Pernikahan Dini Dianjurkan dalam Islam, Benarkah?

pernikahan dini

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia minimal yang diperbolehkan dalam aturan. Pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.

Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga.

Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam itu, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzul an-nasl).

Bacaan Lainnya

Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al-Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan.

Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.

Ibnu Syubromah mengemukakan bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh).

Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.

Ibnu Syubromah memahami masalah itu dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan Aisyah (yang saat itu berusia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Muhammad yang tidak bisa ditiru oleh umatnya.      

Pernikahan dini, banyak dijumpai atas dasar alasan adanya “kecelakaan” dalam pergaulan hingga menimbulkan KTD “Kehamilan Tak Diinginkan”.

Oleh karenanya, banyak pasangan menikah demi meredam pergunjingan masyarakat, meskipun pernikahan tersebut rentan konflik. Karena pernikahan itu atas dasar keterpaksaan, bukan karena kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.

Bagi pasangan yang telah siap untuk menjalani pernikahan dengan baik akan mendapatkan manfaat berikut:

  1. Belajar memikul tanggung jawab di usia dini. Banyak remaja yang di rumahnya barangkali kurang/tidak bertanggungjawab, karena orang tua mereka dapat mengurus semua kebutuhannya. Di sisi lain remaja yang sudah menikah membangun kehidupannya dengan bertanggungjawab atas suami/istrinya dan mengatur urusan mereka tanpa bergantung lagi sepenuhnya pada orang tua.
  2. Dukungan emosional. Seringkali remaja terpaksa meninggalkan rumah mereka atau dilepas dari rumah, mereka menemukan pasangan dimana mereka dapat berbagi penderitaan dan kesulitan dibanding kebahagiaannya, maka sangat wajar jika kemudian kebutuhan emosional mereka menyatu.
  3. Kebebasan yang lebih. Berada jauh dari rumah, para remaja dapat menjalani hidup mereka sendiri, mereka bebas/leluasa membuat keputusan sendiri tentang apa yang baik bagi mereka tanpa campur tangan pihak lain (orang tua dan keluarga) sehingga menjadi mandiri secara finansial dan emosional (mental).

Mudharat Pernikahan Dini:

  1. Dalam tinjauan Kesehatan, perempuan yang menikah di usia muda akan rentan terkena kanker leher rahim. Hal ini dikarenakan sel-sel rahim belum matang sepenuhnya sehingga membawa kondisi yang belum siap dalam interaksi perilaku seksual.
  2. Dalam tinjauan Psikologi, pernikahan dini bisa berdampak pada depresi.  Depresi akibat pernikahan dini yang bisa terjadi pada kondisi berbeda, sesuai dengan kadar stress maupun beratnya beban pemikiran terhadap suatu masalah, dan bentuk depresi tersebut sama-sama memberikan dampak negatif yang berbahaya.
  3. Hadirnya konflik keluarga yang berujung pada perceraian. Kesibukan sebagai remaja, adanya keterbatasan dalam hal kedewasaan  maupun cara berfikir dan memecahkan masalah akan menjadi faktor pemicu konflik yang bisa berujung pada perceraian.

Oleh:

1. Riqza Nur Aini
Mahasiswa Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

2. Nur Zaytun Hasanah
Alumni Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses