Potong Gigi Tanda Kedewasaan? Tradisi Metatah Bali Miliki Banyak Makna bagi Penduduknya

Potong Gigi Tanda Kedewasaan? Tradisi Metatah Bali Miliki Banyak Makna bagi Penduduknya
Upacara Metatah (Sumber: Pinterest)

Indonesia adalah negara kepulauan yang terkenal dengan beraneka ragam keindahan budayanya. Salah satunya adalah pulau Bali.

Para turis mancanegara cenderung lebih mengenal pulau Bali dari pada negara Indonesia karena memang memiliki kekhasan dalam menjalankan tradisinya.

Tidak jarang, mereka sengaja berkunjung untuk menikmati dan melihat tradisi masyarakat Bali yang menarik di kancah dunia.

Mayoritas penduduk Bali adalah umat Hindu. Adat istiadat dan kepercayaan masyarakat Hindu Bali sangat mempengaruhi kehidupan sosialnya.

Bacaan Lainnya

Di mana mereka berpedoman pada agama Hindu yang diajarkan turun temurun oleh nenek moyang mereka.

Sehingga nilai yang sakral dan suci melekat pada setiap tradisinya. Salah satu diantaranya adalah upacara Metatah.

Tradisi Metatah dapat disebut juga mepandes atau mesangih dalam Bahasa Indonesia dapat disebut dengan upacara potong gigi.

Metatah adalah tradisi keagamaan khusus masyarakat Hindu Bali berupa serangkaian ritual penting dalam pertumbuhan remaja Hindu Bali, yaitu sebagai penanda peralihan usia remaja menuju dewasa.

Upacara potong gigi ini dilakukan dengan mengikir gigi taring rahang atas dan 4 gigi seri rahang atas.

Baca Juga: Tradisi Jawa untuk Menyambut Langkah Pertama Anak, Bagaimana Tradisi Tedhak Siten Terbentuk?

Pernyataan ini selaras dengan tanggapan NNSP dalam pengalamannya menjalani upacara Metatah, sebagai berikut:

“Hal yang perlu dipersiapkan adalah, dilarang makan atau minum yang panas atau dingin karena hal itu akan menyebakan ngilu di gigi, kedua tidak boleh bepergian sebelum selesai acara, ketiga upacara harus menyiapkan banten atau sajen untuk pelukatan diri sebelum naik ke ruang metatah.”

“Dilarang minum atau makan yang dingin atau panas, tidak boleh bepergian sebelum selesai melaksanakan upacara metatah. Setelah gigi di panggur wajib untuk di gendong dan tidak boleh menyentuh tanah.”

Keenam gigi yang dikikis pada saat upacara metatah melambangkan sad ripu atau 6 sifat buruk manusia diantaranya adalah Lobha (keserakahan, Moha (kebodohan), Kama (hawa nafsu), Kroda (dendam), Matsarya (irihati), dan Mada (kemabukan).

Pengikisan keenam gigi ini memiliki makna dan tujuan sebagai bentuk pengendalian dari keenam sifat buruk manusia.

Tradisi metatah juga merupakan doa serta harapan untuk seorang remaja yang menginjak usia dewasa agar dapat melaksanakan ajaran-ajaran baik, pengendalian diri, dan menjauhi sifat-sifat buruk atau sad ripu.

“Sad Ripu dipandang sebagai gangguan karena sifat-sifat buruk tersebut menghalangi individu untuk mencapai potensi penuhnya sebagai manusia yang berakhlak mulia, menghambat hubungan yang harmonis, dan dapat membawa pada kesengsaraan. Upacara Metatah menjadi ritual penting untuk secara simbolis mengatasi gangguan ini dan membuka jalan bagi kehidupan yang lebih baik dan lebih spiritual”.

Dari pernyataan NNSP dapat disimpulkan umat Hindu mempercayai bahwa apabila seseorang belum mampu mengendalikan sad ripu maka, orang tersebut akan sulit menyatu dengan Tuhan.

Tradisi metatah merupakan bentuk dari nasihat dan bimbingan orang tua kepada anaknya agar dapat menghindari sad ripu atau enam sifat buruk manusia serta dapat merubah diri menjadi berperilaku baik yang diikuti sifat ke-dewataan-an atau kedewasaan.

Baca Juga: Kesenian di Kelurahan Mandan: Mengupas Jejak Tradisi dan Warisan Negeri

Metatah secara tidak langsung memberikan dampak yang baik pada perilaku sosial manusia, karena dari tradisi ini seseorang dengan keyakinan tersebut akan dapat melaksanakan ajaran menghindari sad ripu atau melakukan pengendalian diri dari 6 sifat buruk yang ada dalam diri manusia.

Prosesi pelaksanaan upacara metatah sendiri dilaksanakan secara sakral menggunakan benda-benda simbolik yang memiliki makna pada setiap rangkaian pelaksanaannya.

Adapun rangkaian prosesi upacara metatah yang dimaksud, yaitu:

  1. Sungkem pada orangtua memohon maaf dan meminta restu sebelum menuju bale penatahan.
  2. Menuju bale penatahan untuk berbaring kemudian dilakukan proses potong gigi.
  3. Acara inti yaitu matatah pemotongan gigi, proses ini dilakukan hingga susunan gigi anak menjadi rapi.
  4. Srawad yaitu menghaluskan asahan gigi sebelumnya agar tidak melukai lidah dan bagian mulut lainnya.
  5. Pangurip gigi sebagai pengobatan gigi yang sudah dikikis dengan kunyit, kapur, dan madu.
  6. Pengalas, di mana ludah pada kelapa gading dilarung ke sungai sebagai simbol sifat buruk.
  7. Turun Bale Pengatah tidak boleh menginjak tanah, simbol lesung lengkap dengan alunnya sebagai simbol anak sudah dianggap dewasa dan tahu kewajibannya sebagai orang yang telah dewasa.
  8. Sungkem kembali pada orang tua untuk menerima nasihat sebagai perwujudan rasa bakti.
  9. Peletakan persembahan diikuti pemotongan beberapa helai rambut sebagai penghilangan sifat buruk.
  10. Piwentenan sebagai penutup bermakna agar dalam hidup berperilaku baik.

Baca Juga: Tradisi Malam Bainai: Keindahan Ritual Sebelum Pernikahan di Minangkabau

Dalam pendekatan fungsionalisme struktural oleh à la bronislaw malinowski dan a.r. radcliffe-brown, setiap tradisi memiliki fungsi dalam menjaga stabilitas masyarakat.

Upacara ini dipandang sebagai pemersatu sosial, karena upacara ini biasanya mengundang banyak orang, kerabat, tetangga, dan masyarakat. Hal ini memperkuat jaringan sosial dan rasa kebersamaan.

Penguatan stratifikasi sosial, di masyarakat bali yang mengenal sistem kasta, metatah juga bisa mencerminkan identitas kasta melalui cara pelaksanaannya, jenis upacara serta skala pesta.

Distribusi tanggung jawab peran ayah, ibu, pendeta (sulinggih), dan keluarga dalam upacara ini mengajarkan struktur tanggung jawab dalam keluarga bali.

Dalam cabang antropologi psikologi, metatah dikaji dari sudut bagaimana ritual ini memengaruhi perkembangan kepribadian, identitas, dan kestabilan emosi.

Dalam antropologi budaya, metatah dilihat sebagai bagian dari sistem simbolik masyarakat bali. Selaras dengan pandangan Clifford Geertz yang menyebut budaya sebagai sistem makna yang diwariskan melalui simbol.

Dari pernyataan saudara NNSP saat awancara:

Menurut saya makna dari upacara metatah adalah pembersihan diri dengan cara mengkikir caling gigi yang ada di kanan dan kiri gigi guna untuk menggambarkan bahwasannya pertumbuhan seorang anak bertumbuh remaja.”

Hal in menunjukkan pembentukan identitas diri anak yang menjalani metatah sering mengalami perubahan cara pandang terhadap dirinya dari “anak kecil” menjadi orang dewasa, baik dalam peran sosial maupun cara berpikir.

Penerimaan sosial, dengan mengikuti metatah individu merasa diakui sebagai bagian dari kelompok dewasa dalam masyarakat bali ini penting untuk sense of belonging.

Baca Juga: Tradisi Unik Pernikahan Muda di Madura

Kesiapan psikologis, beberapa remaja mengalami kecemasan menjelang upacara, tetapi banyak pula yang menyatakan bahwa setelah metatah, mereka merasa lebih dewasa, tangguh, dan bangga telah melaksanakan kewajiban budaya.

Victor Turner, dalam studi tentang ritual dan liminalitas, menyebutkan bahwa ritus peralihan (rite of passage) terdiri dari tiga tahap yaitu: separation (pemutusan dari status lama), liminality (fase transisi atau ambang), incorporation (penyatuan kembali ke masyarakat dengan status baru).

Metatah mencakup ketiganya anak dipisahkan dari status kanak-kanak, mengalami ritual dan simbol yang menguji kedewasaannya, kembali sebagai individu baru yang lebih matang dan diterima oleh komunitas dengan status berbeda.

Antropologi masa kini juga mempelajari dampak modernitas dan globalisasi terhadap tradisi seperti metatah.

Modernisasi upacara di beberapa daerah urban di Bali, metatah dilakukan massal atau lebih sederhana karena biaya dan waktu.

Ini menunjukkan adaptasi budaya terhadap kondisi modern. Tantangan nilai tradisional, generasi muda kadang merasa metatah sebagai beban atau formalitas semata.

Namun, banyak juga yang tetap melakukannya karena merasa itu bagian dari identitas diri dan akar budaya. Pernyataan ini diperkuat dari tanggapan NNSP yang menyatakan:

“Ya benar sekali, karena Sistem kasta di Bali memang memiliki pengaruh historis dan tradisional terhadap pelaksanaan upacara Metatah, baik dalam aspek ritual maupun pesta adat. Namun, pengaruh ini tidak lagi dominan seperti dulu dan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Meskipun beberapa perbedaan kecil mungkin masih terlihat berdasarkan tradisi keluarga dan wilayah, esensi dan tujuan utama dari upacara Metatah tetap sama bagi seluruh umat Hindu di Bali, yaitu penyucian diri dan persiapan memasuki kedewasaan.”

Baca Juga: Akhir Ramadan, Mahasiswa Mudik: Tradisi dan Makna di Balik Perjalanan

Turisme dan representasi budaya, metatah kadang dijadikan atraksi budaya untuk pariwisata, yang menimbulkan diskusi dalam antropologi tentang autentisitas budaya dan komodifikasi tradisi.

Korelasi antara antropologi dan metatah sangat kuat karena upacara mengandung makna simbolik dan spiritual yang dalam, berfungsi sebagai penanda status sosial dan kontrol moral, membantu individu dalam membentuk identitas dan kedewasaan psikologis, menjadi sarana pelestarian nilai budaya antar generasi.

Antropologi membantu kita melihat metatah tidak hanya sebagai tradisi keagamaan, tapi sebagai cermin nilai, struktur sosial, dan dinamika kehidupan manusia bali secara utuh.

 

Penulis:
1. Desinta Enggar
2. Nindi Luluk
3. Panca Rusdilla
4. Grace Anggela
Mahasiswa Prodi Psikolog, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Dosen Pengampu: Hartosujono, S.E., S.Psi., M.Si.

 

Referensi

DYAH, P. Y. (2024). PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL REMAJA HINDU BALI (Studi Pada Tradisi Metatah Masyarakat Hindu Bali Di Labuhan Dalam Kecamatan Tanjung Senang, Bandar Lampung) (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

Suci, N. L. (2018). “Ritual Metatah: Sebuah Studi Etnografis Tentang Proses Transformasi Identitas Remaja di Bali.” Eprints UNM. Diakses dari: https://eprints.unm.ac.id/11815

Budaya Bali. (n.d.). “Prosesi Metatah: Tradisi Potong Gigi sebagai Simbol Kematangan dan Kesucian.” Diakses dari: https://budayabali.com/id/prosesi-metatah-tradisi-potong-gigi-sebagai-simbol-kematangan-dan-kesucian

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books.

Turner, V. (1969). The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine Publishing.

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses