrasi dengan baik di lingkungan sosial.
Dukungan sosial merupakan faktor kunci dalam perkembangan anak autis, berasal dari berbagai sumber seperti orang tua, pendidik, dan lingkungan sekitar.
Bentuk dukungan ini beragam, meliputi dukungan emosional, instrumental, informatif, dan penghargaan. Dukungan emosional, berupa kasih sayang, perhatian, dan empati, menciptakan rasa nyaman dan meningkatkan harga diri anak, mendorong keterlibatan sosial dan eksplorasi pengalaman baru.
Dukungan instrumental menyediakan sumber daya nyata seperti materi pendidikan khusus dan layanan terapi, mendukung perkembangan kognitif, komunikatif, dan sosial.
Baca Juga: Puncak Tema TK Az-Zahra Surabaya: Manfaat Berenang bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Dukungan informatif memberikan bimbingan dan arahan untuk membantu anak memahami lingkungannya.
Sementara dukungan penghargaan, seperti pujian dan pengakuan, membangun kepercayaan diri, dan memotivasi anak untuk mencoba hal-hal baru.
Lingkungan yang suportif, dengan berbagai jenis bantuan ini, sangat penting untuk membantu anak autis berkembang dan mencapai potensi penuh mereka.
Kolaborasi antara orang tua, pendidik, dan komunitas menciptakan jaringan dukungan yang komprehensif, memastikan anak menerima bantuan yang dibutuhkan di setiap tahapan perkembangannya.
Meningkatkan otonomi anak-anak dengan autisme memerlukan kerangka kerja holistik dan metodis. Pembentukan kebiasaan harian yang terorganisir dengan baik dan konsisten, yang mencakup waktu makan, mandi, dan tidur, merupakan ukuran awal yang mendasar.
Pemanfaatan dukungan visual, seperti ilustrasi atau jadwal yang terorganisir, dapat secara signifikan membantu anak-anak dalam memahami dan mengikuti rutinitas yang ditetapkan.
Baca Juga: Kisah Inspiratif Aktivis Penyandang Disabilitas dalam Mengubah Stigma Negatif
Selain itu, penyediaan umpan balik yang konstruktif sangat penting. Pengakuan dan pujian atas pencapaian anak, terlepas dari besarnya, akan menumbuhkan harga dirinya.
Ketika anak-anak menghadapi hambatan, pemberian bimbingan dan dukungan yang tepat, disertai dengan dorongan untuk bertahan, akan memfasilitasi kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan.
Budidaya kepercayaan dan tanggung jawab juga harus diprioritaskan. Memungkinkan anak-anak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan kecil akan meningkatkan keterampilan mereka dalam membuat pilihan.
Pada akhirnya, intervensi suportif, termasuk terapi perilaku kognitif (CBT), terapi wicara, dan terapi okupasi, dapat sangat berdampak pada pertumbuhan dan kemandirian anak-anak dengan autisme, membantu mereka dalam menavigasi lingkungan yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan secara mandiri.
Sintesis strategi ini akan membangun lingkungan yang memelihara dan memberdayakan anak-anak dengan autisme untuk mencapai potensi penuh mereka.
Dengan demikian, dukungan sosial afirmatif yang diberikan kepada seorang anak dengan gangguan spektrum autism memberikan pengaruh yang sangat positif pada lintasan perkembangan mereka.
Kehadiran lingkungan sosial yang mendukung berperan penting dalam meningkatkan kemandirian belajar anak-anak yang didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme keterlibatan keluarga dan pendidik sangat penting dalam memfasilitasi perkembangan holistik anak-anak autis di seluruh dimensi kognitif, perilaku, emosional, dan sosial.
Tujuan literatur ini menganjurkan keterlibatan lingkungan sosial dalam berbagai aspek, seperti rutinitas terstruktur, penyediaan instruksi eksplisit, pemanfaatan dukungan visual.
Dukungan tersebut berfungsi untuk meningkatkan kemandirian belajar anak-anak dengan gangguan spektrum autisme, mengurangi hambatan, dan meningkatkan prestasi pendidikan mereka.
Penulis: Ayu Sasa Ramadhani
Mahasiswa Jurusan Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News