Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade, menciptakan ketegangan, penderitaan, dan ketidakstabilan di kawasan Timur Tengah. Salah satu faktor utama yang menyebabkan ketegangan adalah ketidakpercayaan antara kedua belah pihak, yang masing-masing merasa bahwa hak-haknya terancam. Dalam konteks ini, peran penengah yang netral, berpengaruh, dan diterima oleh kedua pihak menjadi sangat penting.
Indonesia dengan politik luar negeri “bebas-aktif” dan sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sering dianggap memiliki potensi untuk menjadi mediator bagi kedua negara tersebut.
Politik bebas aktif merupakan prinsip dasar kebijakan luar negeri Indonesia yang dicanangkan sejak masa awal kemerdekaan sebagaimana yang diatur dalam UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia harus mencerminkan ideologi bangsa, yaitu Pancasila dan bersifat “Bebas-Aktif “.
Bebas” berarti Indonesia tidak memihak pada blok atau kekuatan tertentu dalam percaturan politik global, sementara aktif berarti Indonesia secara proaktif berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia dan memperjuangkan keadilan internasional.
Prinsip ini menjadikan Indonesia sering disebut-sebut sebagai negara dengan potensi untuk menjadi mediator konflik internasional, termasuk konflik Israel-Palestina. Namun, harapan tersebut sulit diwujudkan karena berbagai faktor yang membatasi kemampuan Indonesia untuk berperan sebagai penengah.
1. Kebijakan Luar Negeri Indonesia yang Pro Palestina
Sejak awal, Indonesia secara tegas menyatakan dukungan untuk kemerdekaan Palestina. Sikap ini tercermin dalam kebijakan luar negeri yang menolak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel serta tidak mengakui Israel sebagai negara. Meskipun langkah ini didasari oleh prinsip moral dan solidaritas terhadap Palestina, posisi yang terlalu condong ke salah satu pihak membuat Indonesia sulit dianggap sebagai mediator yang netral.
Bagi Israel, Indonesia mungkin dipandang bias dan kurang dapat dipercaya untuk memainkan peran sebagai penengah. Dalam diplomasi internasional, kepercayaan dari kedua belah pihak serta pengakuan terhadap negara yang dimediasi merupakan syarat mutlak bagi seorang mediator. Tanpa itu, peran Indonesia sebagai fasilitator perdamaian hanya akan menjadi simbolis dan tidak efektif.
2. Kurangnya Pengaruh Indonesia dalam Diplomasi Global
Meskipun Indonesia adalah negara besar di Asia Tenggara, pengaruhnya dalam diplomasi Timur Tengah relatif kecil. Konflik Israel-Palestina lebih banyak didominasi oleh kekuatan global seperti Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Arab yang memiliki keterkaitan langsung dengan konflik tersebut.
Indonesia juga bukan bagian dari kelompok yang memiliki pengaruh langsung terhadap proses perdamaian, seperti Kuartet Timur Tengah (AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB). Ketidakhadiran dalam forum-forum penting ini menunjukkan keterbatasan peran Indonesia dalam memengaruhi dinamika konflik.
3. Kompleksitas Konflik Israel-Palestina
Konflik Israel-Palestina tidak hanya soal sengketa dua negara, tetapi melibatkan berbagai dimensi politik, agama, sejarah, dan ekonomi. Di sisi lain, aktor-aktor internasional dengan kepentingan berbeda turut memperumit situasi. Dalam konteks ini, kemampuan Indonesia untuk memahami dan menangani dinamika kompleks tersebut masih diragukan.
Selain itu, konflik ini telah berlangsung selama puluhan tahun dengan berbagai upaya perdamaian yang gagal. Negara-negara dengan kekuatan politik dan ekonomi besar pun mengalami kesulitan untuk mencapai resolusi. Mengharapkan Indonesia memecahkan kebuntuan ini adalah beban yang terlalu berat.
4. Keterbatasan Kapasitas dan Sumber Daya Diplomatik
Indonesia juga memiliki keterbatasan sumber daya diplomatik dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih berpengaruh. Fokus utama diplomasi Indonesia selama ini lebih kepada isu-isu regional di Asia Pasifik, seperti Laut Cina Selatan dan stabilitas ASEAN. Dengan demikian, upaya untuk memainkan peran besar di luar kawasan bisa menguras kapasitas diplomasi yang ada.
5. Dinamika Politik Domestik
Dukungan kuat masyarakat Indonesia terhadap Palestina menciptakan tekanan domestik bagi pemerintah untuk tetap bersikap pro-Palestina. Hal ini membuat pemerintah sulit mengambil langkah yang lebih netral tanpa menghadapi reaksi keras dari rakyat. Selain itu, isu Palestina kerap menjadi bahan politisasi di dalam negeri, sehingga fleksibilitas kebijakan luar negeri Indonesia menjadi terbatas.
Meskipun sulit menjadi mediator, Indonesia tetap memberikan kontribusi positif dalam konflik Israel-Palestina. Salah satu langkahnya adalah mendorong resolusi damai melalui forum internasional seperti PBB atau Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Indonesia juga memperkuat peran dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban konflik, yang sering kali terabaikan. Alternatif peran Indonesia yang lebih relevan dilakukan saat ini yaitu menggalang dukungan dari negara-negara Non-Blok untuk mendorong solusi yang adil bagi kedua pihak. Pendekatan kolektif ini lebih realistis daripada mencoba menjadi mediator tunggal.
Kesimpulan
Indonesia memiliki keterbatasan yang signifikan untuk menjadi penengah dalam konflik Israel-Palestina, termasuk posisi politik yang bias, minimnya pengaruh dalam diplomasi global, dan kompleksitas konflik itu sendiri. Namun, ini tidak berarti Indonesia kehilangan peran. Melalui pendekatan multilateral, bantuan kemanusiaan, dan diplomasi moral, Indonesia tetap dapat memberikan kontribusi penting dalam mendukung perdamaian dan keadilan dalam konflik Israel-Palestina. Dengan memahami realitas ini, Indonesia dapat fokus pada peran yang sesuai dengan kapasitasnya, daripada membebani diri dengan tanggung jawab yang terlalu besar.
Penulis: Nath Maure
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana
Editor: Rahmat Al Kafi