Permasalahan Penulisan Sejarah Kesusastraan Indonesia

Sejarah kesusastraan Indonesia modern yang kita ketahui bahwasanya dimulai dari periode Balai Pustaka. Namun, sedikit yang menjelaskan tentang sastra tradisional yang tertulis dalam naskah kuno sebagai tata tulis tradisional menuju sastra modern. 

Misalnya, menjelaskan dari mana datangnya sastra modern yang bergenre apabila tidak didahului oleh karya sastra sebelumnya. Untuk itu, perlu ditinjau kembali karya sastra akhir abad ke-19. Penjelasan mengenai peralihan dari sastra tradisional menuju sastra modern di dalam buku-buku sejarah sering kali terlupakan penjelasannya. 

Dengan pemahaman yang kita ketahui, sastra Indonesia lahir ketika terbitnya roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada masa Balai Pustaka. Lalu di mana sepantasnya kita menempatkan Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, peninggalan abad ke-16 dan Hikayat Abdullah karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi tahun 1843 yang tak lain adalah peninggalan nenek moyang kita.

Baca Juga: Angkatan 2000an Disebut Sebagai Sastra Indonesia Mutakhir, Mengapa?

Bacaan Lainnya

Meski Indonesia merdeka pada tahun 1945, di dalam buku-buku sejarah dijelaskan bahwasanya perkembangan sastra Indonesia lahir pada tahun 1920. Alasan penulis menulis tulisan ini adalah untuk mengurai permasalahan mengenai bagaimana para pakar sastra Indonesia menuliskan sejarah kesusastraan di Indonesia.

Adapun  tujuan artikel ini adalah menambah wawasan baru tentang pemahaman sejarah sastra Indonesia agar lebih berkesinambungan. Manfaat artikel ini untuk menambah wawasan baru sang pembaca.

Selama ini yang kita ketahui penyusunan dan penulisan periode sastra yang ditulis oleh para pakar sastra, yaitu dibagi ke dalam beberapa angkatan, angkatan pujangga lama, balai pustaka, angkatan pujangga baru, angkatan 1945, angkatan 1950, angkatan 1966, angkatan reformasi, dan angkatan 2000.

Dengan adanya periodisasi ini sangat sulit memasukkan karya-karya sastra zaman dahulu. Informasi umum menjelaskan identitas budaya kita dibakukan pada pemahaman sastra Indonesia berakar dari sastra melayu. Informasi ini dapat dibenarkan dan dapat pula disalahkan.

Dapat disalahkannya, karena menyempitkan kesadaran bangsa Indonesia dalam menggali pemahaman kebudayaannya sendiri. Usaha-usaha penelitian untuk menguraikan permasalahan penulisan sejarah sastra Indonesia, masa perubahan dari tata tulis tradisional ke tata tulis modern telah banyak dilakukan.

Baca Juga: Problematika Pembelajaran Sastra di Indonesia

Moriyama (2005) dalam disertasinya Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19 menelisik perubahan tata tulis sastra di Jawa Barat pada akhir abad ke-19. Ada pula usaha dari para cendekiawan dalam negeri yang telah menghasilkan buku Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek Indonesia Periode Awal dan Meneer Perlentee: Antologi Puisi Indonesia Periode Awal yang disusun oleh Sapardi Djoko Damono pada tahun 2005 dan 2009.

Namun, kedua antologi itu hanya mematok genre cerita pendek dan puisi berbahasa melayu saja. Sudut pandang penelitian ini berinisiatif melebarkan kedudukan karya sastra genre apa saja, baik berbahasa Melayu maupun bahasa daerah, serta dalam media apa pun.

Jadi, kesimpulannya adalah umumnya yang kita ketahui, sejarah kesusastraan Indonesia modern dimulai dari masa balai pustaka. Namun, sedikit yang menjelaskan proses peralihan dari sastra tradisional ke sastra modern. Perihal dari mana datangnya sastra modern sebagai genre baru, hal ini tentu tidak dapat dipisahkan dari karya-karya yang mendahuluinya.

Terkait dengan transisi ini, secara histori perubahan tata tulis tradisional ke tata tulis modern Indonesia yang sekarang kita kenal sebagai genre sastra prosa (roman, novel, cerpen, dsb.), puisi, dan drama.

Sebagaimana isi dari tulisan penelitian Moriyama yang menjelaskan bahwa tidak dapat dilepaskan kaitannya dari kondisi kesusastraan Indonesia pada masa kolonial Belanda. Sejarah kesusastraan Indonesia sesungguhnya terus berkesinambungan dengan kondisi sosial politik sesuai dengan zamannya.

Penulis: Sarah Sabrina
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari

Pos terkait