Perang Sunyi Ekonomi AS-China dan Imbasnya terhadap Kedaulatan Sumber Daya Alam Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Hukum

Perang Sunyi Ekonomi AS-China dan Imbasnya terhadap Kedaulatan Sumber Daya Alam Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Hukum
Sumber: pexels.com/Kaboompics.com

Pendahuluan

Di balik perang militer dan politik yang kerap mencuat ke permukaan, terdapat perang ekonomi yang jauh lebih senyap, tetapi berdampak besar bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Rivalitas antara Amerika Serikat (AS) dan China bukan hanya soal dominasi dagang, melainkan juga perebutan pengaruh terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di kawasan strategis dunia, termasuk Indonesia.

Melalui berbagai perangkat ekonomi seperti investasi langsung, penguasaan teknologi dan kerja sama infrastruktur, kedua negara adidaya ini tengah berebut pijakan di jantung kekayaan alam Nusantara.

Perangkat Ekonomi sebagai Senjata Global

Amerika Serikat cenderung menggunakan pendekatan berbasis teknologi, regulasi keuangan global, dan sistem pasar bebas untuk menanamkan pengaruh ekonominya.

Bacaan Lainnya

Mereka menekan dengan standar ESG (Environmental, Social, Governance) dengan membatasi akses investasi yang tidak sesuai “nilai Barat”, untuk investasi tambang dan energi sambil menawarkan fasilitas pendanaan bersyarat berupa bantuan keuangan “berbunga agenda”.

Sementara itu, China agresif dengan proyek-proyek besar seperti Belt and Road Initiative (BRI) yang banyak menyasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

Di balik tawaran manis berupa pembangunan infrastruktur, terselip ketergantungan jangka panjang dan kendali terselubung terhadap aset-aset strategis nasional.

Keduanya mengejar satu hal: akses eksklusif terhadap mineral kritis yang menjadi kunci energi masa depan (lithium, nikel, cobalt) yang akan menjadi raja baru dalam ekonomi global masa depan.

Dengan kata lain: siapa menguasai logam, dia menguasai dunia.

Mahfud MD pernah mengingatkan, “Negara harus berani mengambil kembali apa yang menjadi haknya, sekalipun lewat pertarungan hukum internasional.

Eksploitasi SDA: Indonesia di Antara Dua Kekuatan

Masuknya modal asing dari kedua blok ekonomi memang mempercepat pembangunan.

Namun, di sektor Sumber Daya Alam, hal ini membuka celah bagi eksploitasi berlebihan dan penguasaan konsesi tambang atau hutan oleh perusahaan-perusahaan asing.

Beberapa sektor vital, seperti nikel, batu bara, dan kelapa sawit, kini menjadi medan pertarungan korporasi global, yang kadang beroperasi dengan pengawasan dan kontribusi terhadap negara yang minim.

Jika AS menawarkan “standar tinggi” tapi sulit diakses, China menawarkan “uang cepat” tapi dengan konsekuensi ketergantungan jangka panjang.

Realitas di lapangan, kita banyak “tersandera utang” dan ekosistem pertambangan mulai dikendalikan asing lewat pola-pola halus: joint venture, BOT (Build Operate Transfer), atau lewat off-take agreement jangka panjang.

Dari perspektif hukum, ini menimbulkan masalah serius:

  • Asas kedaulatan atas Sumber Daya Alam (Pasal 33 UUD 1945) berpotensi tergerus jika negara tidak berperan aktif mengatur.
  • Kontrak karya dan perjanjian investasi harus tunduk pada prinsip keadilan kontraktual, namun dalam praktik, investor raksasa sering kali mendikte syarat.
  • Risiko hukum internasional muncul, seperti gugatan ke lembaga arbitrase internasional bila Indonesia melakukan renegosiasi kontrak (seperti kasus Newmont dan Freeport di masa lalu).

Dalam konteks ini, hukum bukan hanya teks mati. Sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo:

“Hukum itu harus berpihak pada kehidupan rakyat, bukan hanya pada teks atau bunyi perjanjian semata.”

Apa akibatnya? Sumber daya yang seharusnya menjadi motor kedaulatan ekonomi kita malah berisiko menjadi alat negosiasi politik global.

Kita mungkin merasa berdaulat di atas kertas, tapi faktanya banyak kontrak jangka panjang yang mengikat tangan pemerintah.

Keterlibatan asing meningkatkan eksploitasi Sumber Daya Alam dengan dalih pembangunan.

Namun, ketergantungan ini berpotensi mengurangi kedaulatan negara terhadap pengelolaan sumber daya vital seperti tambang nikel, batubara, hingga kelapa sawit.

Tinjauan Hukum: Kedaulatan Ekonomi dan Pasal 33 UUD 1945

Dalam perspektif hukum tata negara dan hukum Sumber Daya Alam, fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius atas kedaulatan ekonomi Indonesia.

Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Namun dalam praktiknya, banyak regulasi yang longgar dan celah hukum yang memungkinkan kontrol asing atas SDA.

Mahasiswa hukum ditantang untuk ikut mengkritisi dan memberi solusi yuridis atas praktik-praktik kontraproduktif ini.

Dari sudut pandang hukum, penetrasi perangkat ekonomi asing harus dibaca dengan kacamata kedaulatan ekonomi nasional sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945.

Ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat instrumen hukum nasional yang membatasi ketergantungan ekonomi dan memastikan perlindungan sumber daya alam demi generasi mendatang.

Perspektif Hukum: Tinjauan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum

Sebagai mahasiswa pascasarjana Ilmu Hukum, saya melihat ada tiga langkah genting:

  1. Revisi menyeluruh atas skema perizinan dan kontrak investasi asing. Harus ada klausul renegosiasi (hardship clause atau renegotiation clause) wajib jika terjadi perubahan fundamental (hardship clause).
  2. Penguatan legislasi sumber daya strategis. Undang-Undang Minerba dan turunannya harus memberi negara hak mutlak untuk nasionalisasi atau perubahan kontrak demi kepentingan nasional, tanpa takut dibawa ke arbitrase internasional.
  3. Penataan ulang diplomasi ekonomi. Indonesia harus berani memperlakukan sektor SDA sebagai “zona merah” yang tunduk pada hukum nasional, bukan sekadar pasar bebas investasi.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Perang ekonomi AS-China bukan sekadar urusan mereka berdua, tetapi berdampak nyata terhadap Indonesia.

Kebutuhan akan reformasi regulasi investasi dan SDA menjadi sangat mendesak, terutama dalam hal transparansi perjanjian internasional dan penguatan pengawasan terhadap pelaku asing.

Pemerintah harus berani mengedepankan kepentingan nasional, memperkuat hukum positif, dan melibatkan akademisi serta masyarakat sipil dalam merumuskan kebijakan yang menjaga kedaulatan sumber daya bangsa.

Indonesia harus cerdas membaca “perang sunyi” ini. Mengedepankan regulasi yang berpihak pada kepentingan nasional serta memperkuat posisi tawar dalam hubungan internasional adalah keharusan.

Indonesia tidak boleh hanya menjadi pion di papan catur geopolitik global. Kita harus menjadi pemain, dengan hukum sebagai tameng dan ekonomi sebagai pedang.

 

Penulis: Silviana Oktarina
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Andalas

 

Daftar Pustaka

Ayuningtyas, D. A., & Hidayat, T. (2021). Analisis Pengaruh Perang Dagang AS-China bagi Kondisi Ekonomi ASEAN-4 Periode 2017-2020. Journal of Economic Research and Public Policy, 2(4), 245-258. https://journal.nurscienceinstitute.id/index.php/jerps/article/view/796

Badraun, A. (2023). Kerja Sama Ekonomi-Politik Indonesia dan Cina pada Implementasi Program Belt and Road Initiative. Jurnal Ketahanan Nasional, 29(2), 255-272. https://jurnal.lemhannas.go.id/index.php/jkl/article/view/78

Belt and Road Initiative: Transformasi Infrastruktur dan Dampaknya di Indonesia dan Asia Timur serta Asia Tenggara, https://www.kompasiana.com/putriindahgitacahyani1683/65ccc545c57afb7a892cecd4/belt-and-road-initiative-transformasi-infrastruktur-dan-dampaknya-di-indonesia-dan-asia-timur-serta-asia-tenggara

Mahfud MD, dalam diskusi publik tentang kedaulatan SDA, 2022

Prabowo, R. (2023). Antisipasi Pengaruh Produk Buatan Tiongkok terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal Ketahanan Nasional, 29(3), 312-328. https://jurnal.lemhannas.go.id/index.php/jkl/article/view/122

Putra, I. G. D. A. R. A. (2022). Implikasi Rivalitas Amerika Serikat – Republik Rakyat China terhadap Posisi Kedaulatan Indonesia. Aliansi: Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 7(2), 65-79. https://jurnal.unpad.ac.id/aliansi/article/view/44641

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002).

Suparman, A. (2022). China’s Belt and Road (BRI) Policy for Trade Interests in Indonesia. Suara Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 85-100. https://journal.unesa.ac.id/index.php/suarahukum/article/view/25628

U.S. Department of Energy Response to Executive Order 14017, “America’s Supply Chains, February 24, 2022

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses