Politik uang merupakan salah satu isu yang sering muncul ketika Pemilu maupun Pilkada di Indonesia diselenggarakan. Politik uang adalah praktek pemberian uang untuk memengaruhi preferensi pemilih dengan cara yang tidak sah atau melanggar hukum, demi memperoleh dukungan atau suara dalam pemilihan kepala negara maupun kepala daerah.
Politik uang seringkali membuat pemilu dan pilkada menjadi kurang berbobot dan hanya berfokus pada keuntungan material sementara visi dan misi program kerja dari kandidat diabaikan. Pemilih yang terpengaruh oleh uang cenderung tidak mempertimbangkan rekam jejak atau kualitas calon pemimpin.
Istilah “Serangan Fajar” sedang trend pada masa pemilu dan pilkada baru-baru ini, istilah ini diartikan yakni menggambarkan kegiatan sebelum pemilu atau pilkada dilaksanakan yang di mana para orang atau tim dari kandidat membagikan uang atau barang pada malam hari biasanya atau sebelum menjelang fajar pagi, dengan tujuan agar pemilih mencoblos kandidat tertentu.
Budaya serangan fajar ini sudah terjadi cukup lama di Indonesia, hal ini menjadi praktek yang subur karena kandidat yang mencalonkan diri beranggapan bahwa suara dalam pemilu bisa dibeli, sehingga membuat calon pemimpin merasa untuk mengeluarkan atau menyiapkan uang lebih banyak untuk mengambil simpati masyarakat.
Walaupun hal ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dampaknya suara yang diperoleh bisa sangat signifikan. Suara yang diperoleh melalui serangan fajar atau politik uang ini seringkali tidak mencerminkan pilihan politik melainkan lebih ke faktor ekonomi sesaat.
Tetapi hal ini tidak bisa terus berlanjut karena sudah diatur dalam Undang – undang, serta dampaknya antara lain : merusak kualitas demokrasi, menghambat keadilan pemilu, dan memperburuk citra politik di mata masyarakat.
Sudah ada Undang – undang yang mengatur hal tersebut yaitu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menetapkan sanksi berat bagi pelaku politik uang. Pemberi maupun penerima dapat dikenai pidana penjara dan denda yang besar.
Sanksi pidana untuk pemberi politik uang meliputi penjara selama 36 hingga 72 bulan, serta denda mulai dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar. Sedangkan penerima juga tidak luput dari ancaman hukum, sesuai Pasal 515 dan Pasal 523 Ayat (3) UU Pemilu.
Pemilu dan Pilkada 2024 merupakan ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Di satu sisi, ini adalah kesempatan untuk memperkuat dan memajukan sistem demokrasi yang telah berjalan. Namun, jika politik uang terus merajalela, kemenangan yang diraih melalui manipulasi ini bukanlah kemenangan demokrasi, melainkan kemenangan politik uang yang merusak fondasi kepercayaan rakyat terhadap sistem pemilu.
Pertarungan sejati dalam Pemilu dan Pilkada 2024 haruslah berfokus pada kualitas kandidat, program kerja yang jelas, serta partisipasi masyarakat yang aktif dan cerdas. Jika politik uang dibiarkan menguasai, maka kita bukan hanya akan kehilangan nilai-nilai demokrasi, tetapi juga masa depan politik Indonesia yang lebih bersih dan berintegritas.
Oleh karena itu, kita semua, baik sebagai pemilih maupun penyelenggara pemilu, harus bersatu untuk menjaga agar pemilu dan pilkada tetap menjadi arena kompetisi politik yang adil dan tidak tercemar oleh praktik-praktik yang merugikan.
Penulis: Novianti Dhea Haling
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Kristen Satya Wacana
Referensi
https://amp.suara.com/news/2024/11/26/164000/mengenal-asal-usul-serangan-fajar-praktik-politik-uang-yang-merusak-demokrasi
https://narasi.tv/read/narasi-daily/serangan-fajar-memahami-praktik-politik-uang-di-indonesia
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7657822/serangan-fajar-di-pilkada-2024-arti-dampak-dan-sanksinya/amp
https://aclc.kpk.go.id/hajarseranganfajar#error=login_required&state=95a0b38b-7882-4e34-baf3-2ff1b54e4853
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News