Ujian Praktik Pernikahan di Pelajaran PAI, Bagaimana Islam Menyikapinya?

ujian praktik pernikahan

Dikejutkan dengan fenomena “ujian praktik pernikahan” yang katanya di mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) ada materi tentang munakahat. Hal ini pun menjadi sorotan publik.

Banyak orang yang bertanya-tanya mengapa materi itu dipraktekkan di dalam kehidupan yang nyata? Katanya, itu sesuai dengan kurikulum merdeka, yang mana kurikulum ini memberikan kebebasan kepada tokoh pendidikan, baik kepala sekolah, wakil kepala bidang, maupun guru-guru untuk ikut memajukan kurikulum merdeka. Benarkah Demikian?

Hal ini pun berdampak pada siswa-siswi untuk mau tidak mau harus mengikuti aturan dari guru ataupun dari kebijakan sekolah. Sungguh, sangat ironis melihat problematika pendidikan yang terjadi saat ini.

Belum selesai masalah tahun kemarin, sekarang ditambah masalah baru lagi. Mungkinkah kita hanya menyaksikan dan berdiam diri melihat ini semua?

Siswa yang seharusnya kita didik untuk menjadi barometer perubahan penggerak peradaban mulia Islam, kini malah justru menjadi angin yang terbawa arus tanpa tahu arah tujuan.

Terkait dengan mata pelajaran PAI tentang Munakahat, ada salah satu siswa SMA yang memberikan komentar bahwa praktek nikah tersebut bagus untuk melatih kerja sama dalam tim, pastinya praktek tersebut tidak dilakukan sendirian, namun ada beberapa orang yang ikut menyertainya.

Bisa juga dijadikan sebagai gambaran di masa yang akan datang tentang bagaimana pernikahan itu, dan apa saja yang harus dipersiapkan secara mental fisik ataupun materi dalam kehidupan pernikahan.

Dalam Islam disebutkan bahwa ada 3 hal. Seriusnya dianggap serius, main-mainnya juga dianggap serius: nikah, talak, dan rujuk. Jadi, apabila dalam ujian praktik nikah tersebut ada acara akad, maka praktik main-main tersebut dianggap sah dari sudut pandang agama. Itulah tanggapan dari salah satu siswa SMA.

Bagaimana mungkin pelajaran PAI yang seharusnya menjadi media penanaman aqidah Islam kepada siswa-siswi, justru sekarang menjadi media trial and eror.

Siswa-siswi bagaikan kelinci percobaan, yang mau tidak mau mereka harus patuh kepada guru termasuk mau melaksanakan ujian praktik nikah. Astaghfirullah hal adzhim. Mungkinkah kita biasa saja dalam menyikapi kejadian ini?

Pernikahan adalah ikatan sakral dan ibadah yang terlama. Dalam kehidupan rumah tangga hanya cukup sekali seumur hidup sampai maut memisahkan.

Jangan sampai pernikahan itu dirusak oleh jarak, waktu dan orang sekitar, apalagi putus di tengah jalan hanya karena masalah yang terjadi pada masing-masing calon.

Karena sifat perilaku kedua mempelai inilah yang akan membimbing rumah tangga menjadi keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah.

Membina keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah itu tidak mudah, harus benar-benar menerima satu sama lain, harus saling membantu, menopang, mendoakan, mendukung, saling mengingatkan satu sama lain, dan saling menjaga komitmen.

Tidak hanya mencintai dunia dan lahir batinnya saja, melainkan juga agamanya.

Nikah dalam Islam itu, laki-laki harus tahu kewajibannya. Memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya.

Memberikan penghidupan yang layak, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, juga menjadi pemimpin yang membimbing keluarga untuk menggapai visi yaitu akhirat.

Begitupun juga perempuan. Dia harus menjadi seorang ibu dan pendidik untuk anaknya, juga menjadi penyejuk dan pelayan suami.

Istri juga harus patuh kepada suami, akan tetapi dengan catatan patuhnya harus sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya. Wallahualam bis showab.

Penulis:

1. Riqza Nur Aini
Mahasiswa Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

2. Nur Zaytun Hasanah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Kirim Artikel

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI