Politik Uang atau Money Politic secara sederhana berarti memberikan suap kepada pihak lain untuk memilih atau tidak memilih kandidat tertentu dalam Pemilihan Umum atau singkatnya mempengaruhi seseorang dengan imbalan tertentu.
Unsurnya dapat berupa seperti jabatan, janji-janji tertentu, atau yang paling lumrah dalam bentuk uang, oleh sebab itu dikatakan singkatnya adalah politik uang. Kemudian adanya unsur ajakan untuk memilih pihak atau kandidat tertentu dalam Pemilihan Umum.
Namun politik uang ini bisa juga terjadi dengan diberikan untuk membuat konsituen atau mereka yang akan memilih di wilayah tertentu tidak memilih kandidat atau partai politik tertentu.
Baca Juga: Analisis Politik Identitas di Indonesia
Politik uang ini diberikan utamanya kepada konsituen agar mereka digunakan untuk memilih pihak tertentu, tapi politik uang juga bisa dilakukan di mana suap tersebut diberikan kepada lembaga penyelenggara Pemilu, misalnya seperti KPUD, Bawaslu, dan yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilu itu sendiri.
Lantas, apakah politik uang ini merupakan prinsip yang banyak dipegang oleh banyak calon legislatif untuk menang?
Ironis sekali, mendengar komentar dari beberapa calon legislatif di luar sana yang mana mereka merasa bahwa mereka pasti bisa akan menang dan terpilih karena mereka memiliki banyak dana dan mereka tidak mau bekerja tetapi di satu bulan terakhir atau dua minggu terakhir mereka akan menyebarkan uang kepada konsituen mereka untuk memilih mereka dan yakin dengan cara seperti itu mereka akan berhasil.
Politik uang sangat berbahaya. Para calon yang melalukan politik uang tidak akan memiliki ikatan dengan konsituen, ikatan mereka dengan konsituen hanya berdasarkan uang saja. Tidak ada ikatan yang sifatnya tulus sehingga mereka tidak bisa betul-betul menjadi penyambung lidah rakyat.
Oleh karena itu mereka tidak akan memiliki hubungan yang baik dan kuat dengan konsituen. Kalau pun nanti mereka terpilih, itu akan berbahaya sekali karena setiap tindakan dan upaya mereka terhadap konsituen semuanya akan diukur dengan berapa uang yang akan mereka keluarkan.
Lalu timbul pertanyaan pada mereka yaitu berapa uang yang akan mereka keluarkan. Katakanlah misalnya mereka di DPRD membutuhkan kurang lebih 30 ribu suara untuk menang, lalu mereka akan menghitung berdasarkan apa, apakah kali 50 ribu atau 100 ribu.
Karena ada kasus di beberapa daerah yaitu antara Caleg satu dengan Caleg lainnya saling memberikan dana yang lebih besar dari kompetitornya. Jadi kalau mereka mendengar kompetitornya memberikan 50 ribu maka katakanlah ia akan memberikan kepada rakyat 75 ribu.
Kandidat yang lain juga menyatakan kalau misalkan kompetitornya memberikan 75 ribu, maka ia akan memberikan 100 ribu. Lalu sampai kapan mereka akan berlomba dengan angka-angka tersebut.
Kemudian bahaya berikutnya bagaimana mereka mendistribusikan dana tersebut agar sampai ke konsituennya. Artinya kalau kita hanya punya uang saja kemudian tidak mempunyai suatu jaringan itu sama saja dengan percuma.
Apakah mereka yakin uang yang mereka miliki itu sampai kepada konsituen mereka atau malah dimakan oleh orang-orang tertentu di dalam tim mereka. Lalu apakah dengan memberikan uang mereka yakin konsituen itu akan memilih mereka.
Baca Juga: Akankah Gen Z Mempunyai Potensi di Dunia Politik?
Karena banyak sekali kasus di luar sana walaupun sudah diberikan uang atau imbalan tertentu, tapi karena dia mempunyai kedekatan hati dan pikiran yang kuat dengan salah satu kandidat, mereka akan ambil uangnya atau imbalannya, tetapi tidak memilih kandidat yang memberikan uang atau imbalan tersebut.
Jika mereka yang sudah menjabat di lembaga legislatif lalu berpikir bahwa semuanya bisa diselesaikan dengan uang, hal tersebut sangat berbahaya. Karena mungkin mereka akan berpikir bagaimana untuk segera balik modal atau mengembalikan sejumlah dana yang sudah dikeluarkan untuk keperluan kampanye.
Kemudian jika nanti pada waktu menjabat mungkin setahun atau dua tahun mereka tidak serius untuk bekerja sebagai anggota legislatif, tetapi hanya mencari celah-celah atau hal tertentu dalam praktik kelembagaan supaya mereka bisa mendapatkan uang ganti yang sudah dikeluarkan.
Inilah yang menyebabkan banyaknya anggota legislatif yang satu atau dua tahun pertama ketika mereka menjabat lalu mereka ditangkap oleh pihak KPK atau pihak yang berwajib karena terjadi penyalahgunaan anggaran. Dan yang terakhir tentu saja bahwa politik uang adalah sebuah pelanggaran hukum.
Dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Ketentuan Pidana Pemilu menyebutkan pemberian hukuman terhadap pembelian imbalan pada peserta kampanye.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 523 yang menyebutkan menyebutkan bahwa, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 Ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000.”.
Karena hal ini sudah diatur oleh hukum. Jadi jika mereka melakukan politik uang, maka itu merupakan wilayah hukum pidana. Kalau mereka melalukan politik uang, jika mereka berhasil menjabat bukan hanya mereka dibatalkan tetapi juga bisa masuk penjara apabila ada bukti bukti yang kuat.
Politik uang dapat merusak rasa persatuan dan persaudaraan warga, hancurnya demokrasi, rusaknya mentalitas, moralitas, dan tatanan ketatanegaraan. Jadi hindari politik uang, menjadi seorang anggota legislatif yang baik atau seorang politisi yang matang yaitu karena mereka melewati proses yang tidak mudah dan tidak instan.
Baca Juga: Fenomena Etika Profesi pada Akuntansi (Manipulasi Laporan Keuangan pada PT KAI)
Proses inilah yang kemudian mendewasakan mereka dan membuat mereka mempunyai kemampuan yang baik dalam segi merepresentasikan keinginan rakyat dan menjadi penyambung lidah rakyat karena mereka mempunyai ikatan dengan konsituen atau pemilihnya.
Para pemilih juga harus mempunyai pemahaman mengenai praktik politik uang agar dapat menolak praktik politik uang demi Pemilu 2024 yang akan datang.
Penulis:
Rizal Ramadan
Mahasiswa Program Administrasi Publik Stisipol Raja Haji Tanjungpinang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi